• Tidak ada hasil yang ditemukan

OF M ACAPAT M ETRUM INFLUENCE Mulyanto

Dalam dokumen Prosiding Hasil Penelitian Bahasa dan Sa (1) (Halaman 168-178)

Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta mulyanto.ms@gmail.com

Inti Sari

Untuk memahami substansi isi teks macapat sering terkendala oleh kesulitan pemahaman kata dalam teks macapat. Kesulitan itu terletak pada adanya proses morfologis kata yang unik dan saat ini proses itu tidak digunakan dalam bahasa sehari-hari. Selain itu, dalam proses salin-menyalin teks macapat juga sering menimbulkan varian teks. Proses morfologi dan varian itu menghasilkan variasi bentuk kata yang beraneka macam dan perlu dijelaskan kepada masyarakat untuk mem- peroleh kemudahan dalam membaca teks macapat. Data diperoleh dari beberapa teks macapat yang telah disajikan dalam sarasehan dan pergelaran macapat “ Jumat Legen” . Data berupa kata- kata dalam rangkaiannya di dalam larik beserta metrumnya. Data diperoleh dengan penyimakan. Analisis dilakukan dengan metode agih dengan tidak mengesampingkan teori lisensia puitika. Kajian ini menghasilkan deskripsi variasi bentuk kata berupa pengurangan suku kata atau penyingkatan karena tuntutan guru wilangan, penambahan suku kata akibat tuntutan guru wilangan, pembalikan struktur kalimat karena tuntutan guru lagu, perubahan ragam bahasa dari suatu kata karena pengaruh guru lagu atau guru wilangan, dan pemenggalan kata karena pengaruh guru lagu.

Kata kunci: macapat, morfologi, metrum

Abstract

To understand substance of macapat text content sometimes meets difficulties with words understanding in macapat text. The difficulties lie on morphological context in unique words which is not used daily nowadays. Besides that, in copying process of macapat text usually produces new text variant. The morphological process and variant produces various word forms and it needs to explain to people to be easier in reading macapat text. The data obtained from some macapat texts as copied from sarasehan and pagelaran macapa “ Jumat Legen:. The data are words in series of rhyme and their metrums. The data was obtained from listening. The analysis was conducted using distributional method. The study resulted variation description in syllable reduction or abbreviation for to meet guru wilangan, sentence structure reverse to meer guru lagu, change of language structure from a word because the influence of guru lagu or guru wilangan, and the cut of words for guru lagu influence.

Keywords: macapat, morphology, metrum

kan oleh penuturnya. Sebuah kata bisa muncul dengan beberapa variasi bentuk dengan satu makna selayaknya homonimi. Dalam bahasa

Jawa dikenal adanya dasanama. Dalam sebuah sinonimi variasi kata itu hanya memiliki kemirip- an arti, artinya tidak ada anggota-anggota sinonimi yang memiliki fitur semantik yang

sama. Dalam dasanama kemungkinan anggota- anggotanya memiliki fitur yang sama itu di- mungkinkan. Kata gunung ‘gunung’ dengan dasanama: redi, ardi, giri, arga, ancala, aldaka, dan lain-lain memiliki konsep yang sama. Perbeda- annya mungkin hanya terletak pada ragam pe- makaiannya. Kata gunung sebagai bentuk netral, redi sebagai ragam krama, dan yang lainnya merupakan bentuk-bentuk arkais yang tetap di- pahami oleh penutur bahasa Jawa. Semuanya memiliki arti yang sama, yakni ‘gunung’. Kemun- culan bentuk-bentuk itu, terutama yang ragam arkais, dapat ditemukan dalam bahasa upacara tradisional, doa-doa tradisi, janturan dalang (wayang), atau tembang macapat.

