• Tidak ada hasil yang ditemukan

pada siswa.

Dalam dokumen jurnal No24 Thn14 Juni2015 (Halaman 90-93)

Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar

(Bell,1978:31). Media pembelajaran akan membuat kondisi pengajaran di kelas lebih interaktif, membantu siswa lebih terlibat dalam pembelajaran mereka sendiri sehingga berdampak materi yang dipelajari akan bertahan lama di benak siswa .

Salah satu fungsi pendidikan adalah menjadikan siswa SD berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif melalui mata pelajaran seperti IPS, IPA, Matematika, Bahasa Indonesia dan PPKn. Setiap mata pelajaran memiliki karakteristik berbeda sesuai tujuan yang akan dicapai, namun pada hakikatnya semua matapelajaran tersebut menanamkan sikap, keterampilan, dan pengetahuan pada siswa. Berikut ini akan diuraikan satu persatu karakteristik mata pelajaran bahasa Indonesia, matematika, PPkn, IPs dan IPA SD dan kaitan- nya dengan penggunaan media pembelajaran.

Bahasa merupakan alat komunikasi antar manusia berupa bunyi simbol yang mengan- dung makna. Dengan bahasa, manusia dapat mengaktualisasikan pikiran dan perasaannya, serta dapat berinteraksi dengan sesamanya untuk berbagai keperluan hidup. Demikian pula bahasa Indonesia, sebagai sebuah bahasa, peran dan fungsinya tidak akan jauh berbeda dengan hal tersebut. Itulah sebabnya, pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah harus mengaitkan dengan fungsi bahasa sebagai sarana komunikasi. Oleh karena itu, pendekatan dan metode yang digunakan guru dalam pembelajaran berpedoman pada fungsi bahasa tersebut, yaitu metode atau pendekatan komunikatif. Bahasa merupakan sebuah sistem. Di dalam bahasa terdapat berbagai komponen yang membentuk sistem bahasa, di antaranya adalah komponen pada tataran bunyi (fonologi), kata (morfologi), kalimat (sintaksis), dan makna (semantik). Setiap komponen bukannya berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan. Oleh karena bahasa Indonesia merupakan sebuah sistem, pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah yang baik dilakukan secara terpadu (terintegrasi), bukan secara terpisah-pisah (parsial). Keterpaduan itu tidak hanya lintas materi, bila perlu lintas bidang atau lintas mata pelajaran. Bahasa akan muncul dipengaruhi salah satunya oleh situasi atau konteks tertentu. Faktor konteks ini akan turut memberi kontribusi

dalam proses ‘pembentukan makna’ pada bentuk bahasa yang muncul. Sehubungan dengan hal tersebut, kegiatan pembelajaran bahasaIndonesia yang baik di sekolah dilakukan tanpa meninggalkan konteks berbahasa. Dengan kata lain, pendekatan kontekstual akan menjadi sebuah alternatif yang tepat untuk digunakan dalam praktik pembelajaran bahasa Indonesia.

Di antara tujuan yang diemban oleh mata pelajaran bahasa Indonesia adalah siswa memiliki keterampilan dalam berbahasa Indonesia secara baik dan benar, baik secara reseptif (membaca dan menyimak) maupun secara produktif (berbicara dan menulis). Aspek keterampilan, termasuk keterampilan berbahasa Indonesia, biasanya akan dimiliki seseorang apabila ia rajin berlatih. Berdasarkan asumsi tersebut, konsekuensi pembelajaran bahasa Indonesia lebih berorientasi pada praktik berbahasa daripada teori pengetahuan bahasa. Hal itu dilakukan agar tujuan terampil berbaha- sa Indonesia di kalangan siswa dapat terwujud. Mata pelajaran Bahasa Indonesia terkesan mengerjakan soal latihan lebih mengarah pada gramatikal. Padahal karakteristik mata pelajaran bahasa Indonesia bersifat kontekstual seperti bagaimanatanya jawab yang sopan dan runtut dengan orang yang diajak berbicara agar mengandung makna. Pembelajaran tersebut tidak bisa dilatih dalam tulisan seperti menjawab soal latihan atau mengarang. Akan tetapi pada keterampilan menyimak dan berbicara, siswa secara langsung terlibat.Oleh karena proses pembelajarannya akan menarik jika menggu- nakan tema sesuai minat siswa misalnya cita- citaku, setiap siswa akan saling mewawancarai teman mengenai cita-citanya. Atau mengun- dang nara sumber sebagai contoh bagaimana mewawancarai yang benar atau memutarkan film tentang wawancara seseorang. Contoh lain, membelajarkan siswa mengungkapkan perasa- an melalui tulisan, bukan sekedar menyalin atau membuat puisi atau karangan tanpa bimbingan yang hasilnya langsung dinilai oleh guru. Akan tetapi guru membelajarkan secara bertahap menuliskan puisi seperti menggunakan sebuah benda kesayangannya di taruh di atas mejanya lalu guru membacakan pertanyaan seperti benda apa itu. Siswa menjawab sesuai benda yang ada

Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar

di atas meja. Lalu pertanyaan berikutnya bagaimana ciri benda tersebut. Siswa lalu menuliskan ciri benda berdasarkan warna, ukuran, dst. Lalu guru bertanya lagi kapan digunakan. Anak akan menjawabnya dst. Tulisan hasil jawaban pernyataan guru tersebut akan menjadi puisinya. Setiap anak memajang hasil karyanya di papan tulis agar siswa lain dapat membacanya. Melalui pertukaran informasi puisi yang berbeda akan menambah pengetahuan anak tentang puisi. Sesuaikan tingkat kesulitan membuat puisi secara bertahap, dari yang paling mudah dan kongkrit ke yang sukar dan abstrak. Untuk memberanikan anak bermain peran di depan teman-temannya, sebaiknya tidak langsung diminta berdiri di depan teman sekelas lalu bermain peran. Tentu siswa akan gugup, malu, dan berbicara sesuai yang dihafal dengan suara pelan dan tidak dihayati.Mulailah dari kelompok kecil, misalnya 4 - 5orang duduk dilantai dan di setiap kelompok ada selendang, topi, dan kacamata. Media tersebut diperagakan oleh setiap siswa di depan temannya dengan cara bebas menggunakannya. Pertemuan selanjutnya dengan kelompok 8-10 orang siswa boleh bermain pantomin dan teman lainnya menebak. Pertemuan selanjutnya 15-20 orang duduk berkelompok menuliskan cita-cita pada secarik kertas, lalu salah seorang siswa mengambil tulisan tersebut dan membacakan seolah-olah ia sebagai host sebuah acara pemberian tanda penghargaan di sekolah. Lakukan secara bergantian sehingga setiap anak mendapat kesempatan untuk berbicara di depan teman dengan gayanya masing-masing. Pertemuan berikutnya, diminta2-3 orang membuat cerita dan memerankan di depan kelas.

Menurut Branson (1999:4), karakteristik

Pendidikan Kewarganegaraan  harus mencakup

tiga komponen. Pertama, Civic Knowledge

(pengetahuan kewarganegaraan), berkaitan dengan kandungan atau nilai apa yang seharusnya diketahui oleh warga negara. Aspek ini menyangkut kemampuan akademik- keilmuan yang dikembangkan dari berbagai teori atau konsep politik, hukum dan moral. Kedua,

Civic Skills (keterampilan kewarganegaraan) meliputi keterampilan intelektual (intelectual skills) dan keterampilan berpartisipasi

(participatory skills) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh keterampilan intelektual adalah keterampilan dalam merespon berbagai persoalan politik. Ketiga ialah Civic Disposition

(watak kewarganegaraan). Komponen ini sesungguhnya merupakan dimensi yang paling substantif dan esensial dalam mata pelajaran PPKn. Dimensi watak kewarganegaraan dapat dipandang sebagai ‘muara’ dari pengembangan kedua dimensi sebelumnya.

Dengan memperhatikan visi, misi, dan tujuan mata pelajaran PPKn, karakteristik mata pelajaran ini ditandai dengan penekanan pada dimensi watak, karakter, sikap dan potensi lain yang bersifat afektif/sikap. Contoh, kegiatan pembelajaran siswa kelas 1 SD mengenai diri sendiri dikaitkan dengan karakter siswa . Karakter dapat terbentuk dari konsep diri yang baik lalu diinternalisasikan dalam sikap sehari- hari menjadi sebuah pembiasaan. Siswa dalam usia 7-8 tahun sedang mencari konsep dirinya, oleh sebab itu saat membelajarkan dirinya sebaiknya menumbuhkan konsep diri yang positif seperti percaya diri dan tidak rendah diri melalui berbagai kegiatan permainan seperti menggunakan cermin lalu siswa tersebut menggambarkan bagaimana wajahnya dan menyebutkan ciri-ciri wajahnya. Wajah berbeda dengan teman merupakan anugrah dari Tuhan YME dan patut disyukuri. Siswa tersebut dengan bangga dapat menyebutkan ciri wajahnya pada teman melalui lisan atau gambar.

Kegiatan lainnya untuk memperkenalkan sikap yang baik dan buruk, dapat diputar film fabel yang menggambarkan karakter tersebut. Guru dapat menggunakan boneka tangan atau panggung boneka untuk menceritakan tokoh yang baik dan buruk sehingga siswa dapat meniru karakter tokoh baik dalam kehidupan sehari-hari. Saat menonton atau mendengarkan dongeng sebaiknya siswa diajak berdiskusi untuk tanya jawab mengenai tokoh dan kemungkinan apa yang terjadi setelah suatu kejadian berlangsung. Selain tidak jenuh dan bosan, siswa dilatih mengungkapkan pikiran melalui bahasa lisan.

