TEORI PERKEMBANGAN ANAK
E. Teori Perkembangan Kognitif
2. Teori Robi Case
Robi Case (1978 dan 1985) dalam Suyanto (2005: 99) mengembangkan teori perkembangan kognitif yang sedikit berlainan dengan Piaget.
Namun teori tersebut didasarkan atas teori Piaget sehingga disebut teori neo-Piagetian. Terdapat sejumlah kritik yang dikemukakan oleh teori ini terhadap teori Piaget. Kritik tersebut antara lain menyatakan bahwa perkembangan anak merupakan proses kontinu. Sementara tahap perkembangan yang tegas seperti pada teori Piaget tidak terlihat. Selain itu menurut Piaget anak yang berada dalam satu tahapan, maka ia akan berada dalam tahap yang sama di semua bidang. Misalnya, anak yang berada pada tahap preoperasional maka ia akan berperilaku seperti anak praoperasional untuk semua bidang seperti bahasa, matematika, pengetahuan sosial dan sains. Kenyataannya, anak yang berada pada tahap praoperasional dalam bidang bahasa, dapat pula sudah berada pada tahap konkret pada bidang matematika. Di samping itu, penelitian juga memperlihatkan bahwa banyak anak yang berusia lebih muda menunjukkan kemampuan kognitif lebih tinggi dari apa yang disebutkan dalam teori Piaget.
Diyakini oleh Case, belajar merupakan proses meningkatnya kemampuan anak untuk memecahkan persoalan (problem solving). Ada dua cara pemecahan masalah yaitu secara heuristic dan algoritmik. Cara heuristic didasarkan atas mencoba-coba (trial and error), artinya mungkin gagal dan mungkin pula berhasil. Sementara itu cara algoritmik didasarkan atas pemikiran mendasar, misalnya didasarkan atas pengalaman atau pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Ketika anak gagal, ia akan mencari strategi baru yang lebih baik dan mencobanya. Ketika ia berhasil,
Dummy
ia telah memiliki strategi memecahkan masalah yang mungkin akan dipakai untuk memecahkan masalah lainnya. Jadi belajar merupakan proses mengembangkan strategi memecahkan masalah. Secara tegas Case mengemukakan bahwa strategi dalam memecahkan masalah meliputi tiga tahapan umum, yaitu (1) mengidentifikasi masalah; (2) menentukan tujuan pemecahan masalah; dan (3) menyusun prosedur pemecahan masalah (schema). Sebagai contoh, seorang anak melihat benda yang menarik di hadapannya tiba-tiba menghilang dari pandangannya. Bagi anak itu adalah masalah yaitu mengapa benda itu hilang dari pandangannya.
Tujuan pemecahan masalahnya adalah bagaimana mengembalikan benda tersebut ke pandangannya semula. Strategi yang dapat ia gunakan antara lain memutar kepalanya mengikuti arah benda tadi menghilang. Ilustrasi tersebut seperti digambarkan dalam gambar berikut ini.
Situsi Masalah:
Benda yang menarik hilang dari pandangan anak
Tujuan:
Mengembalikan benda ke pandangan semula
Strategi Pemecahan Masalah:
Memutar kepala mengikuti arah gerakan benda
Gambar 3.4 Strategi Pemecahan Masalah
Jadi menurut Case, anak adalah pemecah masalah (problem solver) yang senantiasa berupaya memecahkan persoalan. Ia berusaha mengembangkan cara yang lebih baik dan efisien untuk memecahkan masalah. Melalui pemecahan masalah anak mengembangkan pengetahuan. Ada empat jenis pengetahuan yang berkembang melalui pemecahan masalah, yakni deklaratif, prosedural, skematik, dan metakognitif. Keempat jenis pengetahuan dimaksud akan dijelaskan berikut ini.
a) Pengetahuan Deklaratif
Pengetahuan deklaratif adalah pengetahuan tentang benda, baik nama, ciri, maupun sifat-sifatnya yang menurut Piaget disebut schema figurative. Pengetahuan deklaratif juga meliputi konsep. Misalnya konsep tentang kursi adalah sebagai tempat duduk, memiliki sandaran,
Dummy
dan letaknya cukup tinggi dari lantai. Jenisnya bisa kursi kayu, kursi besi, atau kursi goyang. Dengan cara yang sama individu juga mengembangkan konsep senjata, kendaraan, makanan, dan sebagainya.
Konsep yang setara akan diorganisasi bersama sebagai rumpun konsep.
Di dalam rumpun konsep terdapat “konsep” dan “subkonsep” yang menunjukkan tingkatan keluasannya. Misalnya konsep kendaraan, di dalamnya terdapat subkonsep kendaraan roda dua, roda tiga, atau roda empat. Di dalam subkonsep roda empat terdapat bus, truk, dan tangki. Secara skematik hubungan konsep dan subkonsep digambarkan sebagai berikut.
Kendaraan
Roda dua Roda tiga Roda empat
Bus
Truk Tangki
Gambar 3.5. Hubungan Antara Konsep dan Subkonsep
Case meyakini bahwa pengetahuan deklaratif ini merupakan modal dasar dalam mengidentifikasi masalah dan berbagai alternatif pemecahannya. Setelah memecahkan suatu masalah, anak juga akan menambahkan pengetahuan deklaratif ataupun mengubah konsep yang dimiliki.
b) Pengetahuan Prosedural
Pengetahuan prosedural meliputi berbagai proses atau prosedural yang berguna untuk memecahkan masalah. Misalnya, cara mengendarai sepeda, menanam pohon, dan memancing ikan. Pengetahuan ini juga mencakup hubungan antarkonsep untuk memahami prinsip. Misalnya konsep tentang air, suhu, panas, dan mendidih. Konsep-konsep
Dummy
tersebut dapat digabung sehingga menjadi “Air akan mendidih jika dipanaskan sampai suhu 100 derajat Celsius”. Ciri lain pengetahuan prosedural ialah menggunakan preposisi “jika” dan “maka”, seperti
“Jika hujan deras, maka arus sungai meningkat”.
c) Pengetahuan Skematik
Untuk memecahkan masalah, anak harus mengembangkan skema pemecahannya. Seorang anak yang memiliki “masalah” haus ingin memecahkan masalahnya dengan cara minum. Ia harus memiliki skema atau urutan langkah yang akan ditempuh untuk dapat minum.
Ia akan pergi ke dapur, mengambil gelas, lalu mendekati dispenser, menaruh gelas di bawah kran, dan menekan kran sampai keluar air yang cukup untuk ia minum. Urutan seperti itu disebut skema. Contoh lain dari skema adalah peta. Dengan peta orang dapat menjelaskan cara ia pergi ke suatu tempat dari rumahnya.
d) Pengetahuan Metakognitif
Metakognitif adalah proses berpikir tentang cara kita berpikir. Setelah memecahkan masalah, kita dapat mengevaluasi strategi yang telah kita gunakan untuk memecahkan masalah tersebut, apakah berhasil atau gagal, efisien atau tidak efisien. Hasil dari proses tersebut dikenal dengan pengetahuan metakognitif. Melalui proses metakognitif, manusia mampu mengembangkan pengetahuan dan teknologi dengan lebih baik.
Belajar melalui pemecahan masalah sangat baik bagi anak usia dini.
Tentu saja persoalan yang digunakan sederhana agar mampu dipahami anak. Alternatif pemecahannya pun bervariasi, tidak mengarah pada suatu jawaban benar. Hal itu dimaksudkan agar anak mampu mengembangkan pikirannya secara kreatif dalam memecahkan persoalan.