• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Behaviorisme

Dalam dokumen Buku BIMBINGAN DAN KONSERLING ANAK (Halaman 102-110)

TEORI PERKEMBANGAN ANAK

C. Teori Behaviorisme

bahwa ia adalah bagian dari sejarah kehidupan. Bila dalam hidupnya seseorang merasa tidak berbuat apa-apa, menyesali hidup, dan takut menghadapi kematian, maka akan timbul rasa putus asa. Sebaliknya, jika individu tersebut merasa berhasil maka ia akan mengembangkan integritas dirinya.

suatu hukum yang sama untuk semua manusia, bahkan semua makhluk hidup. Meskipun diakui ada mahkluk hidup yang dapat belajar lebih baik dari makhluk hidup yang lain. Teori ini dikembangkan melalui observasi terhadap perilaku belajar yang tampak (observable behavior). Pencetus teori ini adalah peneliti berkebangsaan Rusia, Ivan Petrovich Pavlov yang lahir di Rjasan 14 September 1849 dan meninggal di Leningrad 27 Februari 1936 (1849-1936). Ia memiliki dasar pendidikan ilmu faal sebagai doktor kedokteran dari Universitas St. Petersburg. Studinya tentang refleks merupakan dasar bagi perkembangan aliran psikologi behaviorisme dan sebagai dasar penelitian proses belajar dan pengembangan teori belajar. Ia meneliti proses belajar dengan melakukan percobaan menggunakan anjing dan memperoleh hadiah Nobel untuk percobaan dimaksud. Pavlov memberi daging secara periodik pada anjing yang didahului dengan membunyikan bel. Setiap kali daging akan diberikan, bel dibunyikan. Setelah beberapa lama, setiap kali bel dibunyikan, anjing mengeluarkan air liur. Ketika bel dibunyikan tanpa daging, anjing juga mengeluarkan air liur. Kesimpulannya ialah anjing mampu menghubungkan bunyi bel dengan daging. Ketika mendengar bunyi bel, anjing membayangkan datangnya daging sehingga air liurnya keluar. Proses anjing bisa menghubungkan antara bunyi bel dengan daging yang direspons dengan keluarnya air liur seperti itu disebut belajar.

Dalam percobaannya Pavlov menyebut daging sebagai stimulus tak terkondisi dan air liur sebagai respons tak terkondisi. Setiap kali daging diberikan kepada anjing, maka secara refleks mulut anjing akan mengeluarkan air liur. Bunyi bel disebut sebagai stimulus terkondisi, yang pada dasarnya tidak ada hubungannya dengan respons. Pada mulanya anjing tidak berliur hanya karena mendengar bunyi bel. Karena stimulus tak terkondisi (daging) diberikan secara bersamaan dengan stimulus terkondisi (bel), maka akhirnya timbul hubungan antara stimulus terkondisi (bel) dengan respons (air liur). Jadi anjing dikatakan telah belajar (mengetahui) bahwa bel merupakan tanda datangnya daging. Pavlov meyakini bahwa respons dari seseorang tergantung pada stimulus yang diterima. Pavlov selanjutnya menarik kesimpulan baik hewan maupun manusia memiliki respons terhadap stimulus netral dan berarti (meaningful). Dalam percobaan di atas ia menghubungkan antara bel (stimulus netral) dengan makanan dan responsnya terhadap suara.

Secara skematik hubungan antara stimulus dan respons dimaksud dapat digambarkan sebagai berikut:

Dummy

Gambar 3.1 Hubungan antara Stimulus Respons, Baik Tak Terkondisi Maupun Terkondisi

Bagaimana aplikasi dari teori classical conditioning dalam pembelajaran?

Dalam kehidupan sehari-hari banyak contoh yang dapat membuktikan teori ini, misalnya saat seseorang membayangkan makanan yang sangat disukainya maka mulutnya secara otomatis akan menghasilkan lebih banyak ludah. Ketika akan menghadapi ujian atau tes, sejumlah orang akan berkeringat dingin, sakit perut; atau saat seseorang menonton film horor atau film yang menegangkan jantungnya akan berdebar lebih cepat dari biasanya. Banyak hal yang bisa diterangkan dengan teori ini, terutama yang berkaitan dengan perilaku, penanaman disiplin, dan sikap.

