• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Selama PSBB di Tempat Kerja

SERTA DISABILITAS NASIONAL DAN DI TEMPAT KERJA

KEBIJAKAN COVID-19 DI INDONESIA

A. Kebijakan Selama PSBB di Tempat Kerja

a. Kebijakan Manajemen dalam Pencegahan Penularan Covid-19

1) Pihak manajemen harus senantiasa memantau dan memperbarui perkembangan informasi tentang Covid-19 di wilayahnya secara berkala (dapat diakses di http://infeksiemerging.kemkes.go.id. dan kebijakan pemerintah daerah setempat).

2) Pembentukan tim penanganan Covid-19 di tempat kerja yang terdiri dari pimpinan, bagian kepegawaian, bagian K-3, dan petugas kesehatan yang diperkuat dengan surat keputusan dari pimpinan tempat kerja.

3) Pimpinan atau pemberi kerja memberikan kebijakan dan prosedur untuk pekerja melaporkan setiap ada kasus yang dicurigai Covid-19 (gejala demam atau batuk/pilek/nyeri tenggorokan/sesak napas) untuk dilakukan pemantauan oleh petugas kesehatan.

4) Tidak memperlakukan kasus positif sebagai suatu stigma.

5) Pengaturan bekerja dari rumah (work from home).

Menentukan pekerja esensial yang perlu tetap bekerja/datang ke tempat kerja dan pekerja yang dapat melakukan pekerjaan dari rumah.

b. Ketentuan Jika Ada Pekerja Esensial yang Harus Tetap Bekerja Selama PSBB

1) Di pintu masuk tempat kerja, lakukan pengukuran suhu dengan menggunakan thermogun.

Sebelum masuk kerja, terapkan self assessment risiko Covid-19 untuk memastikan pekerja yang akan masuk kerja dalam kondisi tidak terjangkit Covid-19.

2) Pengaturan waktu kerja tidak terlalu panjang (lembur) yang akan mengakibatkan pekerja kekurangan waktu beristirahat yang dapat menyebabkan penurunan sistem kekebalan/imunitas tubuh.

3) Untuk pekerja sif, berikut hal-hal yang perlu diperhatikan.

- Jika memungkinkan, tiadakan sif 3 (waktu kerja yang dimulai pada malam hingga pagi hari).

- Bagi pekerja sif 3, atur agar yang bekerja terutama pekerja berusia kurang dari 50 tahun.

4) Mewajibkan pekerja menggunakan masker sejak perjalanan dari/ke rumah dan selama di tempat kerja.

5) Mengatur asupan nutrisi makanan yang diberikan oleh tempat kerja. Pilih buah-buahan yang banyak mengandung vitamin C seperti jeruk, jambu, dan sebagainya untuk membantu mempertahankan daya tahan tubuh. Jika memungkinkan, pekerja dapat diberi suplemen vitamin.

6) Memfasilitasi tempat kerja yang aman dan sehat.

a) Higiene dan sanitasi lingkungan kerja.

Memastikan seluruh area kerja bersih dan higienis dengan melakukan pembersihan secara berkala menggunakan pembersih dan desinfektan yang sesuai (setiap empat jam sekali). Terutama pegangan pintu dan tangga, tombol lift, peralatan kantor yang digunakan bersama, serta area dan fasilitas umum lainnya.

Menjaga kualitas udara tempat kerja dengan mengoptimalkan sirkulasi udara dan sinar matahari masuk ruangan kerja serta pembersihan filter AC.

58

b) Sarana Cuci Tangan

- Menyediakan lebih banyak sarana cuci tangan (sabun dan air mengalir).

- Memberikan petunjuk lokasi sarana cuci tangan.

- Memasang poster edukasi cara mencuci tangan yang benar.

- Menyediakan hand sanitizer dengan konsentrasi alkohol minimal 70% di tempat-tempat yang diperlukan (seperti pintu masuk, ruang rapat, dan pintu lift).

c) Physical distancing dalam semua aktivitas kerja. Pengaturan jarak antar-pekerja minimal 1 meter pada setiap aktivitas kerja (pengaturan meja kerja/workstation, pengaturan kursi saat di kantin, dll).

d) Mengampanyekan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) melalui Pola Hidup Sehat serta Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di tempat kerja sebagai berikut.

- Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS). Mendorong pekerja mencuci tangan saat tiba di tempat kerja, sebelum makan, setelah kontak dengan pelanggan/pertemuan dengan orang lain, setelah dari kamar mandi, dan setelah memegang benda yang kemungkinan terkontaminasi.

- Etika batuk. Membudayakan etika batuk (tutup mulut dan hidung dengan lengan atas bagian dalam). Jika menggunakan tisu untuk menutup batuk dan pilek, buang tisu bekas ke tempat sampah yang tertutup dan cuci tangan dengan sabun dan air mengalir setelahnya.

- Olahraga bersama sebelum kerja dengan tetap menjaga jarak aman dan anjuran berjemur matahari saat jam istirahat.

