• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Jean Piaget

Dalam dokumen Buku BIMBINGAN DAN KONSERLING ANAK (Halaman 117-130)

TEORI PERKEMBANGAN ANAK

E. Teori Perkembangan Kognitif

1. Teori Jean Piaget

Berkenaan dengan pengasuhan anak dipercaya bahwa mengasuh anak mestinya dimulai dengan pengakuan terhadap hukum kematangan biologis. Orang tua dan guru tidak semestinya memaksa anak memasuki pola-pola tindakan yang tidak mereka pahami, melainkan mengikuti petunjuk dari anak-anak itu sendiri. Orang tua harus menunda keinginan mereka untuk mewajibkan apa yang “mestinya” dilakukan bayi dan mulai menghargai kemampuan bayi untuk menumbuhkan pengaturan dirinya.

Gesell menekankan bahwa tahun pertama adalah waktu terbaik untuk belajar menghormati individualitas anak. Orang tua yang bertanggung jawab terhadap kebutuhan anak selama masa bayi secara alamiah akan sensitif dengan ketertarikan dan kemampuan unik anak-anak itu dan lebih memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi pertumbuhan individualitas anak dan penemuan dirinya. Dengan kata lain orang tua harus (1) menghindari anggapan bahwa anak yang sedang berkembang sangat tergantung pada orang tua; (2) berusaha untuk menghargai pertumbuhan luar biasa yang terjadi; (3) menghargai ketidakmatangan anak dengan mengantisipasi bahwa sebelum anak mampu berjalan sendiri, anak membutuhkan bimbingan; dan (4) membiarkan anak berkembang tahap demi tahap.

Oleh karena itu, ketika berkeluarga ketertarikannya itu dipuaskannya dengan melakukan penelitian terhadap perkembangan ketiga buah hatinya Jacqueline, Licciene, dan Laurent. Penelitian inilah yang menjadikan ia sangat mendunia. Dalam penelitiannya Piaget menggunakan dua metode penelitian yakni observasi natural dan observasi klinis. Observasi natural dilakukan dengan mengamati anak secara apa adanya, tanpa intervensi atau perlakuan apa pun kepada anak. Sedangkan metode klinis dilakukan Piaget dengan cara memberi persoalan atau pertanyaan kepada anak dan anak meresponsnya secara verbal. Selanjutnya ia menganalisis semua respons anak secara detail.

Sebagaimana dimaklumi dalam keseluruhan proses perkembangan individu aspek yang juga sangat penting adalah perkembangan intelektual (intellectual development). Kognisi merupakan bagian intelek yang merujuk pada penerimaan, penafsiran, pemikiran, pengingatan, pengkhayalan, pengambilan keputusan, dan penalaran. Dengan kemampuan kognisi inilah individu mampu memberikan respons terhadap kejadian apa pun yang ada di sekelilingnya baik secara internal maupun eksternal. Menurut Piaget, perubahan perilaku akibat belajar–belajar adalah perubahan perilaku yang relatif permanen akibat pengalaman – merupakan hasil dari perkembangan kognitif anak yaitu kemampuan anak untuk berpikir tentang lingkungan sekitarnya, di mana kemampuan berpikir ini dipengaruhi oleh dua hal yakni maturasi (proses menjadi dewasa) dan kesiapan (readines). Suyanto (2005: 94) menggambarkan proses maturasi ini dengan pola berjalan pada anak yang melewati tahapan-tahapan tertentu, seperti duduk, merangkak, berdiri, dan berjalan. Pola tersebut relatif sama untuk setiap individu, meskipun ada anak yang dapat berjalan pada usia yang lebih muda dari yang lain. Proses maturasi sangat tergantung jam biologis, artinya tidak dapat dipercepat oleh latihan atau makanan. Bayi usia tiga bulan tidak mungkin dapat berjalan karena otat kaki dan sistem koordinasinya belum berkembang dengan baik.