Dalam menanamkan disiplin, aturan, dan moral hendaknya dipasangkan dengan suatu ganjaran dan hukuman. Setiap kali memperkenalkan aturan, hendaknya diperkenalkan pula hadiah dan sanksinya. Misalnya untuk menanamkan disiplin tepat waktu, anak-anak diberitahu harus masuk tepat waktu, misalnya pukul 07.15. Bagi anak yang sepuluh kali dapat datang tepat waktu diberi hadiah mainan gratis sedangkan bagi yang terlambat tiga kali sanksinya disuruh bernyanyi. Dengan demikian, anak akan tepat waktu, bisa karena senang pada hadiahnya, atau mungkin juga takut terhadap hukumannya. Perilaku datang ke sekolah tepat waktu secara perlahan akan menjadi kebiasaan yang pada akhirnya anak-anak belajar menjadi orang yang tepat waktu. Para pendidik sebaiknya menggunakan stimulus dan respons secara konsisten. Misalnya, setiap kali ada anak yang menjawab pertanyaan, guru memberi pujian. Sebaliknya setiap kali ada anak yang nakal, maka guru memberi teguran atau hukuman. Konsistensi merupakan bagian yang sangat penting dalam menanamkan perilaku. Jika

Dummy

pendidik tidak konsisten anak menjadi bingung dan hubungan antara stimulus respons yang diinginkan tidak terwujud. Misalnya, karena yang terlambat anak kepala sekolah maka guru tidak memberi hukuman. Anak- anak lain merasa hal itu tidak adil dan akhirnya iklim kelas menjadi tidak sehat (Suyanto, 2005: 81).

Dalam konteks pendidikan anak usia dini, para psikolog beranggapan bahwa anak bayi telah siap secara biologis untuk menghubungkan beberapa kejadian tertentu dengan beberapa reaksi internal tertentu atau reaksi yang terbuka. Tidak semua rangsangan mampu menjadi rangsangan bersyarat untuk suatu respons tertentu, dan hubungan pengondisian tidak terjadi setiap kali dua kejadian terjadi secara berdekatan pada suatu saat. Bayi yang masih menyusu, misalnya siap menghubungkan bau minyak wangi ibunya dengan suatu perasaan yang menyertai saat ia diberi makan, namun kurang siap untuk menghubungkan temperatur ruangan atau warna di dinding dengan keadaan perasaan tersebut. Dalam pengondisian klasik itu dapat diterapkan pada bayi yang menginginkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan, misalnya dengan cara puting susu ibu ditempelkan, langsung mulut anak akan siap meminum ASI yang disodorkan ibu. Contoh lainnya adalah dengan ibu melepaskan celana agar bayinya kencing karena sudah saatnya kencing. Bayi merasa ada rangsangan dengan celana dilepas, sehingga merespons untuk mengeluarkan kencing (Syafaruddin dkk, 2011: 91).

Bila diaplikasikan dalam bimbingan dan konseling teknik yang acapkali digunakan adalah teknik desensitization, yakni teknik mengondisikan individu untuk tidak sensitif terhadap kecemasan yang dihadapinya, yang berarti individu mampu mengatasi dan mengendalikan perilaku dalam menghadapi kecemasan. Krumboltz dan Thoreson menyebut penerapan prinsip ini sebagai “keperilakuan humanis” atau behavioral humanism (Kartadinata, 2010: 218).