Tujuan pendidikan IPS ialah mendidik dan memberi bekal kemampuan dasar kepada siswa untuk mengembangkan diri sesuai dengan bakat,

Pemanfaatan Media Pembelajaran di Sekolah Dasar

minat, kemampuan, dan lingkungannya, serta berbagai bekal siswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pendidikan IPS lebih menekankan pada aspek ‘pendidikan’ dari pada ‘transfer konsep’, karena dalam pembelajaran pendidikan IPS siswa diharapkan memperoleh pemahaman terhadap sejumlah konsep dan mengembangkan serta melatih sikap, nilai, moral, dan keterampilannya berdasarkan konsep yang telah dimilikinya. Dengan demikian, pembelajaran pendidikan IPS harus diformulasikannya pada aspek kependidikannya. Konsep IPS, yaitu: (1) inter- aksi, (2) saling ketergantungan, (3) kesinam- bungan dan perubahan, (4) keragaman/ kesamaan/ perbedaan, (5) konflik dan konsesus, (6) pola (patron), (7) tempat, (8) kekuasaan (power), (9) nilai kepercayaan, (10) keadilan dan pemerataan, (11) kelangkaan (scarcity), (12) kekhususan, (13) budaya (culture), dan (14) n a s i o n a l i s m e .

Penerapan pem-

belajaran IPS

pada jenjang

pendidikan SD tidak hanya ber- orientasi pada pengembangan sosial tetapi juga berorientasi pada pengembangan k e t e r a m p i l a n berpikir kritis,

dan kecakapan-kecakapan dasar anak yang berpihak pada kenyataan kehidupan sosial kemasyarakatan sehari-hari serta memenuhi kebutuhan sosial di masyarakat.

Sebagai ilustrasi, untuk memperkenalkan kedudukan Indonesia di antara negara lainnya, kegiatan di kelas menggunakan media buah semangka atau bola plastik. Pola pikiran siswa masih holistik sehingga sulit jika langsung diajak untuk melihat peta atlas 2 dimensi. Oleh karena itu, siswa diajak mengamati dunia dengan globe atau dibuat analogi dengan buah semangka/bola plastik (benda kongkrit) yang ditempel dengan kertas yang berbentuk pulau dan benua. Selanjutnya siswa diajak membuat peta 2 dimensi dengan bola plastik tadi yang dipotong sebagian menjadi sehelai plastik (2

dimensi). Jika sudah paham, siswa diajak untuk mengamati peta atlas dalam bentuk buku atau

display besar di gantung di papan tulis. Siswa dapat membuat atau melengkapi peta atlas tersebut dengan gambar atau warna atau tulisan. Tahapan siswa belajar konservasi ruang berupa lingkungan tempat tinggalnya, dimulai dari benda kongkrit seperti globe lalu analogi dengan buah semangka/bola plastik selanjutnya masuk ke dua dimensi dalam bentuk gambar yang ada di peta/atlas terakhir dalam simbol atau tulisan. Matematika memiliki bahasa dan aturan yang terdefinisi dengan baik, penalaran yang jelas dan sistematis, dan struktur atau keterkaitan antar konsep yang kuat. Unsur utama pekerjaan matematika adalah penalaran deduktif yang bekerja atas dasar asumsi (kebenaran konsistensi). Selain itu, matematika juga bekerja melalui penalaran induktif yang didasarkan fakta dan gejala yang muncul untuk

sampai pada

perkiraan terten- tu. Tetapi perkira- an ini tetap harus dibuktikan secara deduktif, dengan argumen yang konsisten. Mate- matika sekolah adalah matema- tika yang telah

dipilah dan

d i s e s u a i k a n dengan tahap perkembangan intelektual, siswa serta digunakan sebagai salah satu sarana untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa. Ada sedikit perbedaan antara matematika sebagai ilmu dengan matematika sekolah. Perbedaan itu dalam bentuk penyajian, pola pikir, keterbatasan semesta, dan tingkat keabstrakan (Ibrahim 2000: 43-44). Pada pembelajaran matematika di SD ada beberapa karakteristik seperti penyajian, pola pikir, semesta pembicaraan dan tingkat keabstrakan.

Penyajian matematika tidak harus diawali dengan teorema atau definisi, tetapi harus disesuaikan dengan taraf perkembangan berpikir siswa. Apalagi untuk tingkat SD, mereka belum mampu seluruhnya berpikir deduktif dengan obyek yang abstrak. Pendekatan yang induktif

Penerapan pembelajaran IPS pada

Dalam dokumen jurnal No24 Thn14 Juni2015 (Halaman 90-93)