• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tindak Tutur Ekspresif

SPEECH ACT OF KIYAI ABDUL SATTAR IN RELIGIOUS SPEECH IN M ADURA LANGUAGE: PRAGM ATIC STUDY

3. Hasil dan Pembahasan 1 Hasil Penelitian

3.2.1 Tindak Tutur Ekspresif

Komunikasi selalu berperan dalam segala segi kehidupan manusia atau masyarakat. Keberadaan ilmu pengetahuan, pengalaman, sikap, nilai, perilaku, dan budaya tidak bisa di- lepaskan dari komunikasi. Terkait dengan komunikasi, bentuk pesan moral yang disam- paikan oleh komunikan harus jelas dan di- pahami lawan tutur. Hal serupa juga dilakukan oleh Kiyai Abdul Sattar dalam ceramah agama berbahasa Madura pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Dalam ceramahnya, Kiyai Abdul Sattar mengungkap terima kasih- nya kepada pihak penyelenggara dan pen- dengar atas sambutan hangatnya dalam ke- giatan tersebut. Tuturan Kiyai Abdul Sattar ter- sebut termasuk dalam tuturan ekspresif. Tindak tutur ekspresif ialah tindakan tindak tutur yang digunakan untuk menyatakan sesuatu yang berhubungan dengan hal yang telah dilakukan oleh penuturnya. Tindak mengakui dan me- minta maaf ialah contoh dari tindak tutur eks- presif (Wijana, 2015: 96). Berikut contoh tindak tutur ekspresif yang dikemukakan oleh Kiyai Abdul Sattar.

Contoh:

(1) Kong lang kong de’ setejenah pengurus pe- ngajian emalem mangken sesaana’ peten kauleh emoljeakin.

Tuturan pad a kalimat (1) merup akan ungkapan permohonan maaf kepada semua pengurus pengajian karena telah repot meng- urus semua keperluan yang terkait pelaksanaan kegiatan tersebut dan telah memulyakan Kiyai Abdul Sattar. Di dalam bahasa Madura, ung- kapan kong-langkong merupakan bentuk per-

ulangan atau reduplikasi berubah bunyi. Reduplikasi tersebut diperlukan untuk menye- butkan kembali kata sebelumnya. Sebenarnya, tuturan kong merupakan kepanjangan dari tuturan ta’ langkong yang bermakna ‘mohon maaf’. Dalam situasi tertentu, tuturan tersebut berubah bunyi menjadi kong-langkong ber- makna ‘maaf-maaf’.

Tindak tutur pada tutur pada (1) dapat di- maknai bahwa Kiyai Abdul Sattar mengung- kapkan permohonan maafnya karena telah merepotkan para pengurus yang telah mem- persiapkan segalanya dengan baik. Selain itu, ungkapan terima kasih juga disampaikan kiyai karena diperlakukan secara khusus, yaitu di- hormati dan dipandang mampu sebagai tokoh agama (penceramah agama) untuk memberi- kan tausiyah kepada masyarakat. Hal tersebut dapat diamati pada frasa peten kauleh emoljeakin bermakna ‘saya dimulyakan/ dihormati’. 3.2.2 Tindak Tutur Verdiktif

Tindak tutur verdiktif ialah tindak tutur yang digunakan penutur untuk memberikan penilaian atau penghakiman terhadap apa yang dilakukan oleh lawan bicaranya (Wijana, 2015: 95). Contoh tindak tutur verdikatif di antaranya tindakan mengutuk, berterima kasih, menyalahkan, mengkritik, dan sebagainya se- jumlah tindakan yang merupakan pelaksana- an dari tindak tutur verdiktif. Tuturan Kiyai Abdul Sattar pada peringatan Maulid Nabi Muhammad terdapat tindak tutur verdiktif yang bersifat mengutuk dan mengkritik kepada lawan tuturnya.

Tindak tutur yang disampaikan oleh kiyai menggunakan tuturan sindiran halus, tetapi sifat tuturannya mengutuk dan mengeritik lawan tuturnya melalui ceramah agamanya. Hal ini dilakukan agar memudahkan pemaham- an pendengar terhadap pesan moral yang di- sampaikan oleh Kiyai Abdul Sattar. Pesan moral berupa ungkapan sindirin diperlukan untuk menarik minat pendengar memperhati- kan pembicaraan penceramah. Berikut contoh- contoh tindak tutur yang bermakna mengutuk

audien atau pendengar yang dituturkan oleh Kiyai Abdul Sattar pada ceramah agamanya. (2) Area se ta’ ajawab lambe, ta’ ngacih langsung

alakeh.

