• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Moral dan Nilai-nilai Agama

Dalam dokumen Buku BIMBINGAN DAN KONSERLING ANAK (Halaman 185-190)

PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI

C. Karakteristik dan Permasalahan Perkembangan Anak Usia Dini

7. Perkembangan Moral dan Nilai-nilai Agama

hal-hal baru menampakkan kegairahan, maka perlu diberikan kebebasan untuk mengembangkan berbagai daya fantasinya. Begitu juga saat anak menanyakan sesuatu, misalnya tentang ikan atau bunga, akan lebih kreatif apabila orang tua atau guru memberikan barang yang dimaksud, atau mengajak anak melihat langsung benda tersebut. Pengenalan langsung anak terhadap alam merupakan cara orang tua atau guru kreatif dalam memberikan media pendidikan yang seluas mungkin pada anak. Sebagai pendidik, pada saatnya akan merasakan bahwa kreativitas laksana ruh yang mampu membangkitkan seluruh potensi anak usia dini.

pembiasaan pada tingkatan kematangannya. Perkembangan moralitas – menurut Kohlberg melalui tiga tahapan: prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional–pada anak usia dini ditandai dengan aspek perkembangan moralitas heteronom, namun pada usia sepuluh tahun kondisi ini beralih ke suatu tahap yang perkembangannya lebih tinggi yang disebut dengan moralitas otonom.

Syafaruddin dkk (2011: 78-79) mengemukakan sejumlah teori berkenaan dengan timbulnya jiwa keagamaan dan perkembangan agama pada anak, serta sifat-sifat pada agama. Dikatakan bahwa jiwa keagamaan pada anak timbul karena dua hal, yakni sebagai berikut.

a. Rasa ketergantungan (sense of dependence)

Manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat kebutuhan, yakni keinginan untuk perlindungan (security), keinginan akan pengalaman baru (new experience), keinginan untuk mendapat tanggapan (response), dan keinginan untuk dikenal (recognition). Berdasarkan kenyataan dan kerja sama dari keempat keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan hidup dalam ketergantungan. Melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari lingkungannya kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.

b. Insting keagamaan

Bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa insting, diantaranya insting keagamaan. Belum terlihatnya tindakan keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya insting itu belum sempurna. Dengan demikian, pendidikan agama perlu diperkenalkan kepada anak jauh sebelum usia tujuh tahun. Dengan kata lain, sebelum usia tujuh tahun nilai- nilai moral dan keagamaan perlu ditanamkan pada anak sejak usia dini, bahkan sejak dalam kandungan. Nilai keagamaan itu sendiri bisa berarti perbuatan yang berhubungan antara manusia dengan Tuhan atau hubungan antara sesama manusia.

adapun perkembangan agama pada anak melalui beberapa fase (tingkatan), yaitu sebagai berikut.

a. The fairy tale stage (tingkat dongeng)

Pada tingkatan yang dimulai saat anak berusia tiga hingga enam tahun.

Dalam fase ini dalam diri anak tertanam konsep mengenai Tuhan, yang tertanam dan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada

Dummy

tingkatan ini anak menghayati konsep ketuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan anak pada masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi hingga dalam menanggapi agama pun anak masih menggunakan konsep fantasi yang terkadang melalui dongeng yang kurang masuk akal.

b. The realistic stage (tingkat kenyataan)

Tingkat ini dimulai sejak anak masuk SD hingga sampai ke usia (masa usia) adolescence. Pada masa ini ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realis). Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis.

c. The individual stage ( tingkat individu)

Anak pada tingkat ini memiliki kepekaan emosi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Ada sejumlah alasan mengenalkan nilai- nilai keagamaan pada anak usia dini, yaitu anak mulai memiliki minat.

Semua perilaku anak membentuk suatu pola perilaku, mengasah potensi diri, sebagai individu, makhluk sosial, dan hamba Allah.

Agar minat anak tumbuh subur, harus dilatih dengan cara yang menyenangkan agar anak tidak merasa terpaksa dalam melakukan kegiatan keagamaan.

Sementara sifat-sifat agama pada anak usia dini – sesuai dengan ciri yang dimiliki anak usia dini–maka sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on authority. Artinya ide keagamaan pada anak hampir sepenuhnya autoritas, maksudnya konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi faktor dari luar diri mereka. Anak telah melihat dan mengikuti apa-apa yang dikerjakan dan diajarkan oleh orang tua dan orang dewasa lainnya tentang sesuatu yang berhubungan dengan kemaslahatan agama. Anak sangat mudah menerima ajaran dari orang dewasa walaupun belum mereka menyadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut. Berangkat dari hal tersebut maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat diuraikan sebagai berikut.

a. Unreflective (tidak mendalam)

Anak beranggapan atau menerima terhadap ajaran agama dengan tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam

Dummy

sehingga cukup sekadarnya saja, superficial, dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal.

b. Egosentris

Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egoisnya. Sehubungan dengan itu maka dalam masa keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya.

c. Anthropomorphis

Pandangan ketuhanan pada anak senantiasa dipersonifikasikan. Konsep ketuhanan pada diri anak menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan.

