• Tidak ada hasil yang ditemukan

Zona Perkembangan Proksimal

Dalam dokumen Buku BIMBINGAN DAN KONSERLING ANAK (Halaman 144-147)

TEORI PERKEMBANGAN ANAK

G. Teori Pembelajaran Sosial (Sosiokultural)

2. Zona Perkembangan Proksimal

Zona Perkembangan Proksimal atau Zona Proximal Development (ZPD) merupakan konsep utama yang paling mendasar dari teori belajar sosiokultur Vygotsky. Dalam Luis C. Moll (1993: 156-157), Vygotsky berpendapat bahwa setiap anak dalam suatu domain mempunyai

“level perkembangan aktual” yang dapat dinilai dengan menguji secara individual dan potensi terdekat bagi perkembangan domain dalam tersebut. Vygotsky mengistilahkan perbedaan ini berada di antara dua level Zona Perkembangan Proksimal, Vygotsky mendefinisikan Zona Perkembangan Proksimal sebagai jarak antara level perkembangan aktual seperti yang ditentukan untuk memecahkan masalah secara individu dan level perkembangan potensial seperti yang ditentukan lewat pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau dalam kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih mampu. Dengan kata lain Zona Perkembangan Proksimal merupakan fungsi-fungsi atau kemampuan yang belum matang yang masih berada pada proses pematangan. Karena fungsi-fungsi yang belum matang ini maka anak membutuhkan orang lain untuk membantu proses pematangannya. Jadi Zona Proximal Development adalah suatu konsep tentang daerah yang akan segera mengalami perkembangan. Istilah zone menggambarkan bahwa perkembangan bukanlah suatu titik, tetapi suatu daerah. Artinya bahwa aspek yang berkembang itu merupakan suatu kisaran. Luas kisaran tersebut sangat ditentukan oleh bantuan orang lebih ahli yang disebut scaffolding.

Scaffolding merupakan bantuan dari orang yang lebih mampu, lebih mengetahui, dan lebih terampil dalam kisaran ZPD dengan tujuan membantu anak memperoleh hasil belajar yang lebih tinggi. Dengan scaffolding tingkat kesulitan masalah yang dipelajari anak sebenarnya tidak berubah menjadi lebih mudah, tetapi akan menjadi tools of mind. Tools

Dummy

merupakan alat yang memudahkan kerja manusia, palu, pahat, gergaji, pisau, dan dongkrak adalah alat yang memudahkan kerja manusia. Menurut Vygotsky kerja mental juga akan lebih mudah jika ada alat pendukungnya yang disebut sebagai tools of mind yang berfungsi untuk mempermudah anak memahami suatu fenomena, memecahkan masalah, mengingat, dan berpikir. Sebagai contoh, batu, manik-manik, atau lidi merupakan alat yang dapat membantu anak memahami konsep bilangan. Anak bisa menghubungkan benda tersebut dengan bahasa simbol seperti “satu, dua, tiga” dan seterusnya (Suyatno, 2005: 106).

Sementara itu, bentuk bantuan sangat beragam macamnya, misalnya dengan menghadirkan objek, menggunakan gambar atau skema, menunjukkan cara menggunakan sesuatu, atau memberikan alat bantu pengukuran. Bantuan tersebut pada tahap awal memberi petunjuk bagaimana cara melakukan sesuatu. Secara berangsur, bantuan tersebut berkurang karena anak menjadi lebih bisa melakukan sesuatu secara mandiri. Sebagai contoh, anak diberi lima buah kelereng, kemudian gurunya memberi contoh cara menghitungnya. Guru memegang tangan anak untuk menghitung kelereng sambil menghitung dengan suara keras, “satu, dua, tiga…” dan seterusnya sampai lima. Mula-mula peran guru dominan dan anak hanya mengikuti gurunya. Lalu anak disuruh mengulang kembali.

Secara perlahan bantuan tersebut dikurangi untuk memberi peluang kepada anak untuk memberi peluang kepada anak berlatih sendiri. Setelah anak mahir menghitung sampai lima, guru menambah jumlah kelereng menjadi tujuh atau sepuluh. Lalu anak mencoba menghitung kembali, mungkin saja ia dapat menghitung sampai sepuluh. Hal itu menandakan dengan bantuan guru, anak tidak hanya bisa menghitung sampai lima tetapi mampu menghitung sampai sepuluh.

Vygotsky juga memberikan ide praktis bagaimana meningkatkan perkembangan intelektual anak sehingga anak dapat berpikir mandiri.