Dalam macapat beberapa variasi kosakata gunung itu masih mungkin “ diperkosa” oleh metrum. Kata arga kemungkinan bervariasi menjadi argi, ancala kemungkinan bervariasi menjadi cala, atau ardi/redi kemungkinan ber- variasi menjadi rdi. Dalam macapat hal itu sah dan dapat dimaklumi. Kemunculan variasi itu paling banyak terjadi pada macapat daripada kegiatan pemakaian yang lainnya. Kata gunung itu menunjukkan sesuatu yang besar. Jika kon- sep besar pada gunung itu dirasa kurang me- wakili ‘kebesarannya’, pada umumnya kata gunung akan diikuti kata agung (ageng, geng, gung), dan sebagainya. Penampakan selanjut- nya bisa menjadi redigung, ancalageng, argeng, dan sebagainya. Kejadian seperti itu tidak hanya terjadi untuk beberapa kata, tetapi untuk se- bagian besar kata dalam bahasa Jawa.

Setidaknya ada tiga hal yang mengakibat- kan pemaksaan variasi kata dalam macapat, yakni guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu. Tembang macapat yang baik harus digubah berdasarkan ketiga aturan itu (Sri Haryatmo dkk., 1997: 10) Guru gatra adalah tuntutan jumlah baris setiap bait, guru wilangan adalah tuntutan jumlah suku kata dalam setiap baris, dan guru lagu adalah tuntutan bunyi vokal akhir pada setiap baris. Ketiga batasan itu men- jadikan penulis syair macapat harus berpikir panjang dalam memilih kata, menggabung-

kannya antarkata, mengemasnya, sehingga menjadi syair yang dapat mengakomodasi pe- san yang akan disampaikan dalam keterbatasan baris, jumlah kata/ silabe, dan bunyi akhir se- tiap gatra.

Pernah menjadi pembicaraan serius ketika ditemukan, ada sebuah naskah (entah oleh pe- nulisnya disengaja/ tidak) yang mengabaikan

guru wilangan. Tulisan itu terdapat pada Serat Anglingdarma tersimpan di Museum Nasional Jakarta.

1

yen uwis ndang wijiki (-1) sira mulih kekanthen asta (+1) aja kurang bukti lakune (+1) yen wis padha lungguha (-1) agunem cara kang suka (+1) aja nrak basa kang luput iku nora kena sira

(asmaradana, Karsono, 2010: 62) ‘kalau sudah segera dibasuh

kalian pulang (dengan) bergandengan tangan

jangan kekurangan kalau sudah duduklah

berbicaralah dengan rasa senang jangan berbicara asal-asalan itu tidak baik’

Untuk memenuhi ketentuan guru wilang- an, Karsono (2010: 64) memberi alternatif bahwa sebuah kata yang tidak tepat jumlah wilangan- nya dapat diganti dengan sinonimnya, misal- nya kata ngandika (6 silabe) dapat diubah men- jadi mojar, nabda, manabda, wacana, wicara, dan sebagainya.

Dalam beberapa kesempatan pergelaran macapatan di Yogyakarta, masih banyak pe- serta/ pembaca/ pelantun macapat mengalami kesulitan terhadap kata yang digunakan dalam syair-syair macapat. Hal itu tampak pada inter- aksi dalam diskusi bahwa yang menjadi bahan pertanyaan sebagian besar merupakan pen- jelasan tentang arti kata dan bukan kandungan

dari syair macapat yang sedang dikupas oleh narasumber. Kesulitan itu terjadi dalam dua hal, yakni kesulitan karena tidak mengerti kosa- kata yang dipilih oleh penulisnya dan kesulitan akibat tidak mengerti tentang pembentukan (morfologis) kata itu. Untuk kesulitan pertama mungkin dapat dimaklumi, walaupun sebagian besar mereka adalah golongan tua. Mereka tidak mengenali kata itu karena dipilih penulis- nya sebagai bentuk arkais yang sangat jarang digunakan dalam bahasa sehari-hari. Untuk kesulitan kedua kemungkinan dapat ditanggu- langi dengan memberikan pemahaman ter- hadap masyarakat tentang proses pembentuk- an variasi kata yang ada. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman ten- tang kata, pilihan kata, dan pembentukan kata yang terjadi dalam syair macapat. Untuk men- capai tujuan memberi pemahaman kepada masyarakat, terutama dalam hal membaca naskah macapat, perlu dilakukan penelitian dengan fokus, yaitu bagaimana variasi bentuk- bentuk kata yang terjadi dalam syair macapat karena pengaruh metrum yang harus diikuti dalam tembang tersebut.

