• Tidak ada hasil yang ditemukan

SERTA DISABILITAS NASIONAL DAN DI TEMPAT KERJA

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT PROGRAM PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI INDONESIA

B. Kebijakan Nasional

Komitmen global dalam mengakhiri tuberkulosis dituangkan dalam End TB Strategy yang menargetkan penurunan kematian akibat tuberkulosis hingga 90% pada 2030 dibanding tahun 2015. Insiden tuberkulosis juga ditargetkan turun sebesar 80% pada 2035 dibanding tahun 2015.

52

Pada 2030, ditargetkan tidak ada rumah tangga yang mengeluarkan biaya katastropik akibat TB. Dalam End TB strategy ditegaskan bahwa target tersebut diharapkan tercapai dengan adanya inovasi, seperti pengembangan vaksin dan obat TB dengan rejimen jangka pendek (WHO, 2019e).

End TB Strategy dibangun di atas tiga pilar strategis yang ditopang oleh empat prinsip utama yang berfokus pada penata layanan pemerintah (government stewardship), koalisi yang kuat yang terdiri dari masyarakat sipil dan komunitas, promosi hak asasi manusia dan kesetaraan, serta adaptasi strategi di tingkat negara.

Berdasarkan Stranas TB 2020-2024, sasaran populasi pada program penanggulangan tuberkulosis 2020-2024 ialah semua orang terduga tuberkulosis. Sedangkan intervensi penanggulangan tuberkulosis akan difokuskan pada dua hal. Pertama, populasi berisiko tinggi, yaitu perokok, orang yang mengalami malanutrisi, pasien diabetes mellitus, kelompok lanjut usia, orang dengan HIV/AIDS, serta petugas kesehatan. Yang kedua, congregate setting seperti lapas/rutan, wilayah padat kumuh, tempat kerja (sektor formal dan informal), tambang tertutup, barak pengungsi, asrama, dan pondok pesantren.

Upaya penanggulangan tuberkulosis di Indonesia telah mendapatkan komitmen politis dari Presiden yang menyerukan gerakan bersama penanggulangan TB pada 29 Januari 2020. Untuk mengakselerasi upaya penanggulangan tuberkulosis di Indonesia pada 2020‐2024, perlu adanya keterlibatan multisektoral. Secara umum, penanggulangan TB tahun 2020‐2024 bertujuan mempercepat upaya Indonesia mencapai eliminasi tuberkulosis pada 2030 serta mengakhiri epidemi TB di tahun 2050. Tujuan khusus penanggulangan tuberkulosis pada 2020‐2024 adalah sebagai berikut.

1. Memperkuat manajemen program penanggulangan tuberkulosis yang responsif mulai dari pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga fasyankes.

2. Meningkatkan kualitas pelayanan tuberkulosis yang berpusat pada kebutuhan masyarakat.

3. Meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan tuberkulosis.

4. Meningkatkan kebutuhan dan kepedulian masyarakat terhadap pentingnya penanggulangan tuberkulosis.

53

Strategi nasional penanggulangan TB terdiri atas:

a. penguatan kepemimpinan program TB b. peningkatan akses layanan TB yang bermutu c. pengendalian faktor risiko TB

d. peningkatan kemitraan TB

e. peningkatan kemandirian masyarakat dalam penanggulangan TB f. penguatan manajemen program TB

Secara makro, penanggulangan TB melalui pendekatan tempat kerja sangat strategis dalam pencapaian target program TB nasional karena tempat kerja memiliki karakter berkumpulnya sekelompok orang. Ada struktur yang jelas, teratur, ada sistem komunikasi, ada sumber daya layanan, dan fasilitas dapat digunakan untuk pencegahan, perawatan, serta memberikan dukungan. Banyak pengelola tempat kerja memiliki keterampilan manajemen yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan dengan sukses dalam aktivitas pengendalian, termasuk proses analitis dan manajemen program yang kuat. Pendekatan ketat yang sama dapat diterapkan untuk bersamaan dengan proses manajemen dalam menjalankan bisnis. Dengan demikian, instansi tempat kerja skala besar yang menjalankan program DOTS diharapkan dapat berkontribusi dalam pencapaian target eliminasi TB nasional.