Sebagaimana halnya maturasi fisik, Piaget sangat yakin bahwa perkembangan mental anak juga mengikuti jam biologis dan dengan pola yang sama. Pola tersebut melalui empat tahapan yaitu (1) sensorimotor, (2) praoperasional, (3) operasional konkret, dan (4) operasional formal.

Keempat tahapan tersebut menggambarkan perkembangan kognitif anak sehingga teori Piaget disebut teori perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif anak secara umum mengikuti pola perilaku yang bersifat

Dummy

menggunakan logika tingkat tinggi. Keempat tahapan perkembangan kognitif tersebut dijelaskan seperti berikut ini.

a. Sensorimotor (0 – 2 tahun)

Anak sejak lahir sampai usia sekitar satu dan dua tahun memahami objek di sekitarnya melalui sensori dan aktivitas motor atau gerakannya.

Dengan kata lain pada tahap ini anak lebih banyak menggunakan gerak refleks dan indranya untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Anak lebih mendapatkan pengalamannya dengan tubuh dan inderanya sendiri.

Setelah ia mampu berjalan dan memanipulasi benda-benda, mulailah ia memanipulasi objek-objek di luar dirinya. Ia mulai mengenal apabila suatu benda tidak tampak tidak berarti bahwa benda tersebut tidak ada (object permanence). Pada tahapan ini anak akan meniru perilaku orang lain dan binatang sementara itu model ditiru sudah tidak tampak lagi. Nantinya hasil pengalaman berinteraksi dengan lingkungan ini sangat berguna untuk berpikir lebih lanjut. Disebut sensorimotor karena anak pada saat ini belum mampu mengoperasionalkan mental secara logik. Piaget (Suyanto, 2005:

53-67) membagi tahap ini menjadi enam seperti di bawah ini.

1) Tahap refleks (reflexive stage), usia 0 hingga 1 bulan.

Pada tahap ini gerak refleks sangat dominan. Anak secara refleks memberi respons terhadap rangsang tertentu. Ia akan menangis bila merasa haus atau lapar atau pakaiannya basah. Ia juga akan menangis kalau kedinginan atau kepanasan. Jadi refleks permualaan ini sangat penting untuk mempertahankan hidup (survival).

2) Reaksi silkuler primer (primary circular reaction), usia 1 hingga 4 bulan.

Tahap ini disebut demikian karena dua hal (a) anak melakukan gerak refleks terhadap anggota tubuhnya (primary); dan (b) anak mengulang gerak tersebut (circular). Sebagai contoh, anak secara tidak sengaja memasukkan jempol tangannya ke mulut. Hal ini kemudian diulanginya sampai menjadi perilaku.

3) Reaksi sirkuler sekunder (secondary circular reaction), usia 4 hingga 8 bulan.

Pada usia 4-8 bulan anak mulai menaruh perhatian tidak saja pada anggota badannya, namun juga pada benda-benda di sekelilingnya (secondary). Anak mulai memerhatikan wajah ibunya, suara ibunya, dan memerhatikan botol susu. Ia juga mulai memegang benda-benda yang ada di sekelilingnya dan memainkannya.

Dummy

4) Koordinasi skema sekunder (coordination of secondary schemata), usia 8 hingga 12 bulan.

Anak pada usia ini sudah menggunakan memori hasil pengalaman sebelumnya untuk mereaksi suatu rangsang. Hal ini tentu dimulai dari rangsang yang sama atau yang pernah dikenalnya. Ia mulai memerhatikan perilaku orang lain dan belajar menirukannya. Misalnya, ia akan melambaikan tangan jika orang lain melambaikan tangan kepadanya. Ia juga mulai senang diajak bermain.