Bahasa macapat memang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Macapat adalah puisi Jawa. Pada umumnya, puisi memang berbeda de- ngan bahasa prosa. Perbedaan tersebut tampak pada sifat bahasanya. Bahasa puisi lebih ber- sifat ekspressif, sugestif, asosiatif, dan magis. Hal ini juga terjadi pada macapat. Ekspresif artinya setiap bunyi atau setiap kata diper- gunakan untuk kepentingan ekspresi yang mampu memperjelas gambaran dan mampu menimbulkan kesan yang kuat. Setiap unsur bahasa yang dipilih atau dipergunakan harus membawakan nada, rasa, dan pengalaman pe- nulisnya. Sugestif artinya bahwa puisi bersifat menyarankan dan mempengaruhi pembaca atau pendengarnyasecara menyenangkan dan tidak terkesan memaksa. Sifat sugestif inilah yang dapat memberi kesan sangat kuat dalam diri penikmatnya. A sosiatif artinyabahw a bahasa puisi mampu membangkitkan pikiran

dan perasaan.Magis artinya bahw a bahasa puisi seolah olah mempunyai suatu kekuatan. Seperti apa makna kata yang tepat selalu menuntut penulis puisi menentukan diksi yang paling dekat dengan rasa dan intuisinya. Oleh karena itu, tidak jarang seorang penulis puisi membuat penyimpangan bahasa yang diguna- kan secara tanpa disadarinya. Penyimpangan bahasa pada puisi merupakan hal yang biasa sebagai implementasi ekspresi. Penyimpangan itu antara lain penyimpangan leksikal, penyim- pangan semantik, penyimpangan fonologis, penyimpangan morfologis, penyimpangan sintaksis, penyimpangan dialek,penyimpangan register, penyimpangan historis, dan penyim- pangan grafologis. Suatu bentuk dalam puisi dipandang sebagai penyimpangan leksikal jika bentuk itu mengalami penyimpangan makna secara leksikal. Hal ini ditandai oleh adanya proses morfologis yang belum umum, kata bentukan baru dan bentuk kata yang tanpa makna atau tidak terdapat dalam kamus. Pe- nyimpangan semantik terjadi dalam hubungan struktur kalimat, yaitu jika terdapat peng- gabungan kata yang tidak logis (tidak dapat diterima akal). Namun,penyimpangan seperti ini masih terto lo ng oleh d ap atd itemukan maknanya berdasarkan kriteria lain, yaitu makna yang bersifat tambahan. Suatu bentuk dipandang sebagai penyimpangan fonologis jika bentuk itu tidak memiliki makna konven- sio nal sebagaimana kata pad a umumnya. Biasanya bentuk itu tercipta karena penyair me- mentingkan rima. Bentuk tersebut oleh penyair dipandang sebagai kata, namun bentuk itu tidak dijumpai dalam kamus. Suatu bentuk dianggap sebagai penyimpangan morfologis jika bentuk tersebut tidak umum pemakaian- nya. Ketidakumuman itu disebabkan oleh pem- bentukan yang menyalahi aturan atau masih problematik. Termasuk dalam penyimpangan ini misalnya kata yang berupa bentukan baru (nonstandar) dan pelesapan morfem.Suatu bentuk d ianggap sebagai p enyimpangan sitaksis jika struktur tersebut tidak sesuai pola

kalimat. Ketidakumuman itu sering menimbul- kan ketaksaan makna.Suatu bentuk dipandang sebagai penyimpangan dialek jika bentuk yang digunakan berupa dialek atau slang, baik yang bersifat regional, usia, maupun sosial. Bentuk dialek juga mencakup bentuk dari bahasa lain. Penyimpangan historis berkaitan dengan pe- makaian kata kata arkais dalam puisi modern. Penyimp angan grafologis berup a ketid ak teraturan bentuk.