(3) Tempeng seres beres ta’ asolat, sengkaan, mareh ta’ tusah adaftar pein orang kuleh, pahampa’? mareh pengajian bile bedeh letangkuh sampean ta’ apejeng, sek roh aroh, jua per- paang...perpaang kileh.

(4) Bu...mon ngacih se tanpa cangkem ken mare selalu lekas mateh coma se’ kebele tak lakeh menggeh.

Contoh tuturan (2—4) tersebut merupakan contoh tindak tutur verdiktif yang berbentuk sindiran yang ditujukan kepada pendengar saat p enyamp aian ceramah agama berbahasa Madura. Ceramah agama dalam rangka mem- peringati Maulid Nabi Muhammad SAW ter- sebut benyak menggunakan tuturan lucu agar pesan mo ral tersamp aikan d engan cepat. Contoh tuturan (2) bermakna ‘ini yang tak menjaw ab, dulu tak ngaji langsung nikah’. Makna tuturan (2) merupakan tindak tutur verdiktif yang sifatnya mengutuk lawan tutur. Jika ditinjau lebih dalam, pemahaman tuturan tersebut menyoroti tindakan negatif law an tutur. Tindak negatif lawan tutur yang dimak- sud ketika Kiyai Abdul Sattar bertanya kepada pendengar, tetapi lawan tutur tidak memberi- kan respon yang baik terhadap pertanyaan itu. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk me- ngeluarkan tuturan atau kalimat lucu terhadap law an tuturnya. Tuturan atau kalimat lucu kiyai, yaitu Area se ta’ ajawab lambe, ta’ ngacih langsung alakeh. Bisa dibayangkan, sesorang yang tidak menjawab pertanyaan Kiyai diang- gap tidak pernah belajar ngaji dan langsung menikah. Saat itulah, audien langsung tertawa dan memperhatikan kembali ceramah yang disampaikan oleh kiyai.

Sindiran Kiyai Abdul Sattar kepada lawan tuturnya yang mendengar ceramah agama juga ditujukan kepada pendengar yang malas me- laksanakan salat. Hal tersebut dapat diamati

pada contoh kalimat (3) Lempeng seres beres ta’ asolat, sengkaan, mareh ta’ tusah adaftar pein orang kileh, paham pa’? mareh pengajian bile bedeh letangkuh sampean ta’ apejeng, sek roh aroh, jua perpaan-.perpaang kileh. Makna kalimat tersebut adalah ‘ Ketimbang yang sehat tidak salat, malas, supaya tidak berdosa daftar saja men- jadi orang gila, paham, Pak?’ Supaya pengaji- an, bila ada yang tidak salat, jangan diusik, itu sedang gila’.

Ditinjau dari pragmatik, tuturan tersebut mengandung makna yang mengesankan bagi pendengar yang berbahasa Madura ini. Makna yang tersirat dan tersurat dalam kalimat ter- sebut ialah orang yang sehat, tetapi tidak mau melaksanakan salat dengan baik, diumpama- kan seperti orang sedang sakit gila. Artinya, orang yang sedang gila atau tidak berakal akan terlepas dari kewajibannya melakukan salat lima w aktu. Sarat melaksanakan salat lima waktu di antaranya orang yang waras atau berakal. Oleh karena itu, sindiran Kiyai Abdul Sattar tersebut mengandung makna seruan kepada lawan tuturnya agar melaksanakan salat bagi yang sehat dan berakal.

Tindak tutur verdiktif yang bersifat me- ngutuk juga bisa dilihat pada tuturan (4), Bu... mon ngacih se tanpa cangkem ken mare selalu, lekas mateh coma se’ kebele tak lakeh menggeh. Makna dari kalimat tersebut ialah ‘Bu… kalau ngaji jangan meletakkan telapak tangan di dagu, cepat mati cuma jangan kasi tahu suaminya nanti’ . Kalau diamati makna dalam bahasa Indonesia, hal itu sekadar lelucon yang dilon- tarkan oleh kiyai. Namun, makna tuturan ter- sebut bersifat mengutuk lawan tutur yang ber- tindak negatif, yaitu bermuram durja. Kiyai melarang audien atau pendengar selalu ber- muram durja karena dinilai tidak baik, yaitu dianggap banyak masalah dalam hidupnya. Selain itu, ada yang beranggapan bahwa de- ngan bermuram durja terindikasi akan diting- gal mati oleh pasangannya.