Pada akhir tahap sensorimotor anak sudah mulai menunjukkan perilaku inteligen sekalipun masih dalam batas aktivitas motorik sebagai reaksi terhadap stimulus sensoris. Selain itu mulai tampak adanya diferensiasi antara subjek dan objek, atau antara anak dengan benda-benda di lingkungannya. Ciri khas perkembangan tahap ini ditunjukkan dengan gejala objek yang telah permanen, anak masih mengelai objek di otaknya meskipun objek tersebut secara riil tidak ada di sekitarnya.

b. Preoperasional (2–7 tahun)

Pada tahap ini anak mulai menunjukkan proses berpikir yang lebih jelas. Ia mulai mengenali beberapa simbol dan tanda termasuk bahasa dan gambar. Anak menunjukkan kemampuannya melakukan permainan simbolis (symbolic play atau pretend play). Misalnya anak berpura-pura minum dari sebuah cangkir mainan yang kosong atau menggerakkan balok kayu sambil menirukan bunyi mobil seakan-akan balok itu adalah mobil.

Dengan demikian anak sudah menggunakan memorinya tentang mobil dan menggunakan balok kayu untuk mengekspresikan pengetahuan itu.

Penguasaan bahasa anak pada tahap ini sudah sistematis, anak sudah mampu melakukan permainan simbolis, imitasi (baik langsung maupun tertunda), serta mampu mengantisipasi keadaan yang akan terjadi pada waktu mendatang. Namun cara berpikir anak masih sangat egosentris – anak belum mampu mengambil perspektif orang lain – baik secara persepsi emosional, motivasional, maupun konseptual. Ciri khas tahap ini adalah kurangnya kemampuan mengadakan konservasi, cara berpikir masih memusat sehingga perhatiannya hanya terpusat pada satu dimensi saja dan mengabaikan dimensi yang lain. Misalnya, anak diminta menuangkan air ke dalam bejana yang sama pendeknya. Lalu anak ditanya apakah air di dalam dua bejana sama banyaknya, dan dijawab “ya”. Kemudian dan satu di antara dua bejana dimasukkan dalam bejana yang ukurannya lebih panjang/tinggi dan dua yang semula (padahal

Dummy

yang panjang atau yang masih ada dalam bejana semula, anak menjawab bahwa yang lebih banyak adalah yang ada dalam di dalam bejana yang lebih panjang/tinggi. Apabila ditanya mengapa ia menganggap bahwa yang ada di dalam bejana yang panjang/tinggi lebih banyak. Anak akan menjawab karena air di dalam bejana yang panjang lebih tinggi.

Selain itu cara berpikir preoperasional tidak dapat berpikir balik (irreversible). Misalnya, anak secara mental tidak mampu menuangkan air dan bejana yang tinggi dan sempit ke suatu bejana yang lebih besar permukaan tetapi lebih pendek atau tidak mampu memahami penalaran yang ada di belakang soal matematika sebenarnya kebalikannya (3 + 4

= 7, atau 7 – 4 = 3) atau ketika anak membongkar mainan, ia kesulitan memasang kembali mainan tersebut, walaupun mainan tersebut sangat sederhana. Karena itulah terkadang orang dewasa berpandangan cara berpikir dan tingkah laku anak tidak logis, yang kemudian dikatakan sebagai masa pralogis.

Pada usia 2 tahun anak mulai dapat mengucapkan beberapa kata, terlepas dari kemampuannya memahami kata yang diucapkan. Menurut Lev Vygotsky (1971), dalam bukunya Pikiran dan Bahasa (Thought and Language), bahasa dan pikiran pada mulanya berbeda asal. Akan tetapi, akhirnya bahasa menjadi ekspresi dari pikiran. Pada usia 4-5 tahun anak semakin menunjukkan kemampuannya untuk berbicara, terutama dengan teman sebayanya. Di TK sering anak usia ini berkumpul dan bercakap-cakap serius. Kalau dicermati, percakapan mereka bersifat “kolektif monolog”, artinya tak lebih dari percakapan searah (bukan dialog). Misalnya Budi,”Ayah saya beli sepeda baru.”

Lalu si B menimpali, “Ayahku punya sepeda baru juga,” dan si C menambahkan,

“Ayahku mau ngajak saya naik sepeda.” Percakapan tersebut seakan menyatu yaitu membicarakan tentang sepeda tetapi sebenarnya percakapan tersebut tidak ada kaitannya satu sama lain. Sebab tiap-tiap anak menunjukkan “aku”- nya. Akan tetapi, hal ini penting artinya sebagai awal sosialisasi anak. Anak usia 5 tahun, menurut Piaget (1972), memiliki pola berpikir yang disebut precasual reasoning. Istilah ini digunakan untuk menerangkan hubungan sebab akibat. Tipe-tipe pola pikir ini sebagai berikut.