Macapat memiliki perbedaan dengan puisi pada umumnya. Macapat memiliki pedoman penulisan yang juga disebut metrum. Metrum yaitu ukuran irama yang ditentukan oleh jumlah dan panjang tekanan suku kata dalam setiap baris (KBBI).Metrum adalah kaidah atau tata bangun pembaitan yang harus ditaati secara ketat (Karsono, 2010: 59). Istilah metrum pada aw alnya merupakan aturan yang di- gunakan untuk tembang kakawin (syair de- ngan bahasa Jawa Kuno) yang diadopsi dari metrum India. Perkembangan bahasa dan genre puisi puisi Jawa memperluas makna me- trum menjadi aturan dalam penggarapan syair tembang tengahan dan macapat. Tembang tengahan dengan media bahasa Jawa tengahan menggunakan metrum kidung (tembang tengah- an), dan macapat menggunakann bahasa Jawa baru dengan aturan tersendiri. Aturan itu konon meliputi maca papat-papat (membaca dengan empat-empat), sehingga kemudian di- namai macapat. Namun, dalam perwujudannya justru maca papat-papat terjadi untuk tembang tengahan/ tembang gedhe: wirangrong, juru- demung, girisa, dan balabak. Macapat yang ber- kembang kemudian dengan bahasa Jawa baru memiliki metrum tersendiri yang disebut guru, yaitu guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu. Nama macapat ini tidak lagi dianggap sebagai maca papat-papat, tetapi maca sipat ‘membaca cermin sifat manusia’ dalam filosofi Jaw a. Gurugatra adalah banyaknya jumlah baris dalam satu bait. Guru wilangan adalah banyak- nya silabe dalam setiap baris. Guru lagu adalah

suara vokal terakhir dalam setiap baris atau disebut dhong-dhing.

Ada sebelas tembang macapat yang masih dikenali oleh masyarakat, yaitu mijil, kinanthi, sinom, asmaradana, dhandhanggula, mas- kumambang, durma, pangkur, gambuh, mega- truh, dan pocung. Beberapa ahli berpendapat lain, misalnya macapat dibagi dalam 15 macam termasuk balabak, girisa, juru demung, dan wirangrong (Laginem,1992: 21). Kesebelas jenis itu memiliki masing-masing memiliki metrum yang berbeda-beda, meliputi guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu sebagai berikut.

Mijil= 10i, 6o, 10e, 10i, 6i, 6u Kinanthi= 8u, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i

Sinom= 8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 8u, 7a, 8i, 12a Asmaradana= 8i, 8a, 8e/ o, 8a, 7a, 8u, 8a Dhandhanggula= 10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a

Maskumambang= 12i, 6a, 8i, 8a Durma= 12a, 7i, 6a, 7a, 8i, 5a, 7i Pangkur= 8a, 11i, 8u, 7a, 12u, 8a, 8i Gambuh= 7u, 10u, 12i, 8u, 8o Megatruh= 12u, 8i, 8u, 8i, 8o Pocung= 12u, 6a, 8i, 12a

Dari daftar tersebut sapat dibaca misalnya mijil= 10i, 6o, 10e, 10i, 6i, 6u; memiliki 6 gatra, gatra 1 berjumlah 10 silabe dengan bunyi vokal terakhir / i/ ; gatra 2 berjumlah 6 silabe dengan bunyi vokal terakhir / o/ , gatra 3 berjumlah 10 silabe dengan bunyi vokal terakhir / e/ , gatra 4 berjumlah 10 silabe dengan bunyi vokal ter- akhir / i/ , gatra 5 berjumlah 6 silabe dengan bunyi vokal terakhir / i/ , dan gatra 6 berjumlah 6 silabe dengan bunyi vokal terakhir / u/ . Demikian juga dapat dibaca pada jenis tem- bang lainnya.