- Makan makanan dengan gizi seimbang.

- Hindari penggunaan alat pribadi secara bersama seperti peralatan salat dan perlengkapan makan.

c. Sosialisasi dan Edukasi Pekerja Mengenai Covid-19

1) Edukasi dilakukan secara intensif kepada seluruh pekerja dan keluarga agar memberikan pemahaman yang benar terkait masalah pandemi Covid-19. Hal ini agar pekerja mendapatkan pengetahuan untuk secara mandiri melakukan tindakan preventif dan promotif guna mencegah penularan penyakit serta mengurangi kecemasan berlebihan akibat informasi tidak benar.

2) Materi edukasi yang dapat diberikan sebagai berikut.

a) Penyebab Covid-19 dan cara pencegahannya.

b) Mengenali gejala awal penyakit dan tindakan yang harus dilakukan saat gejala timbul.

c) Praktik PHBS seperti mencuci tangan yang benar dan etika batuk.

d) Alur pelaporan dan pemeriksaan bila ada indikasi gejala Covid-19.

e) Metode edukasi yang dapat dilakukan: pemasangan banner, pamflet, majalah dinding, dll di area strategis yang mudah dilihat setiap pekerja seperti di pintu masuk, area makan/kantin, area istirahat, tangga, serta media audio & video yang disiarkan secara berulang. SMS/WhatsApp blast ke semua pekerja secara berkala untuk mengingatkan.

f) Materi edukasi dapat diakses melalui www.covid19.go.id.

59

Panduan ini diharapkan dapat meminimalisasi risiko dan dampak pandemi Covid-19 pada tempat kerja, khususnya perkantoran dan industri, di mana terdapat potensi penularan akibat berkumpulnya banyak orang dalam satu lokasi.

Dasar Hukum Ketenagakerjaan yang Inklusif dan Setara

Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

Pasal 28D (2), ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan,

“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”

Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Pasal 1 (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mendefinisikan diskriminasi adalah, “Setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.”

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 111 tentang Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan Tahun 1958 menetapkan bahwa ratifikasi konvensi: “...yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang- Undang ini.” (Pasal 1)

Konvensi ILO Nomor 111 Tahun 1958 mendefinisikan diskriminasi adalah, “Setiap perbedaan, pengecualian atau pilihan atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pendapat politik, kebangsaan atau asal-usul sosial yang mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya kesetaraan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan.”

Pasal 5 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan, “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.”

Pasal 6 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan, “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.”

Pasal 153 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan, “Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan: ... (i) karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan.”

Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. SE.60/MEN/SJ-HK/II/2006 tentang Panduan Kesempatan dan Perlakuan yang Sama dalam Pekerjaan di Indonesia.

Konvensi ILO Nomor 100 Tahun 1950 Tentang Upah yang Adil menyatakan, “Upah yang adil untuk pekerjaan yang setara nilainya”.

UU Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi ILO Nomor 100 mengamanatkan pengupahan yang sama bagi pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama.

60

Konvensi ILO Nomor 156 Tahun 1981 tentang Perlindungan Persalinan mengamanatkan pentingnya

“Berlaku adil untuk laki-laki dan perempuan; non-diskriminasi terhadap pekerja yang memiliki tanggung jawab keluarga dalam hal pekerjaan dan jabatan; layanan dan fasilitasi bantuan misalnya: pengasuhan anak, layanan keluarga.”

Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah menyatakan,

“...tidak ada diskriminasi antara buruh laki-laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya.”

UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women) mengamanatkan: “Larangan diskriminasi dan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.”

Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor 4 Tahun 1988 tentang Larangan Diskriminasi bagi Pekerja Wanita.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER/03/MEN/1989 tentang Pemutusan Hubungan Kerja menyatakan, “Melarang pemberhentian pasangan menikah berkaitan dengan kehamilan atau melahirkan.”

Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 4 Tahun 1989 tentang Pedoman Mempekerjakan Pekerja Perempuan Malam Hari menyatakan, “Perlunya perlindungan bagi pekerja perempuan yang diharuskan bekerja pada malam hari.”

Instruksi Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 1991 menyatakan, “Memberikan keleluasaan bagi pekerja perempuan yang menyusui anak. Yakni mendukung ditingkatkannya kesempatan perempuan untuk menyusui bayinya selama jam kerja.”

Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor 4 Tahun 1996 mengamanatkan tentang larangan diskriminasi bagi pekerja perempuan dalam peraturan perusahaan.

Surat Keputusan Bersama antara Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Nomor 22 Tahun 1996 dan Nomor 202 Tahun 1996 terkait kekurangan gizi pada perempuan menegaskan bahwa tempat kerja perlu memperhatikan kebutuhan gizi pekerja perempuan.

Surat Edaran Sekretaris Jenderal Departemen Tenaga Kerja Nomor 5 Tahun 1998 tentang Syarat-Syarat Pengarusutamaan Gender dalam Program dan Proyek Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Periode 1998-1999.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 111 turut membahas diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan.

Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional Pelaksanaan melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan

Konvensi Nomor 183 Tahun 2000 tentang Perlindungan Persalinan turut menyertakan perihal “Cuti persalinan, tunjangan persalinan; non-diskriminasi, perlindungan dari pemecatan; perlindungan kesehatan ibu dan anak.”

Pasal 32 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,

“Laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pelatihan.”

Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan: “Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 19 tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.”

61

Pasal 76 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan: “Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.”

Pasal 76 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan: “Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib: a) memberikan makanan dan minuman bergizi; dan b) menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.”

Selain dasar hukum nasional dan internasional tersebut, dalam dunia bisnis dikenal juga United Nations Global Compact. Ini adalah sebuah pakta PBB yang sifatnya tidak mengikat untuk mendorong bisnis di seluruh dunia mengadopsi kebijakan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab secara sosial dan untuk melaporkan implementasinya. UN Global Compact adalah kerangka kerja berbasis prinsip untuk bisnis yang menyatakan sepuluh prinsip di bidang hak asasi manusia, tenaga kerja, lingkungan, dan antikorupsi.

Di bawah Global Compact, perusahaan disatukan dengan agen-agen PBB, kelompok buruh, dan masyarakat sipil. UN Global Compact merupakan inisiatif keberlanjutan dan tanggung jawab sosial perusahaan terbesar di dunia, dengan lebih dari 13.000 peserta perusahaan dan pemangku kepentingan lain di lebih dari 170 negara, yang memiliki dua tujuan: “mengarusutamakan sepuluh prinsip dalam kegiatan bisnis di seluruh dunia” dan “mengatalisasi tindakan dalam mendukung tujuan PBB yang lebih luas, seperti Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)“. Sepuluh prinsip yang diatur dalam UN Global Compact ini adalah sebagai berikut.

1) Bisnis harus mendukung dan menghormati perlindungan hak asasi manusia yang dinyatakan secara internasional.

2) Pastikan mereka tidak terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia.

3) Bisnis harus menjunjung tinggi kebebasan berserikat dan pengakuan efektif atas hak untuk melakukan perundingan bersama.

4) Penghapusan semua bentuk kerja paksa dan kerja wajib.

5) Penghapusan pekerja anak secara efektif.

6) Penghapusan diskriminasi sehubungan dengan pekerjaan dan jabatan.

7) Bisnis harus mendukung pendekatan pencegahan terhadap tantangan lingkungan.

8) Melakukan inisiatif untuk mempromosikan tanggung jawab lingkungan yang lebih besar.

9) Mendorong pengembangan dan difusi teknologi ramah lingkungan.

10) Bisnis harus bekerja melawan korupsi dalam segala bentuknya, termasuk pemerasan dan penyuapan.

Terkait dengan UN Global Compact, setiap perusahaan memiliki tanggung jawab sosial atau yang dikenal dengan istilah social compliance. Kepatuhan sosial ini merupakan konsep di mana perusahaan bertanggung jawab secara sosial dalam hal produksi, pasokan, dan jaringan distribusinya. Praktik usaha tersebut memperhatikan aspek kesehatan, keamanan, dan hak-hak

62

dasar pekerja. Terkait dengan kepatuhan sosial, ada juga yang dikenal sebagai Social Accountability (SA) 8000.

SA 8000 merupakan sebuah standar yang menetapkan persyaratan sukarela untuk dipenuhi oleh pengusaha di tempat kerja, termasuk hak pekerja, kondisi tempat kerja, dan sistem manajemen.

Unsur-unsur normatif dari standar ini didasarkan pada hukum nasional, norma hak asasi manusia, dan konvensi ILO. SA 8000 didasarkan pada prinsip-prinsip norma hak asasi manusia seperti yang dijelaskan dalam konferensi Organisasi Perburuhan Internasional dan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang HAM. Standar ini mengukur kinerja perusahaan di delapan elemen yang penting untuk akuntabilitas sosial di tempat kerja.

Elemen-elemen tersebut sebagai berikut.

1) Larangan pekerja anak-anak.

2) Wajib kerja.

3) Kesehatan dan keselamatan kerja.

4) Kebebasan berserikat dan hak untuk berunding bersama.

5) Anti-diskriminasi.

6) Praktik kedisiplinan.

7) Jam kerja.

8) Remunerasi dan sistem manajemen. SA 8000 merupakan sistem yang sangat berguna untuk mengukur, membandingkan, dan memverifikasi pertanggungjawaban sosial di tempat kerja, karena dapat diterapkan di seluruh dunia ke dalam perusahaan mana pun dan dalam industri apa pun.

Kenapa Tempat Kerja

1. Memungkinkan penjangkauan secara MASIF untuk HIV/AIDS, TB, Covid-19, dan disabilitas.

2. Tempat kerja memiliki pembagian kerja yang TERSTRUKTUR.

3. Mekanisme kerja berjalan secara SISTEMATIK.

4. Tempat kerja memiliki berbagai sumber daya untuk upaya yang BERKELANJUTAN.

63