1) Motivasi

Menurut pola pikir ini, hubungan sebab akibat didasarkan atas suatu tujuan tertentu. Kalau anak ditanya, “Mengapa matahari bersinar?”

Anak mungkin menjawab, “Sebab Tuhan mengirimnya agar (dunia ini) terang”.

Dummy

2) Final

Cara berpikir final ini didasarkan atas pengertian bahwa hubungan sebab akibat terjadi karena memang harus terjadi. Sebagai contoh, anak ditanya, “Mengapa kaca ini berserakan di lantai?” Anak mungkin menjawab, “Karena pecah.”

3) Fenomenalisme

Cara berpikir ini didasarkan atas kepercayaan yang sering diceritakan pada anak. Misalnya, dulu sewaktu kecil, ayah dan ibunya selalu menasihati saya agar menghabiskan makanan yang saya makan, sebab kalau tidak, ayam saya akan mati. Anak kecil akan percaya kalau makan tidak habis, ayamnya akan mati.

4) Moralisme

Anak menerangkan hubungan sebab akibat sebagai fungsi dari suatu benda. Sebagai contoh, anak ditanya, “Mengapa mobil itu bergerak?

Agar dapat membawa kita ke mana-mana. Mengapa matahari bersinar?

Agar matahari itu menerangi kita. Mengapa turun hujan? Agar kita memperoleh air darinya.”

5) Artifisial

Anak menerangkan hubungan sebab akibat ditinjau dari kepentingannya terhadap manusia. Misalnya anak ditanya, “Mengapa jarum jam bergerak? Agar kita dapat mengetahui waktu. Mengapa matahari terbit dari timur? Manusia yang membuatnya. Mengapa matahari tidak kelihatan di malam hari? Seseorang menyimpannya.”

6) Animisme

Cara berpikir ini didasarkan atas anggapan bahwa segala sesuatu (termasuk benda-benda tak hidup) itu hidup. Anak pada usia ini atau di bawahnya umumnya bingung membedakan konsep hidup dan gerak. Sesuatu yang kelihatannya bergerak biasanya dikatakan hidup.

Mengapa awan itu bergerak? Sebab ia hidup. Hal ini berlaku untuk benda-benda yang bergerak lainnya. Seperti mobil, matahari, lampu, radio, bahkan gunung sering dikatakan hidup.

7) Dinamisme

Anak pada usia ini masih sulit membedakan antara konsep gaya dengan konsep hidup. Kalau ditanya mengapa sungai mengalir dari gunung ke laut? Karena gunung mendorong air sungai ke laut (bukan karena

Dummy

Dari penjelasan dapatlah dipahami bahwa pada tahap preoperasional anak sudah mampu mengungkapkan gagasan dan aktivitasnya, namun masih terikat dengan hal-hal konkret. Artinya daya nalar dan logika anak belum beroperasi secara utuh. Namun anak mulai memahami dan mengerti dasar-dasar mengelompokkan sesuatu. Pemahaman dan pengertian ini baru terpusat pada satu dimensi yakni diawali dengan pengertian tentang warna, selanjutnya ukuran, dan kemudian bentuk-bentuk dari materi yang diamatinya saja. Anak belum dapat memusatkan perhatian pada dua dimensi yang berbeda secara serempak (centration) yang lumrahnya memiliki tiga aspek (Yunanto, 2005: 68) yaitu sebagai berikut.

a) Menyusun

Anak baru dapat menyusun benda-benda dalam urutan-urutan sesuai dengan ukuran. Dalam tahap ini anak baru dapat merangkaikan dua benda yang ada hubungannya dengan ukuran, misalnya bola A lebih besar dari bola B.

b) Pengelompokan

Anak baru mampu mengelompokkan sesuatu secara sederhana dan konkret. Misalnya kepada anak diperlihatkan 20 kuncup kembang kertas, yakni 18 berwarna coklat dan dua berwarna putih. Ketika ditanya, “Mana yang lebih banyak, kuncup kembang yang berwarna coklat atau kuncup kembang kertas?”. Jawab anak ”Kuncup kembang berwarna coklat”.