2. M etode

Data penelitian ini berupa kata atau kelom- pok kata yang disinyalir merupakan bentuk yang sulit diterjemahkan oleh pembaca ma-

capat. Bentuk yang sulit itu ditandai oleh jarang/ sulit ditemukan dalam bahasa sehari- hari. Data berupa kata atau kelompok kata itu hanya dapat dijelaskan apabila disertakan kon- teksnya, berupa gatra atau bait. Data semacam itu dalam syair-syair macapat (susastra lama) sangat banyak sehingga sumber data perlu dibatasi. Kesalahan translitersi dan korup kata juga bukan merupakan bagian dari data. Pene- litian ini hanya mengambil data dari sumber naskah-naskah macap at yang digunakan dalam Pergelaran Macapat Jumat Legen, yakni (1) Serat Centhini (digunakan pada pergelaran di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, 19 September 2017, dihimpun oleh Prof. Dr. Sutrisno Wibawa, M.Pd.), (2) Dhandhanggula Mancaw arni (digunakan p ada Pergelaran Macapat di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 25 Mei 2017, dihimpun oleh Dra. Sri Nardiati, M.Pd.), dan (3) Serat Wirid Sopanalaya yang disiapkan untuk Pergelaran Macapatan di Balai Bahasa DIY). Ketiga sumber data tersebut di- harapkan dapat menjadi perwakilan teks ma- capat yang beredar di masyarakat. Hasil pene- litian ini diharapkan dapat digeneralisasikan menjadi salah satu panduan untuk memahami karakteristik kata dan bentuk kata pada teks macapat.

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik simak dan catat. Teknik ini digunakan karena data berupa teks dalam bentuk tulis. Setiap kata atau kelompok kata yang dite- ngarahi sebagai data dicatat beserta konteks gatra/ baitnya. Data dipilah-pilah dalam bebe- rapa kasus. Suatu data dimungkinkan memiliki gejala dalam kasus-kasus berbeda sehingga dapat dimasukkan ke dalam lebih dari satu kategori kasus. A nalisis dilakukan dengan membuat klasifikasi data, menyandingkan data dengan kata asal data, menganalisis proses pembentukan kata (data itu) dari asalnya. Cara yang ditempuh dalam mewujudkan ana- lisis itu menggunakan metode agih. Metode agih yang diterapkan ialah teknik substitusi, teknik ubah ujuw, teknik perluas, dan teknik

lesap (Sudaryanto, 2015: 18). Sebagaimana kita ketahui bahwa macapat merupakan bagian dari karya sastra. Oleh karena itu, teks macapat yang kadang-kadang mengalami penyimpang- an dari kaidah kebahasaan. Untuk itu penyim- pangan kaidah kebahasaan dalam teks susastra itu wajar. Penelitian ini hanya dapat menggam- barkan adanya variasi bentuk kata karena pe- nyimpangan itu ternyata membentuk berbagai variasi. Lisensia puitika tetap dipakai sebagai dasar analisis penelitian ini. Sebagaimana di- ketahui bahwa Lisensia puitika merupakan ke- bebebasan seorang pengarang untuk menyim- pang dari kenyataan untuk menghasilkan efek yang dikehendaki, terkadang bergeser dari kaidah kebahasaan (Shaw , 1972: 291). Ke- bebasan ini diterjemahkan sebagai “ kewenang- an” oleh Panuti sudjiman (1993: 18). Kebebasan itu dapat berupa penyimpangan leksikal, pe- nyimpangan semantis, penyimpangan fono- logis, penyimpangan morfologis, penyimpang- an sintaksis, penggunaan dialek, penggunaan register, dan penyimpangan historis.

3. Pembahasan

Untuk mendapat gambaran awal terjadi- nya variasi kata dalam tembang macapat, berikut dikutipkan satu bait pertama dari setiap sumber d ata, berturut-turut d ari Serat Centhini, Wirid Sopanalaya, dan mancawarni.