Latar Belakang Program HIV di Tempat Kerja

Masalah HIV/AIDS merupakan salah satu tantangan terbesar bagi pembangunan dan perkembangan di berbagai negara. Di Indonesia, masalah HIV/AIDS lebih dari sekadar menyengsarakan individu dan keluarga, tetapi juga menghancurkan tiang-tiang bangunan sosial dan ekonomi masyarakat pada umumnya. HIV/AIDS juga telah menjadi ancaman serius di tempat kerja karena memengaruhi kinerja lapisan masyarakat yang produktif, mengurangi tingkat pendapatan, dan memicu biaya tinggi bagi perusahaan di seluruh sektor. Hal-hal tersebut dapat dilihat melalui kemerosotan produktivitas, melonjaknya ongkos buruh, dan hilangnya keahlian serta keterampilan SDM dan pengalaman yang telah terbangun.

54

HIV/AIDS dan Ketenagakerjaan

International Labour Organization (ILO) memperkirakan bahwa paling sedikit 25 juta pekerja/buruh berumur 15-49 tahun yang merupakan kelompok angkatan kerja yang paling produktif telah terinfeksi HIV/AIDS. Kelompok angkatan kerja produktif adalah kelompok kerja yang rentan tertular HIV/AIDS disebabkan hal-hal berikut.

• Usia produktif merupakan usia di mana secara hormonal merupakan periode active sexually.

• Banyak pekerja dalam usia produktif tersebut merupakan migrant workers yang menjadi perantau dan terpisah jauh dari keluarga.

• Maraknya bisnis hiburan yang timbul di sekitar industri/pabrik tempat kerja.

• Seks merupakan salah satu kegiatan refreshing dari pekerja setelah melakukan aktivitas pekerjaan di tempat kerja.

• Informasi dan sosialisasi tentang infeksi menular seksual yang sangat minim, sehingga pekerja tidak memiliki pengetahuan tentang IMS sebagai pintu masuk HIV/AIDS.

• Adanya fenomena 3M (Man, Mobile, Money) di mana pekerja laki-laki yang memiliki pekerjaan dengan mobilitas tinggi dan mempunyai uang sangat rentan untuk melakukan perilaku berisiko.

Oleh karena itu, sangat diperlukan program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di sektor ketenagakerjaan dengan alasan sebagai berikut.

• Lebih dari 85% kasus pada kelompok usia produktif.

• Tempat kerja adalah tempat strategis untuk melakukan intervensi, untuk menjangkau usia kerja.

• Epidemi AIDS berdampak terhadap dunia bisnis.

• Banyak pekerja yang bekerja dengan situasi dan pola kerja yang berisiko tinggi terhadap terjangkitnya HIV/AIDS.

• Banyak pekerja berisiko terinfeksi HIV dalam pekerjaan yang dilakukan, misalnya pada institusi pelayanan kesehatan.

• Pengetahuan tentang HIV/AIDS masih rendah sehingga menimbulkan tindak dan sikap stigma dan diskriminasi.

Kebijakan Program Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Sesuai dengan Bab III Pasal 3 Huruf c dalam peraturan ini, disebutkan bahwa pencegahan dan penanggulangan terhadap timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik maupun psikis, peracunan, infeksi, dan penularan.

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pada Pasal 86 diatur hak pekerja/buruh untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh.

3. Kepmenakertrans Nomor Kep. 68/Men/IV/2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja.

55

4. Keputusan Dirjen PPK Nomor 20/DJPPK/VI/2005 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja.

5. Keputusan Dirjen PPK Nomor Kep. 44/PPK/VIII/2012 tentang Pedoman Pemberian Penghargaan Program Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja.

6. Kaidah ILO (ILO Code of Practice) tentang HIV/AIDS dan Dunia Kerja Tahun 2001.

7. Rekomendasi ILO (ILO R. 200) Tahun 2010 tentang HIV/AIDS dan Dunia Kerja.

8. Buku Pedoman Pelayanan Kesehatan Kerja dan HIV/AIDS.

Dampak HIV di Tempat Kerja

Berikut dampak HIV di tempat kerja.

• Menurunnya produktivitas, meningkatnya absensi kerja, tingginya pergantian pekerja/buruh, serta berkurangnya pekerja yang terampil dan berpengalaman.

• Muncul konflik di tempat kerja yang menurunkan moral pekerja.

• Stigma dan diskriminasi terhadap pekerja dengan HIV/AIDS.

• Meningkatnya pengeluaran perusahaan:

- biaya perawatan kesehatan serta pengobatan - merekrut dan melatih ulang karyawan baru - biaya jaminan asuransi

• Menambah beban pekerja di proses produksi karena berkurangnya jumlah pekerja.

• Berkurangnya profit perusahaan.