Anak belum tahu dan sulit mengerti bahwa warna putih dan warna coklat merupakan kesatuan kelompok kembang kertas.

c) Konservasi

Kemampuan anak preoperasional belum dapat mengonservasi angka- angka, konservasi volume zat padat dan cair, serta konsep tentang hidup. Anak menganggap jumlah benda ditentukan karena penataan, tempat dan penampakan. Ia belum bisa melakukan konservasi angka.

Ia belum tahu bahwa banyaknya suatu benda tetap sama meskipun tempat dan penataannya berubah.

Menurut Piaget, konservasi angka ini bisa dicapai anak usia 5-7 tahun.

Tiap-tiap anak berbeda kecepatannya dalam meraih tahapan ini. Usia 5-7 tahun merupakan usia transisi dari pola berpikir preoperasional ke konkret operasional. Oleh karena itu, penting bagi guru dan orang tua untuk: (1) senantiasa bertanya kepada anak mengenai jawaban yang ia kemukakan, dan (2) tidak menganggap jawaban anak sebagai sesuatu yang bodoh. Demikian

Dummy

pula anak belum bisa melakukan konservasi volume zat cair. Baginya volume ikut berubah karena tempat dan penampakannya berubah. Air yang volumenya sama dikatakan lebih banyak hanya karena ditempatkan di gelas yang lebih langsing. Menurut Piaget, konservasi volume ini baru dapat dilakukan anak pada usia 6-7 tahun. Tidak berbeda dengan zat cair, anak juga belum mampu mengonservasi volume zat padat. Misalnya, anak pada tingkat perkembangan kognitif preoperasional mengatakan bahwa bentuk kue lebih besar dari bentuk bola, karena kuenya panjang dan bolanya bulat.

Demikian pula tentang hidup. Salah satu hal yang menarik dari cara berpikir anak ialah bagaimana ia membedakan benda-benda hidup dari benda tak hidup. Tiap anak tentu akan memberikan jawaban yang berbeda-beda.

Meskipun jawaban mereka berbeda, pola pikir mereka banyak mengikuti pola pikir precasual reasoning yang telah dijelaskan di atas. Berikut ini hasil wawancara Piaget dengan Willi (usia 5 tahun) (dalam Suyanto, 2005: 64).

1. Bagaimana pendapatmu, apakah matahari itu hidup atau tidak hidup?

Tidak. Mengapa? Karena ia tidak berjalan.

2. Apakah meja itu hidup? Tidak. Mengapa kamu berpikir demikian?

Karena kita dapat makan di atasnya.

3. Apakah mobil itu hidup? Ya. Mengapa? Karena ia punya mesin dan bergerak (ia menirukan suara mobil).

4. Apakah gunung itu hidup? Tidak. Mengapa? Karena kita dapat memanjatnya.

5. Apakah lampu itu hidup? Tidak. Mengapa? Karena ia sekadar bersinar.

6. Apakah jam itu hidup? Tidak. Mengapa? Karena ia dapat menunjukkan waktu.

7. Apakah bel itu hidup? Tidak. Mengapa? Karena ia sekadar berdering.

8. Apakah burung itu hidup? Ya. Mengapa? Sebab itu jelas nyata.

9. Apakah angin itu hidup? Tidak. Mengapa? Sebab ia bertiup sendiri.

10. Apakah bunga itu hidup? Tidak. Mengapa? Sebab ia tidak bergerak.

11. Apakah hujan itu hidup? Tidak. Mengapa? Sebab ia jatuh sendiri.

Kalau dicermati berdasarkan hasil wawancara di atas, tampaklah pola pikir anak yang berada dalam tahap perkembangan kognitif preoperasional.