2

Angandika Seh Mongraga aris (10i) mring kang rayi iya yayi sira (10a)

den-irama satitahe (8e)

mungguhing bab kang perlu (7u) ing ngaurip tekabul ngelmi(9i) ngelmi kang wus muktamat (7a)

ing sarak (n)Jeng Rasul- (6u)

olah ingalehisalam (8a)

aminihi mumuruk ing sira yayi (12i)

sira nebuta sadad (7a)

‘Seh Amongraga berbicara dengan lantang kepada adiknya, hai adikku

berlakulah dengan irama terhadap perihal yang perlu dalam hidup mencari ilmu ilmu yang sudah teruji dengan syariat Rasulullah salallahualaihi wasalam memberi pelajaran bagimu bacalah sahadat’

3

Limang warsa mangsa kalima marengi(12i)

wuku Sélaarga (6a)

taun Dal dèn sangkalani (8i) erus nawa resi raja (1799) (8a) (maskumambang)

‘tahun kelima bertepatan dengan masa (bulan) kelima

wuku Watugunung

tahun Dal dengan sengkalan erus nawa resi raja’

4

Pamedhare warsitaning ati (10i) cumanthaka aniru Pujangga (10a) dahat mudha hing batine (8e) nanging kedah ginunggung (7u) tan wruh lamun akeh ngesemi (9i)

ameksa angrumpaka (7a)

basa kang kelantur (6u)

tutur kang katula-tula (8a) tinalaten rinuruh kalawan ririh (12i) mrih padhanging sasmita (7a) (dhandhanggula, dari Wulangreh) ‘maksud hati menjadi pelajaran

(untuk) memberanikan diri meniru pujang- ga

(walaupun) sangat bodoh tetapi harus berusaha

walaupun tidak mengerti (ilmunya) terpaksa (harus) mengarang

dengan bahasa yang ngelantur kata-kata yang seadanya

dengan (modal) telaten dan pelan-pelan supaya mendapat pencerahan’

Ketiga tembang tersebut disertai dengan aturan guru wilangan dan guru lagu di sebelah kiri setiap gatra. Dalam ketiga bait tembang tersebut setidaknya ada 12 unsur ditandai dengan garis bawah. Kedua belas unsur itu dicurigai telah mendapat pemaksaan bentuk oleh penulisnya akibat harus menyesuaikan diri dengan metrum yang telah digariskan pada tembang dhandhanggula dan maskumambang. Untuk mempermudah identifikasi, kedua belas unsur itu ditandai dengan penomoran berikut. (1) Seh Mongraga, (2) mring, (3) ngaurip, (4) ngelmi, (5) Rasul-, (6) aminihi memuruk ing, (7) mangsa kalima marengi, (8) Selaarga, (9) aniru, (10), tan wruh, (11) ameksa, dan (12) angrumpaka. Pada data (1) Seh M ongraga mend apat perlakuan pemotongan satu suku kata dari yang seharusnya Seh Amongraga. Penghilangan satu suku kata itu disebabkan oleh tuntutan guru wilangan. Gatra pertama dhandhanggula yang seharusnya 10 silabe. Jika ditulis sewajar- nya gatra itu akan diparafrasakan menjadi Seh Amongragaangandika aris, berjumlah 11 silabe. Pengurangan jumlah silabe untuk memenuhi guru wilangan juga terjadi pada data (2) dan (10). Pada (2)mring terjadi dari kata marang ing. Jika dipertahankan akan kelebihan dua silabe dari 10 menjadi 12 silabe: marang ing kang rayi iya yayi sira. Pada (10) tan wruh merupakan ben- tuk pendek dari datan weruh. Jika dipertahan- kan akan kelebihan 2 silabe: datan weruh lamun akeh ngesemi ‘tidak tahu jika (banyak) yang tersenyum’.