2. Operant Conditioning Theory

Pencetus teori operant conditioning adalah Edward L. Thorndike (1874- 1949). Berbeda dengan classical conditioning, organisme dipandang sebagai responden yang pasif seperti penggunaan ludah pada anjing, sedangkan pada operant conditioning, organisme dipandang sebagai responden yang aktif, misalnya perilaku menulis, membaca, makan, dan minum dengan menggunakan alat (Komalasari dkk, 2011: 144). Prinsip-prinsip operant conditioning adalah reinforce diasosiasikan dengan respons, karena respons itu beroperasi memberi reinforcement. Respons dimaksud disebut tingkah

Dummy

laku operan (operant behavior). Ia melakukan percobaan menggunakan seekor kucing yang diletakkan di dalam kotak. Kucing mencari jalan keluar dari kotak dengan jalan mencoba-coba. Menurut Thorndike dalam memecahkan masalah binatang dan manusia tidak selalu dengan caranya secara algoritmik, namun banyak juga yang memecahkan masalahnya dengan cara mencoba-coba (trial and error). Hasil kajiannya melahirkan apa yang disebut law effect (hukum akibat). Hukum akibat merupakan suatu respons dari suatu stimulus diikuti dengan kepuasan, maka respons tersebut cenderung diulang. Sebaliknya suatu respons diikuti oleh hal tidak menyenangkan, maka respons tersebut tidak dilakukan lagi. Dengan kata lain bila tingkah laku operan sebelumnya belum pernah dimiliki, ketika ia melakukan tingkah laku tersebut dan mendapat hadiah (reinforcement) maka tingkah laku tersebut berpeluang untuk sering terjadi. Jadi konsekuensi memegang peranan penting terhadap muncul tidaknya suatu respons.

Artinya hasil yang memuaskan dapat disebut dengan kejadian yang menguatkan.

Apa yang sudah dicapai oleh Thorndike dilanjutkan oleh Clark L. Hull (1884-1952). Menurut Hull, teori S-R (stimulus-respons) ditentukan oleh kondisi individu sehingga menjadi S-O-R. S adalah stimulus, R adalah respons, dan O adalah kondisi internal organisme. Jadi pada intinya individu melakukan proses berpikir terlebih dahulu sebelum menentukan respons dari suatu stimulus.

Tokoh lain yang mengembangkan operant conditioning adalah Burrhus Frederic Skinner (1904-1990). Skinner berpendapat bahwa tingkah laku yang dikontrol berdasarkan pada prinsip operant conditioning yang memiliki asumsi bahwa perubahan tingkah laku diikuti dengan konsekuensi (Corey, 1986:174-175). Asumsi dasar teori operant conditioning tentang tingkah laku antara: tingkah laku mengikuti hukum atau prinsip tertentu, tingkah laku dapat diramalkan, tingkah laku dapat dikontrol atau dimanipulasi, tingkah laku dikontrol dengan teknik analisis fungsional dalam bentuk hubungan sebab akibat dan bagaimana suatu respons timbul mengikuti stimuli atau kondisi tertentu yang dikontrol penyebabnya. Oleh karena operant conditioning berfokus pada akibat tingkah laku sehingga disebut juga instrumental conditioning. Skinner sangat meyakini bahwa tingkah laku yang paling berarti adalah tingkah laku operant dan tingkah laku ini dikontrol oleh akibat-akibatnya yang diistilahkan dengan reinforce atau punisher (Rosjidan, 1994: 8). Jadi dalam teori ini Skinner menekankan bahwa manusia atau hewan belajar bahwa pemberian perilaku khusus akan menghasilkan suatu

Dummy

Bila konsekuensi tersebut bersifat menyenangkan dan penuh makna maka manusia atau hewan cenderung akan mengulangi perilaku khusus tersebut untuk mencapai akibat atau konsekuensi yang menyenangkan kembali. Namun bila konsekuensi atau akibat yang dihasilkan dirasa tidak menyenangkan maka manusia atau hewan tersebut tidak akan mengulangi kembali perilaku tersebut. Teori ini sangat menekankan konsep penguatan (reinforce), baik yang bersifat positif maupun negatif. Dengan kata lain konsekuensi memegang peranan penting terhadap munculnya suatu perilaku. Anak yang dihukum guru karena terlambat masuk sekolah cenderung tidak mengulangi perilaku terlambatnya karena takut dihukum lagi. Sebaliknya anak yang mendapat pujian karena menolong mengambilkan buku temannya yang jatuh, akan cenderung menolong temannya lagi bila temannya menemui kesulitan. Jadi penguatan yang bersifat positif (reward) adalah yang bersifat menyenangkan, membuat perasaan menjadi senang, dapat diungkapkan dengan kata-kata ataupun dapat diungkapkan dengan sesuatu kebutuhan pada individu yang dapat memuaskan, penghargaan, dengan memberikan sebuah permen atau dengan memberikan pujian. Sementara itu penguat yang bersifat negatif (punishment) merupakan penguat yang bersifat tidak menyenangkan yang diberikan pada saat perilaku yang timbul kurang diharapkan untuk diulang.