Pada tahap ini anak masih mengalami kesulitan untuk melakukan konservasi angka, volume zat padat, volume zat cair, dan memahami konsep tentang hidup. Salah satu hambatan melakukan konservasi pada tahap

Dummy

ini ialah pikiran anak masih terfokus pada satu atribut dari suatu benda.

Ketika anak dihadapkan pada persoalan konservasi volume, perhatiannya hanya terfokus pada tinggi air dalam tabung, ia tidak memerhatikan lagi dari mana dan bagaimana asal mula air tersebut. Pola pikir mereka masih bersifat syncretic, transductive dan precasual reasoning. Hal ini akan tampak beda dengan pola pikir anak yang sudah berada pada tingkat perkembangan yang lebih tinggi, yaitu konkret operasional.

Berdasarkan hal tersebut, tampaklah bahwa perkembangan anak bersifat kontinu. Meskipun Piaget membagi perkembangan tersebut dalam empat tahapan, tidak berarti tiap tahapan itu terputus. Terkadang batas antara satu tahap dengan tahap berikutnya tidak begitu jelas. Tahapan itu bagaikan naik tangga, anak naik dari satu tahapan ke tahapan berikutnya yang lebih tinggi tingkat kesulitan dan kerumitannya.

c. Operasional Konkret (7-11 tahun)

Pada tahapan ini anak mulai mampu mengatasi masalah yang berkenaan dengan conservasi, perseptual concentration, dan egocentrism, namun masih dalam masalah yang bersifat konkret, belum yang bersifat abstrak. Dalam tahap inilah anak sudah dapat memecahkan persoalan-persoalan sederhana yang bersifat konkret. Ia telah dapat berpikir reversible (berkebalikan) yaitu anak dapat berpikir balik (dua arah). Sebagai contoh, kalau anak memahami 2+3=5, maka ia akan tahu kalau 5-3=2 atau 5-2=3. Ia juga mengerti bahwa jumlah suatu benda tidak berubah karena penataannya. Ia juga dapat memahami volume benda padat atau cair tetap sama meskipun bentuk atau tempatnya berubah. Pada tahap perkembangan ini, anak sudah dapat mengklasifikasikan dan mengurutkan. Mengklasifikasikan dan mengurutkan memerlukan keterampilan berpikir tertentu. Pertama, anak harus dapat mengenali ciri-ciri objek. Kedua, anak harus dapat melihat persamaan dan perbedaan objek. Ketiga, anak harus dapat memilih salah satu atribut sebagai dasar klasifikasi, misalnya warna. Untuk memacu keterampilan berpikir ini guru dapat menggunakan pattenning, yaitu anak dilatih untuk menemukan dan membuat pola. Anak pada usia ini akan dapat memecahkan berbagai persoalan secara lebih baik berdasarkan objek dan kejadian yang nyata. Oleh karena itu, penting bagi guru menggunakan objek dan pengalaman langsung dalam kegiatan pembelajaran.

Uraian di atas memberikan pemahaman bahwa pada tahap ini penalaran dan logika anak mulai beroperasi (bekerja) jika dikaitkan dengan hal-hal konkret. Masa ini ditandai dengan kemampuan berpikir sistematis

Dummy

terhadap hal-hal konkret dan mencapai kemampuan mengonservasi. Anak pada masa ini sudah mampu mengembangkan tiga proses (Yunanto, 2005:

69), yaitu sebagai berikut.

1) Negasi

Anak hanya melihat atau memerhatikan keadaan permulaan dan keadaan akhir pada deretan benda. Pada deretan benda-benda anak mampu mengembalikan atau membatalkan perubahan yang terjadi sehingga mampu menjawab bahwa jumlah benda-benda tetap sama.

2) Hubungan timbal balik

Anak sudah mengetahui timbal balik antara panjang dan kurang rapatnya benda, sehingga anak mengerti bahwa jumlah benda-benda yang ada pada deretan itu sama.