Misalnya, ketika anak sedang mengerjakan sesuatu yang ia mampu mengerjakannya, guru atau orang tua jangan membantunya. Namun apabila yang dipelajarinya sangat sulit, guru harus memberikan arahan dengan cara memberikan petunjuk awal yang mendorong anak untuk berpikir. Misalnya, seorang anak berhenti di sebuah kata ketika sedang belajar membaca, karena tidak tahu membaca kata tersebut. Guru dapat memberikan arahan,

“Lihat gambarnya, sedang apa kucing tersebut? atau dapat memberikan huruf dari kata tersebut. P-p-p. Kata apa yang bunyinya seperti itu dan

Dummy

dapat menggambarkan isi cerita tersebut?’. Jika kata tersebut terlalu sulit bagi anak, maka guru hendaknya membacakan langsung kata tersebut.

Menurut Vygotsky, menjadikan seorang anak dapat berpikir mandiri adalah tujuan belajar, dan penggunaan bahasa adalah kunci utamanya.

Dengan menggunakan bahasa guru dapat mengajarkan anak bagaimana ia berinteraksi sosial dengan kawan-kawannya. Misalnya, Putri sedang mendorong temannya Titi. Guru akan mendekati Putri dan bertanya; “Apa yang terjadi ketika kamu mendorong Titi?’ atau “Bagaimana perasaan Titi?”

Apabila dengan cara tidak langsung ini Putri belum mengerti, maka guru dapat memberikan arahan secara langsung. “Ibu pikir Titi sekarang sedang kesakitan. Lihat, bagaimana ia menangis!” Anak-anak harus didorong untuk menggunakan bahasa dalam mengekspresikan perasaannya. Misalnya, Toto memukul kawannya. Guru akan berkata kepada Toto: “Kalau kamu marah, jangan memukul tetapi bilang, “saya tidak suka itu”. Guru juga dapat memperkenalkan berbagai ungkapan perasaan (feelings). “Dia sangat sedih karena kamu dorong” atau “Saya tahu kamu sedang marah”. Dengan cara ini seorang anak akan mengerti permasalahan kompleks dalam hubungan sosial.

Teori belajar Vygotsky memiliki empat prinsip umum, yakni (1) anak merangkai pengetahuan; (2) belajar terjadi dalam konteks sosial; (3) belajar memengaruhi mental; dan (4) bahasa memegang peranan penting dalam perkembangan mental anak dan terdapat empat tahapan ZPD yang terjadi dalam perkembangan dan pembelajaran yang menyangkut ZPD, yaitu:

Tahap 1 : Tindakan anak masih dipengaruhi atau dibantu orang lain.

Seorang anak yang masih dibantu memakai baju, sepatu dan kaos kakinya ketika akan berangkat ke sekolah ketergantungan anak pada orang tua dan pengasuhnya begitu besar, tetapi ia suka memerhatikan cara kerja yang ditunjukkan orang dewasa.

Tahap 2 : Tindakan anak yang didasarkan atas inisiatif sendiri.

Anak mulai berkeinginan untuk mencoba memakai baju, sepatu dan kaos kakinya sendiri tetapi masih sering keliru memakai sepatu antara kiri dan kanan. Memakai bajupun masih membutuhkan waktu yang lama karena keliru memasangkan kancing.

Tahap 3 : Tindakan anak berkembang spontan dan terinternalisasi.

Anak mulai melakukan sesuatu tanpa adanya perintah dari orang dewasa. Setiap pagi sebelum berangkat ia sudah mulai paham tentang

Dummy

apa saja yang harus dilakukannya, misalnya memakai baju kemudian kaos kaki dan sepatu.

Tahap 4 : Tindakan anak spontan akan terus diulang-ulang hingga anak siap untuk berpikir abstrak.

Terwujudnya perilaku yang otomatisasi, anak akan segera dapat melakukan sesuatu tanpa contoh tetapi didasarkan pada pengetahuannya dalam mengingat urutan suatu kegiatan. Bahkan ia dapat menceritakan kembali apa yang dilakukannya saat ia hendak berangkat ke sekolah.

Pada empat tahapan ini dapat disimpulkan bahwa seseorang akan dapat melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak bisa dia lakukan dengan bantuan yang diberikan oleh orang dewasa maupun teman sebayanya yang lebih berkompeten terhadap hal tersebut.

Dalam dokumen Buku BIMBINGAN DAN KONSERLING ANAK (Halaman 144-147)