• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Psikososial

Dalam dokumen Buku BIMBINGAN DAN KONSERLING ANAK (Halaman 96-102)

TEORI PERKEMBANGAN ANAK

B. Teori Psikososial

anak pada masa ini dapat menjadi sumber daya manusia yang potensial di masa mendatang maka yang dapat dilakukan adalah (1) mengkaji kembali berbagai kompetensi anak sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masing-masing anak; (2) menumbuhkan motivasi anak untuk berkembang sesuai dengan minat dan bakatnya. Agar nantinya mereka bangga dengan pilihan profesi yang ditekuninya; (3) memberikan kebebasan kreativitas agar anak lebih bergairah dan berani berkarya, mengemukakan pendapat dan berkomunikasi dengan runtut dan sistematis.

5. Fase Genital

Adalah masa di mana mulai ada ketertarikan pada lawan jenis, mulai menjalin hubungan dengan teman yang memiliki jenis kelamin berbeda, belajar menyayangi, mencintai, butuh akan kasih sayang dan dicintai oleh lawan jenis.

Tahapan perkembangan manusia menurut Erikson adalah sebagai berikut:

1. Trust Vs. Mistrust (Percaya Vs. Tidak Percaya), bayi-usia 18 bulan Seorang bayi harus mendapatkan kasih sayang dari ibu atau pengasuhnya, dan harus terpenuhi segala kebutuhan fisik maupun emosinya. Bayi sangat bergantung pada orang tua atau pengasuhnya karena ia belum dapat melakukan apa-apa untuk memenuhi kebutuhannya (basic need) sendiri. Apabila seorang bayi dibesarkan dalam lingkungan yang dapat menumbuhkan perkembangan dari rasa percaya bayi kepada orang lain, maka akan timbul rasa aman dan percaya kepada lingkungannya, serta terbentuk perkembangan emosi yang sehat. Apabila tidak, ia akan menjadi seorang yang tidak percaya kepada orang lain dan lingkungan sekitarnya. Mereka akan sulit untuk mengelola konflik, sehingga akan sulit bagi mereka mengembangkan kemampuan interaksi sosialnya. Yang dihasilkan adalah kepribadian yang selalu dipenuhi dengan rasa takut akan ditinggalkan. Ini akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan emosi berikutnya. Dalam tahap perkembangan Erikson tahap ini adalah tahap yang paling fundamental untuk keberlanjutan dari tahap-tahap selanjutnya.

2. Autonomy Vs. Shame and Doubt (Kemandirian Vs. Malu dan Ragu), 18 bulan-3,5 tahun

Masa ini sama dengan masa anal pada tahap perkembangan Freud, anak belajar menggunakan anggota tubuhnya sendiri tanpa menginginkan bantuan orang dewasa untuk melakukan berbagai aktivitas, misalnya toilet training, makan, berjalan, bereksplorasi dan berbicara. Namun anak pada masa ini melakukan hal-hal tersebut tanpa tujuan dan belum terorganisasi. Masa ini merupakan masa transisi dari masa sebelumnya yang sangat bergantung pada orang lain atau lingkungan sekitarnya menuju kemandirian, maka dukungan orang dewasa pada masa ini sangatlah penting untuk keberhasilan perkembangan anak menuju kemandirian. Pada masa ini anak masih ragu-ragu untuk melakukan sesuatu, terkadang anak ingin melakukannya sendiri, namun tak jarang anak kembali kepada orang tua untuk meminta bantuan.

Oleh karena itu, orang tua harus memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan sendiri apa yang diinginkannya, jangan dilarang

Dummy

atau disalahkan, berikan anak penguatan yang positif, biarkan mereka melakukannya sendiri namun selalu siap jika mereka memerlukan bantuan.

Dalam tahapan ini hendaklah pendidik bersikap agar seorang anak harus merasa mampu melakukan sesuatu dan merasa unik (dengan segala kelebihannya) sebagai individu. Apabila pendidik terlalu membatasi atau banyak melarangnya, maka anak akan mempunyai rasa malu dan ragu tentang kemampuan dirinya. Anak hendaknya dibiarkan bebas bereksperimen dan bereksplorasi walaupun tetap dalam pengawasan orang tua agar terhindar dari hal-hal yang membahayakan. Anak-anak yang sering dilarang, dimarahi, serta dihukum pada tahapan usia ini akan menjadi pribadi yang apatis dan rendah diri. Ia juga menjadi ragu dalam proses pengembangan identitas kepribadiannya yang unik karena takut dianggap berbeda. Dengan kata lain bila pendidik pada masa ini tidak berperan dengan tepat maka yang akan tumbuh pada diri anak adalah rasa tidak percaya diri dan perasaan malu untuk mencoba melakukan sesuatu.