3) Identitas

Anak sudah mampu mengenali satu persatu benda yang berada dalam susunan deretan-deretan. Anak mampu menghitung, sehingga meskipun benda-benda dipindahkan, anak tetap mengetahui bahwa jumlahnya tetap sama. Namun demikian anak masih terpengaruh dengan egosentrisme, artinya anak belum mampu melihat pikiran dan pengalaman sebagai dua gejala yang masing-masing berdiri sendiri.

Bahwa pikirannya mengenai realitas dan relitasnya sendiri merupakan dua perkara yang dapat berdiri sendiri.

d. Operasional Formal (11 Tahun ke Atas)

Menurut Piaget (1972), tahap ini dicapai anak usia 11-15 tahun.

Pikiran anak tidak lagi terbatas pada benda-benda dan kejadian yang terjadi di depan matanya. Pikiran anak telah terbebas dari kejadian langsung. Ia dapat menjumlahkan dan mengurangi angka dalam kepalanya dengan menggunakan operasi logisnya. Pada tahap ini anak dapat melakukan hal-hal berikut.

1) Berpikir secara hipotesis dan deduktif

Anak dapat membuat hipotesis dari suatu teori. Ia dapat membuat kesimpulan secara logis dari premis-premis yang ada. Misalnya, semua binatang yang beranak adalah mamalia. Kalau ia menjumpai suatu gambar binatang yang belum pernah ia jumpai, tetapi ada keterangan bahwa binatang itu beranak maka ia dapat menyimpulkan bahwa binatang tersebut golongan mamalia. Jika A>B, dan B>C maka A>C.

Dummy

2) Berpikir secara abstrak

Pada tahap ini anak dapat berpikir secara abstrak dan reflektif. Hal ini dapat dipahami saat seseorang menghadapi suatu persoalan.

Pikiran orang tersebut akan bekerja untuk mencari berbagai alternatif pemecahan masalah berupa strategi. Otak bekerja menghubung- hubungkan berbagai memori pengetahuan dan pengalaman serta informasi yang dimilikinya untuk mencari strategi pemecahan masalah tersebut. Kalau strategi sudah didapatkan, orang tadi akan mengurutkan strategi tersebut berdasarkan besar-kecilnya probabilitas terselesaikannya masalah tersebut. Semua itu dapat dilakukan di dalam pikiran.

3) Mampu membuat analogi

Pada tahap ini anak telah mampu memahami analogi. Anak akan mencoba menghubungkan analogi tersebut dengan kenyataan yang sesungguhnya. Oleh karena itu pada tahap ini guru dapat menggunakan berbagai analogi, simbol-simbol, serta gambar-gambar untuk menerangkan suatu pokok persoalan.

4) Mampu mengevaluasi cara berpikir (metacognition)

Salah satu kemampuan anak pada tahap ini ialah merenungkan kembali apa-apa yang telah dilakukan, serta mengevaluasinya. Hal ini dapat dilakukan dengan mencari segi-segi positif dan negatifnya. Dengan cara demikian anak dapat memperbaiki cara berpikirnya.

Uraian di atas memberikan pemahaman bahwa pada tahap ini penalaran dan logika anak remaja sudah beroperasi dengan utuh. Remaja tidak lagi membutuhkan bantuan benda-benda konkret untuk mengetahui sesuatu benda. Ia sudah mampu berpikir abstrak dan hipotesis, serta dapat berpikir dan memikirkan hal-hal yang akan atau mungkin terjadi.

Perkembangan lain, anak remaja sudah mampu berpikir secara sistematis dan mampu melakukan berbagai penggabungan menuju sebuah hasil akhir.

Empat periode utama yang dikemukakan Piaget digunakan anak untuk memahami dunianya, artinya konsep kecerdasan yang dimiliki anak untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas bagaimana individu mempersepsi lingkungannya – dalam tahapan-tahapan perkembangan–saat individu memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental.

Dummy

Dalam dokumen Buku BIMBINGAN DAN KONSERLING ANAK (Halaman 117-130)