(5) Mun oreng Mekka bininah setade’ alakoh se- kale mun kadung a ten ten ce’rattinah macem

bintang film. M on bininah oreng compo’ ta’ ningmang la se’ alakoh kappih mong- kadung atenten ko’nakoin, beni kaya’ bintang tren tapi cem binatang film.

(6) Indonesia tanah paling subur sedunia tapi rakyat teh melarat. Sekali lagi Mekkah tanah nah kereng tapi rakyatteh soki makmur. Mon Indonesia tananh subur tape rakyatteh lat melarat.

Tindak tutur verdiktif yang bermuatan kri- tik dapat diamati pada tuturan (5—6). Kedua contoh tuturan tersebut memiliki makna yang unik jika dilihat dalam kajian pragmatik. Namun, sebelumnya perlu diterjemahkan ke dalam ba- hasa Indonesia agar pemerhati kajian ini dapat memahami dengan baik. Contoh tuturan (5) Mun oreng Mekka bininah setade’ alakoh sekale mun kadung a ten ten ce’rattinah macem bintang film. Mon bininah oreng compo’ ta’ ningmang la se’ alakoh kappih mongkadung atenten ko’nakoin, beni kaya’ bintang tren tapi cem binatang film. Tuturan tersebut memiliki makna ‘Kalau orang Mekkah, istrinya tidak ada yang kerja jika ber- dandan sangat cantik seperti bintang film. Kalau istrinya orang rumah, kerja terus kalau mau dandan menakutkan, tidak seperti bintang tren, tetapi seperti binatang film.

Makna yang terungkap dalam tuturan (5) ini merupakan kritik dan sindiran keras kepada audien atau pendengar meskipun perumpama- an itu diasosiasikan kepada istrinya (kiyai) dengan frasa oreng compo’ yang bermakna ‘orang rumah’. Kiyai Abdul Sattar mengkritisi dengan cara membandingkan kondisi istri orang Arab dan orang Indonesia (Madura). Istrinya orang Arab (Mekkah) tidak ada yang kerja dan cantik-cantik kalau berd andan. Istrinya orang Indonesia, khususnya orang Madura bekerja terus sehingga saat berdandan tidak sesuai dengan yang diharapkan (ber- lebihan). Maksudnya, ingin mengikuti tren ke- cantikan, tetapi malah sebaliknya menyerupai tampilan yang lain (binatang). Hal tersebut dapat diamati dari klausa atenten ko’nakoin, beni

kaya’ bintang tren tapi cem binatang film ber- makna ‘berdandan menakutkan, tidak kayak bintang tren, tetapi seperti binatang film’.

Sindiran keras berupa kritik dan perban- dingan juga bisa diamati pada contoh tuturan (6), Indonesia tanah paling subur sedunia tapi rakyat teh melarat. Sekali lagi Mekkah tanah nah kereng tapi rakyatteh soki makmur, mon Indonesia tananah subur tape rakyatteh lat melarat. Ter- jemahan dalam bahasa Indonesia “ Indonesia tanah paling subur di dunia, tetapi rakyatnya melarat. Sekali lagi Mekkah tanahnya kering, tetapi rakyatnya makmur, kalau Indonesia tanah subur, tetapi rakyatnya melarat” . Makna yang terkandung dalam tuturan tersebut me- rupakan kritik yang sindiran keras terhadap masyarakat khususnya pemerintah Indonesia. Kritik tersebut dapat diamati makna tuturan “ Indonesia tanah paling subur di dunia, tetapi rakyatnnya melarat” . Meskipun Indonesia pa- ling subur di dunia, masyarakatnya banyak yang kelaparan karena kemiskinannya. Hal tersebut dibandingkan dengan kondisi tanah Mekkah yang kering, tetapi rakyatnya mak- mur. Perband ingan d ikaitkan d engan p e- laksanaan salat yang dilakukan oleh masya- rakat. Menurutnya, orang Arab (Mekkah) ge- mar memakmurkan Masjid, sedangkan orang Indonesia sebaliknya. Di Indonesia, masjid banyak dibangun di mana-mana, tetapi fakta- nya orang yang salat ke masjid jarang.