3. Initiative Vs. Guilt (Inisiatif Vs. Merasa Bersalah), 3,5-6 tahun

Pada masa ini anak senantiasa memiliki keinginan untuk melakukan apa yang dilakukan oleh orang dewasa, terkadang berpura-pura sebagai orang dewasa dan biasanya yang ditirukan adalah orang dewasa yang ada di sekitarnya (orang tuanya, kakaknya, dan lain-lain). Anak memiliki inisiatif dan ide-ide untuk melakukan hal-hal baru dan sudah memiliki suatu tujuan dan lebih terorganisasi. Para pendidik dan orang dewasa lainnya pada masa ini sebaiknya tidak melarang dan tidak mudah menyalahkan anak, sikap orang dewasa yang tidak mendukung inisiatif pada anak akan menumbuhkan dan mengembangkan perasaan bersalah.

Dengan kata lain seorang anak dengan perkembangan emosi yang baik pada tahap sebelumnya, pasti memiliki potensi untuk berkembang ke arah yang positif. Ciri yang terlihat pada dirinya adalah anak penuh dengan kreativitas dengan indikasi antara lain antusias dalam melakukan sesuatu, aktif bereksperimen, berimajinasi, berani mencoba, berani mengambil risiko, dan senang bergaul dengan kawannya. Namun semua ini tergantung pada lingkungan belajar anak yang kondusif untuk mencapai perkembangan tersebut. Guru dan orang tua hendaknya mendorong sikap-sikap positif tersebut.

Dummy

Orang tua sebaiknya jangan suka menyalahkan atau mengkritik anak. Bila anak pada masa ini sering dikritik, maka sikap emosi yang timbul adalah negatif, yakni anak merasa apa dikerjakannya selalu salah sehingga timbul perasaan bersalah. Pada kadar tertentu perasaan bersalah memang diperlukan untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab anak, namun jika berlebihan maka akan menghambat perkembangan emosi yang sehat. Pada masa ini pulalah anak sudah harus mulai diajarkan rasa tanggung jawab terhadap apa yang ia kerjakan. Misalnya membereskan mainannya, mencuci tangan, dan sebagainya. Semakin anak merasa bertanggung jawab, anak semakin mempunyai inisiatif.

4. Industry Vs. Inferiority (Berkarya/Etos Kerja Vs. Minder), 6–10 tahun Masa ini dapat dimaknai juga dengan masa “tekun Vs. rendah diri”. Masa di mana berakhirnya masa kanak-kanak, pada masa ini anak mengarahkan energinya untuk penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual. Anak memiliki semangat yang tinggi dan sangat antusias untuk belajar hal-hal baru dan berkeinginan memantapkan kemampuannya tersebut. Untuk membuat anak memiliki emosi yang positif maka orang tua harus memberikan dukungan yang positif kepada anak. Jika tidak ada respons positif dari lingkungan sekitarnya maka yang akan berkembang adalah perasaan rendah diri, perasaan tidak berkompeten dan perasaan tidak produktif.

Seharusnyalah, menurut Erikson, (1968), guru secara lembut namun tegas memaksa anak ke dalam pengembaraan untuk menemukan bahwa seseorang dapat belajar mencapai sesuatu yang tidak pernah ia pikirkan sendiri (Wahyudin & Agustin, 2011: 27).

Masa ini merupakan masa yang paling kritis bagi anak-anak untuk mengembangkan kepercayaan dirinya bahwa mereka mampu untuk berkarya dan bereksplorasi. Hal inilah yang paling menuntut pemahaman dan perhatian para pendidik, karena seharusnya pada masa ini adalah di mana anak paling antusias belajar dan berimajinasi, sehingga anak-anak dapat tumbuh dengan sikap ingin berkarya, memiliki motivasi yang tinggi, dan etos kerja yang terkadang mencengangkan pendidik karena mereka seperti tidak pernah merasa letih berbuat dan berkarya ini dan itu. Pada masa ini anak harus ditumbuhkan perasaan bahwa “aku bisa”, “aku kuat”, atau “aku anak yang baik”, karena pabila tidak demikian, sikap yang timbul adalah

Dummy

perasaan rendah diri atau minder, seperti “aku gagal”, “aku gagal”,

“aku bodoh”, “aku tidak mampu”, atau “aku tidak bisa berkarya”.

Perasaan negatif ini akan terbawa sampai usia dewasa. Oleh sebab itu usia SD adalah usia yang paling kritis dalam membentuk kepribadian anak yang akan menentukan masa depannya. Guru dan orang tua seharusnya memberikan penghargaan kepada anak, mendorongnya untuk bereksplorasi, dan memotivasi anak untuk terus mempelajari sesuatu dengan bijak (tidak mencemoohkan atau mengkritik).

5. Identity Vs. Role Confusion (Identitas Vs. Kebingungan Identitas), 13-19 tahun

Masa ini anak sudah mulai memasuki usia remaja awal. Pada masa ini anak dihadapkan pada pencarian dan penemuan identitas diri, masa mencari dan mendapatkan peran dalam masyarakat, bagaimana mereka nantinya dan kemana mereka menuju dalam kehidupannya nanti.