Penguatan dapat berasal dari luar individu (extrinsic) atau dari dalam diri individu (intrinsic). Penguatan extrinsic berasal dari lingkungan sekitar dengan bentuk yang beragam, misalnya penghargaan atas prestasi, naik jabatan, gaji pegawai, hadiah, pujian, dan lain sebagainya. Pada anak usia dini pendidik dapat memberikan penguatan dengan memperlihatkan wajah gembira atau senang, pelukan, pujian lisan, stiker, bintang, dan permen.

Penguatan intrinsic berasal dari dalam diri individu tersebut, misalnya perasaan bangga, perasaan puas, dan lain sebagainya. Sementara itu menurut Skinner punishment selalu memberikan efek yang merugikan. Tidak jarang individu yang diberikan punishment dengan frekuensi tertentu akan bersikap masa bodoh, frustrasi atau akan menjadi seorang yang agresif.

Bentuk punishment antara lain memukul, menegur, dipotong hak-haknya, diabaikan atau dipisahkan dari teman-temannya (Wahyuddin & Agustin, 2011: 30).

Dalam teori operant conditioning walaupun konsekuensi penting namun organisme (individu) tetap memegang peranan yang lebih penting terhadap munculnya suatu perilaku, inilah yang dikatakan organisme dipandang

Dummy

sebagai responden yang aktif. Perilaku bukan semata-mata ditentukan oleh konsekuensinya, tetapi bagaimana individu tersebut memandang konsekuensi tersebut. Pengendara kendaraan bermotor berhenti saat lampu lalu lintas merah. Hal ini bukan karena lampu yang menyebabkan ia berhenti, tetapi ia takut konsekuensinya, yaitu mendapat hukuman dari polisi, tertabrak, atau dimaki orang lain. Buktinya, kalau tidak ada polisi, banyak orang melanggar lampu lalu lintas. Namun dalam kondisi darurat, seseorang bisa saja melewati lampu merah dan siap menerima segala konsekuensinya (Suyanto, 2005: 83).

Bagaimana hubungan antara individu, stimulus, dan respons dalam teori operant conditioning dapat diamati dalam gambar 3.2 berikut ini.

Individu

Stimulus Respons

Sumber: Drs. Slamet Suyanto, M.Ed/ Dasar-dasar Pendidikan Anak Usia Dini /2005:83

Gambar 3.2 Hubungan Antara Stimulus, Respons, dan Individu Dalam Teori Operant Conditioning

Suyanto (2005: 84) selanjutnya menjelaskan bahwa perilaku bukan semata-mata ditentukan oleh stimulus, namun tergantung bagaimana individu memandang bentuk hadiah dan hukuman yang ada. Seorang peserta didik yang nakal akhirnya dihukum oleh gurunya ke luar kelas karena tidak mau mengerjakan tugas. Apakah peserta didik tadi akan menghentikan perilaku buruknya? Belum tentu. Karena hal tersebut sangat tergantung pada peserta didik dimaksud. Bagi peserta didik yang masih ingin sekolah dan benar-benar ingin belajar, ia mungkin tidak mau lengah lagi, ia akan selalu mengerjakan tugas karena takut dikeluarkan dari kelas. Bagi peserta didik yang ingin bermain di luar kelas, ia akan dengan senang hati mengulang lagi perilakunya yaitu tidak mengerjakan tugas karena ia berharap dikeluarkan lagi dan dapat bermain di luar kelas. Jadi sesuatu yang oleh guru dianggap hukuman, boleh jadi dianggap hadiah oleh peserta didik. Oleh karena itu, muncul istilah hadiah positif dan hadiah negatif, serta hukuman positif dan