Data (1) juga menunjukkan adanya susun- an kalimat yang tidak wajar. Angandika Seh Mongraga aris ‘berkata Seh Amongraga dengan lancar’ berupa pola predikat-subjek-keterang- an. Pola itu tidak wajar dalam bahasa Jawa. Apabila pola itu diluruskan akan menjadi Seh Mongraga angandika aris ‘Seh Amongraga ber- bicara lantang’. Hal ini sebenarnya tidak me- nyimpang dari metrumnya sebagai baris per-

tama dhandhanggula dengan dhongdhing 10i. Kasus ini dalam bahasa Jawa dikenla sebagai baliswara. Baliswara yaitu strukturkata yang me- nyimpang dari aturan dengan tujuan untuk melengkapi guru lagu.

Pada data (3) ngaurip ‘hidup’ mendapat perlakuan penambahan satu silabe. Silabe itu ialah unsur –(ng)a dari kata urip. Penambahan silabe itu bertujuan untuk memenuhi kekurang- an guru wilangan baris ke-5 tembang dhan- dhanggula (9i). Gatra ing ngaurip tekabul ngelmi jika diparafrasa menjadi ing urip tekabul ngelmi hanya 8 silabe. Penambahan silabe juga terjadi pada data (7), (9), dan (11). Pada (7) aminihi mumuruk ing sira yayi (12i) sewajarnya dapat ditulis minihi muruk ing sira yayi (10i). Dalam hal ini terjadi penambahan 1 silabe a- pada minihi (menehi) menjadi aminihi ‘memberi’ dan menambahan I silabe dwipurwa pada kata muruk ‘mengajari’ menjadi memuruk ‘meng- ajari’. Pada data (9) dan (11) juga terjadi pe- nambahan satu silabe masing-masing pada kata aniru, ameksa, angrumpaka yang memiliki arti yang sama dengan niru ‘meniru’, meksa ‘me- maksa’, dan ngrumpaka ‘mengarang’. Penam- bahan silabe ini dilakukan untuk melengkapi kekurangan guru wilangan pada gatra kedua dan keenam tembang dhandhanggula.

Pada data (4) ngelmi‘ ilmu’ merupakan bentuk variasi dari ngelmu ‘ilmu’. Variasi se- macam ini digunakan untuk memenuhi tun- tutan guru lagu (dhongdhing).Ngelmi dan ngel- mu memiliki arti yang sama. Hanya ragam yang membedakannya. Ngelmi beragam halus, sedangkan ngelmu beragam biasa. Mengingat ragam bahasa utama tembang di atas merupa- kan ngoko, pemilihan kata ngelmi(dengan ra- gam halus) ditengarai sebagai bentuk penye- suaian terhadap kebutuhan guru lagu / i/ da- lam gatra itu. Kasus serupa ngelmu-ngelmi serupa dengan yang terjadi pada data (8), yakni kata Selaarga. Kata selaarga merupakan bentuk- an sebuah nama wuku, yakni W atugunung. Kata sela ‘batu’ merupakan bentuk halus dari watu ‘batu’, dan arga juga merupakan bentuk

halus dari gunung ‘ gunung’. Pilihan kata selaarga dimaksud sebagai bentuk penyesuaian diri dengan guru lagu. Pada gatra itu (mas- kumambang gatra ke-2) diperlukan suara vokal / a/ . Jika tetap digunakan kata watugunung sebagai nama yang sebenarnya, kebutuhan dhongdhing tidak terpenuhi karena suara vokal akhirnya / u/ . Penerjemahan nama ke dalam ragam yang dirasa halus dalam kasus tertentu tidak dianggap sebagai bentuk standar, atau disebut sebagai krama desa (Mulyanto, 2016). Kasus semacam itu sejenis dengan penghalus- an nama Karanganyar menjadi Kawisenggal, Mataram menjadi Matawis, atau Bayalali men- jadi Bajulkesupen. Dalam macapat variasi ben- tuk semacam itu wajar karena tuntutan guru wilangan dan guru lagu.

Pada data (5) kata Rasul- itu mengakhiri

Dalam dokumen Prosiding Hasil Penelitian Bahasa dan Sa (1) (Halaman 168-178)