Pencarian dan penemuan identitas ini dibuktikan dengan adanya aspek interaksi dengan lawan jenis, pekerjaan, dan peran baru lainnya. Untuk membantu si remaja dalam penemuan identitas ini para pendidik khususnya orang tua dan guru hendaklah berperan sebagai motivator, yaitu dengan memberikan kesempatan dan dorongan positif sehingga bagi remaja yang sedang menjajaki serangkaian peran tersebut dapat sehat. Artinya bila peran-peran tersebut dijajaki dengan cara sehat dan positif maka identitas yang positif akan tercapai, namun bila pada saat remaja menjajaki peran-peran tersebut dan mendapatkan penolakan dari orang tua dan orang dewasa lainnya, maka di saat orang tua atau orang dewasa lainnya memberikan kesempatan pada remaja untuk menjajaki banyak peran maka pada diri remaja akan berkembang rasa bingung akan identitas diri mereka. Jadi singkatnya seorang remaja akan berhasil memperoleh identitas diri jika ia dapat memenuhi tuntutan biologis, psikologis, dan sosial yang ada dalam kehidupannya. Sebaliknya, jika tidak berhasil maka ia akan mengalami krisis identitas.

6. Intimacy Vs. Isolation (Keintiman Vs. Keterkucilan/keterisolasian), 19 – 25 tahun

Masa ini adalah masa dewasa awal. Pada masa ini individu menghadapi tugas perkembangan yaitu menjalin persahabatan dan hubungan intim dengan orang lain. Pada saat individu menjalin hubungan intim dan persahabatan secara sehat dengan orang lain maka keintiman akan

Dummy

dicapai, namun jika individu ingin menjalin hubungan intim dan persahabatan dengan orang lain dan mengalami penolakan serta tidak ada dorongan positif dari lingkungannya maka akan menumbuhkan dan mengembangkan rasa terisolasi.

Jadi individu yang berhasil mencapai integritas identitas diri akan mampu menjalin keintiman dengan orang lain dan diri sendiri. Jika seorang dewasa awal masih takut kehilangan diri sendiri ketika menjalin hubungan erat dan intim dengan orang lain, berarti ia belum mampu melebur identitas dirinya dengan orang lain. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan individu tersebut menumbuhkan keintiman dengan orang lain. Jika individu tersebut menjalin hubungan yang bersifat inti, ia akan mengucilkan diri.

7. Generative Vs. Stagnation (Bangkit Vs. Mandeg/Stagnan), 25-50 tahun Masa ini adalah masa dewasa. Pada masa ini individu akan merasa sangat berguna jika dapat berkontribusi atau berperan dalam membantu anak-anaknya atau yang lebih muda untuk mengembangkan dan mengarahkan pada kehidupan yang lebih berguna; respons, penerimaan yang positif dan hasil yang terlihat akan mengembangkan perasaan dibutuhkan, berperan dan berguna, tetapi jika terjadi penolakan maka akan menumbuhkan perasaan belum melakukan sesuatu untuk generasi berikutnya (Wahyudin & Agustin, 2011:

28). Jadi pada masa ini individu berperan sebagai orang dewasa yang produktif, yang mampu menyumbangkan tenaga dan pikirannya bagi masyarakat. Individu yang berhasil melaksanakan perannya seperti tuntutan masyarakat, dalam dirinya akan tumbuh perasaan ingin berkarya. Sebaliknya, individu yang tidak mampu berperan, perkembangan dirinya akan mengalami stagnasi.

8. Integrity Vs. Despair (Integritas Vs. Kekecewaan), 50 ke atas

Masa ini adalah masa tua. Pada masa ini individu akan menoleh ke belakang dan mengevaluasi apa yang telah dilakukan sepanjang kehidupannya. Bila yang telah dilakukan dan dihasilkannya dianggap positif maka akan berkembang perasaan puas, namun jika individu tersebut sepanjang hidupnya menyelesaikan banyak hal dengan cara yang negatif, maka cenderung akan menghasilkan perasaan bersalah dan putus asa. Jadi individu yang telah mencapai masa integritas diri biasanya telah bisa memahami hidup. Integritas diri adalah menerima segala keterbatasan yang ada dalam kehidupan serta memiliki rasa

Dummy

bahwa ia adalah bagian dari sejarah kehidupan. Bila dalam hidupnya seseorang merasa tidak berbuat apa-apa, menyesali hidup, dan takut menghadapi kematian, maka akan timbul rasa putus asa. Sebaliknya, jika individu tersebut merasa berhasil maka ia akan mengembangkan integritas dirinya.

Dalam dokumen Buku BIMBINGAN DAN KONSERLING ANAK (Halaman 96-102)