Dummy

tersebut bersifat negatif karena membuatnya jera. Bagi peserta didik kedua, hukuman tersebut bersifat positif karena membuatnya senang untuk melakukannya lagi. Apa yang dimaksudkan dengan hadiah dan hukuman positif dan negatif dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 3.1 Hadiah dan hukuman dalam teori operant conditioning Jenis Hadiah dan Hukuman Menyenangkan Menyakitkan

Hadiah Hadiah positif Hadiah negatif

Hukuman Hukuman positif Hukuman negatif

Implikasi teori ini menurut Suyanto (2005: 85) ialah bahwa guru harus hati-hati dalam menentukan jenis hadiah dan hukuman. Guru harus mengetahui benar hobi atau kesenangan peserta didiknya. Hukuman harus benar-benar sesuatu yang tidak disukai anak didik. Sebaliknya hadiah merupakan hal yang sangat disukai anak. Jangan sampai anak yang diberi hadiah menganggapnya sebagai hukuman atau sebaliknya, apa yang menurut guru adalah hukuman bagi peserta didik dianggap sebagai hadiah. Contoh, anak yang suka bermain sepak bola akan menganggap pemberian waktu untuk bermain sepak bola adalah hadiah. Sebaliknya, melarang anak tersebut untuk sementara waktu tidak bermain sepak bola adalah hukuman yang menyakitkan. Sementara itu implikasinya dalam bimbingan dan konseling ialah bahwa konselor harus merumuskan secara spesifik perilaku yang menjadi tujuan konseling. Konselor tidak bekerja semata-mata atas dasar pemahaman konsep ambiguitas atau konsep diri atau kekuatan ego, melainkan harus mendefinisikan bentuk-bentuk respons yang hendak dikembangkan dengan disertai prosedur pengembangan yang jelas (Kartadinata, 2010: 217).

Sedangkan dalam proses pembelajaran, implikasi teori ini adalah guru akan terlebih dahulu menentukan apakah anak telah memiliki sebuah konsep tertentu, misalnya korespondensi satu-satu dalam pengetahuan matematika. Bila diperlukan, guru memberikan instruksi langsung yang meminta anak menghubungkan sebuah benda dengan benda lain dan bertanya apakah kedua benda tersebut ekuivalen. Guru mungkin juga akan menyediakan lembar kerja berupa gambar anjing dan tulang, lalu meminta anak menarik garis dari gambar anjing ke gambar tulang. Guru akan menggunakan berbagai cara lain yang meminta anak melatih konsep korespondensi satu-satu ini hingga anak benar-benar memahaminya.

Penguatan dengan memberikan senyuman atau cap bintang pada lembar

Dummy

kerja anak-akan diberikan untuk masing-masing anak bilamana mereka berhasil menyelesaikan lembar kerjanya.

Secara garis besar persamaan dan perbedaan antara teori classical conditioning dan operant conditioning dapat dilihat pada tabel 3.2 berikut ini.

Tabel 3.2 Perbandingan Antara Teori Classical Conditioning dan Operant Conditioning

Objek Utama Classical Conditioning Operant Conditioning Apa yang dipelajari Respons yang bersifat refleks

akibat suatu stimulus yang pada dasarnya tidak berkaitan

Individu belajar merespons suatu stimulus berdasarkan pertimbangan tertentu

Aktivitas anak Anak relatif pasif, tergantung stimulus yang diberikan oleh lingkungannya

Anak aktif menentukan bentuk respons terhadap suatu stimulus, tergantung konsekuensinya Sumber motivasi M o t i v a s i t i d a k b a n y a k

digunakan, anak belajar m e r e s p o n s t e r g a n t u n g stimulusnya

Kebutuhan biologis menjadi motivasi dasar, dan hadiah positif menjadi motivator perilaku berikutnya

Dalam dokumen Buku BIMBINGAN DAN KONSERLING ANAK (Halaman 102-110)