Melalui konsep yang terbentuk dalam pikiran, mereka menganggap bahwa prikeadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Pekerjaan Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat di saat orang itu berada dalam tempat yang gelap. Anak menganggap bahwa Tuhan dapat melihat segala perbuatannya langsung ke rumah-rumah mereka sebagaimana layaknya orang yang mengintai. Pada anak usia enam tahun, pandangan tentang Tuhan adalah sebagai berikut: Tuhan mempunyai wajah seperti manusia, telinganya besar dan lebar, Tuhan tidak makan tetapi hanya minum embun. Konsep Ketuhanan yang demikian itu mereka bentuk sendiri berdasarkan fantasi masing- masing.

d. Verbalis dan ritualis

Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghafal secara verbal kalimat- kalimat keagamaan dan di samping itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan.

Perkembangan agama pada anak sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan agama anak di usia dewasanya. Banyak orang dewasa yang taat karena pengaruh ajaran dari praktik keagamaan yang dilaksanakan pada masa kanak-kanak mereka. Latihan-latihan bersifat verbalis dan upacara keagamaan yang bersifat ritualis (praktik) merupakan hal yang berarti dan merupakan salah satu ciri dari tingkat perkembangan agama pada anak-anak.

Dummy

e. Imitatif

Tindakan keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdoa dan shalat misalnya, mereka laksanakan karena hasil melihat realitas di lingkungannya, baik berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif. Dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung, dan bersifat peniru ini merupakan modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak.

f. Rasa heran

Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir pada anak. Rasa kagum yang ada pada anak sangat berbeda dengan rasa kagum pada orang dewasa. Rasa kagum pada anak belum bersifat kritis dan kreatif, sehingga mereka hanya kagum terhadap keindahan lahiriah saja. Hal ini merupakan langkah pertama dari pernyataan kebutuhan akan dorongan untuk mengenal suatu pengalaman yang baru (new experience). Rasa kagum mereka dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub pada anak.

Selanjutnya berkenaan dengan perkembangan penghayataan keagamaan pada anak usia dini, William James (Murphy, 1967; Darajat, 1970) menyebutnya dengan pengalaman religi atau keagamaan (the religious experinces). Dengan kehalusan perasaan (fungsi-fungsi afektifnya) disertai kejernihan akal budi (fungsi-fungsi kognitifnya), dan didorong keikhlasan i’tikad (fungsi-fungsi konatifnya), pada saat tertentu, seseorang setidak-tidaknya pasti mengalami, mempercayai, bahkan meyakini dan menerimanya tanpa keraguan (mungkin pula masih dalam keraguan), bahwa di luar dirinya ada sesuatu kekuatan yang Maha Agung yang melebihi apa pun termasuk dirinya. Penghayatan keagamaan bukan hanya berhenti sampai kepada pengakuan atas keberadaan (the existence of great power) namun juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang eternal (abadi) yang mengatur tata hidup manusia dan alam semesta ini. Karenanya manusia mematuhi aturan itu dengan penuh kesadaran, ikhlas disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual, baik secara individual maupun kolektif, baik secara simbolik maupun dalam bentuk nyata dalam kehidupan keseharian.

Walaupun proses perkembangan seperti di atas merupakan gejala yang universal, namun terdapat variasi yang luas, baik pada tingkat

Dummy

individual maupun pada tingkat kelompok (keluarga, daerah atau aliran/

paham) tertentu. Peranan lingkungan keluarga sangat penting dalam pembinaan penghayatan keagamaan ini. Karena dalam agama diyakini bahwa pada dasarnya manusia itu baik dan memiliki potensi beragama, maka keluarganyalah yang akan mewarnai perkembangan agamanya itu. Di sinilah keluarga hendaknya menciptakan lingkungan psikologis yang mendukung pembentukan karakter anak dalam menjalankan ajaran agamanya.

Dengan demikian, kompetensi dan hasil belajar yang perlu dicapai pada aspek pengembangan moral dan nilai-nilai agama adalah kemampuan melakukan ibadah, mengenal dan percaya akan ciptaan Tuhan dan mencintai sesama manusia. Sebagai seorang pendidik anak usia dini orang tua dan guru hendaklah memberikan pengarahan yang baik agar tingkat spiritual dan kemampuan moral anak dapat berkembang dengan baik, sehingga anak dapat memilih ucapan, tindakan yang baik yang sesuai dengan nilai dan moral agama.

Dalam dokumen Buku BIMBINGAN DAN KONSERLING ANAK (Halaman 185-190)