• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tindak Tutur Asertif

SPEECH ACT OF KIYAI ABDUL SATTAR IN RELIGIOUS SPEECH IN M ADURA LANGUAGE: PRAGM ATIC STUDY

3. Hasil dan Pembahasan 1 Hasil Penelitian

3.2.3 Tindak Tutur Asertif

Tindak tutur asertif digunakan untuk me- ngemukakan atau menyatakan fakta atau pengetahuan. Tujuan dikemukakannya tindak tutur untuk menginformasikan sesuatu (Wijana, 2015: 94). Menurut Wijana, pemakaian bahasa dalam kaitan ini berhubungan dengan kognisi atau pengetahuan. Hal-hal yang dikemukakan menyangkut fakta-fakta, sesuatu dengan yang sedang, akan, atau sudah terjadi.

Terkait pendapat itu, Kiyai Abdul Sattar menyampaikan tindak tutur asertif dalam ce- ramah agamanya dengan tuturan berbahasa Madura kepada audiennya. Tindak tutur aser-

tif yang disampaikan kepada pendengarnya difokuskan pada informasi, penegasan, dan pesan. Tujuan tuturan tersebut ialah memasuk- kan nilai-nilai, baik kepada masyarakat (pen- dengarnya) melalui ceramahnya. Berikut tutur- an yang berhubungan fokus pada informasi tentang nama Muhammad yang dalam sejarah- nya bernama Ahmad. Nama Ahmad diberikan oleh kakeknya Abdullah dan setiap hurufnya memiliki makna khusus sebagai berikut. (7) Ahmad bukan sekedar kalimat yang indah,

indah kita pandang, indah kita dengar, indah untuk diucapkan, tapi Ahmad merupakan kalimat yang terdiri dari deretan empat hu- ruf. Semasing-masing huruf nikah melam- bangkan posisi oreng setepaang asolat/ape- jeng. Contoh alif. Alif nikah kempere per- paang oreng asolat, berdiri tegak, Allahu Akbar. Hak nikah lambang oreng asolat perpaang arukuk.Min, nikah kemperen perpaang oreng asujud. Dal..lambang oreng asolat perpaang tahyeed.

Menurut Kiyai Abdul Sattar, nama Ahmad bukan hanya memiliki kata yang indah dipan- dang, didengar, dan diucapkan, tetapi nama A hmad melambangkan posisi orang yang sedang salat. Huruf a atau alif dalam bahasa A rab dilambangkan oleh kiyai sebagai se- seorang berdiri tegak yang sedang takbir Allahu Akbar yang bermakna “ Maha Besar A llah” . Kemudian, huruf h atau hak dalam bahasa Arab yang melambangkan seseorang sedang rukuk. Huruf m atau mim menggambarkan seseorang sedang sujud. Terakhir, huruf d atau dal dalam bahasa Arab melambangkan seseorang sedang tahyad. Dari penjabaran huruf-huruf tersebut dan disingkat menjadi nama Ahmad memiliki makna khusus terkait pelaksanaan salat. (8) Oreng se ta’ oleh apejeng bedeh due maki ta’

apejeng ta’ tusah. Mare keding akin. Orang Islam ole ta’ apejeng sepertama golongan oreng kileh, bede seadaftarah. Senomor due, oreng Islam seta’tusah bila ta’ apejeng serah. Na’ kana’ setak pellik (baligh).

Tindak tutur asertif yang fokus pada cara penyampaian, yaitu penegasan terdapat pada tuturan (8). Penegasan yang disampaikan oleh Kiyai Abdul Sattar terkait wajib dan tidaknya seseorang melaksanakan salat. Orang-orang yang tidak berdosa meninggalkan salat, yaitu orang gila dan anak yang belum baligh. Hal tersebut sesuai dengan tuturan yang disampai oleh kiyai dalam ceramahnya yang d apat diartikan ‘Orang yang boleh tidak salat ada dua, w alaupu tidak salat tidak dosa. Mari dengarkan, orang Islam boleh tidak salat, yang pertama, golongan orang gila, ada yang mau daftar. Yang nomor dua, orang Islam yang tidak berdosa bila tidak salat siapa, yaitu anak- anak yang belum balig.’

Tuturan tersebut disampaikan oleh Kiyai Abdul Sattar memiliki makna yang dalam, yaitu bentuk penegasan kepada umat Islam bahwa diperbolehkan meninggalkan atau tidak melaku- kan salat jika yang bersangkutan sedang gila dan belum balig. Artinya, setiap muslim yang sudah balig dan tidak gila diwajibkan melak- sanakan ibadah salat tidak terkecuali keada- annya. Meskipun tindak tutur yang disampai- kan Kiyai Abdul Sattar dengan kalimat yang lucu dan santai, penegasan atau aturan yang jelas dalam melaksanakan salat sehingga pendengarnya merasa tersindirkan (introspeksi diri telah melalaikan salat).

(9) Enca’eng imam, imam tak khusuk mare kikirin bininah, tape ma’mum sesittung bede sekusuk eteremah kampih. Ma’mum ade’ sekuse’eh se- kaleh arapah mare noro’ atuan toreh, ken imam sittung khusu’ eterema kappih.

Tindak tutur berupa penegasan berupa pelaksanaan salat berjamaah juga disinggung dalam ceramah Kiyai Abdul Sattar. Hal tersebut dapat diperhatikan pada tuturan (9) yang ber- makna ‘Katanya imam, imam tidak khusuk mikirin istrinya, tetapi makmum yang satu ada yang khusuk itu diterima semua. Makmum tidak ada yang khusuk sama sekali biarkan ikuti terus, kalau imam khusuk diterima semua.’ Dari makna tersebut sudah jelas jika salat ber-

jamaah, insya-Allah salatnya akan diterima oleh Allah karena dari sekian banyak makmum dan imam itu pasti ada yang khusuk dalam melaku- kan ibadah salatnya.

Makna tersirat lainnya bahwa dengan salat berjamaah mengandung arti menjaga keber- samaan di antara kaum muslimin dan mus- limat. Hal tersebut dapat diamati pada susunan barisan rapat pada saat pelaksanaan salat. Ke- tentuan ini disyariatkan kepada kaum muslim- in yang akan melaksanakan salat agar tidak ada saitan yang mengganggu pada saat salat mereka. Nilai kebersamaan juga terlihat dari baris yang rapi dan tidak terputus kaum mus- limin tersebut menghindikasikan bahwa me- reka bersaudara, yaitu Islam.

(10) Bedeh orang butah ta’ toman eserempet sepeda ben motor tapi se la’mela’ etabrak/se- rempet bi’ sepeda motor. Serah sepender se- getela’ apa sebutoh. Orang buta keluar dari compo’ coman neku’ tongkot mulenah teppa’, mun se beres mule keromanah tetangkenah, alasanah keleroh. Pantes oreng butah lem malem nekah a oncoren, ele’ kele’ bi’ semela’ se siang malem kakeh je ta’ ngetela mon malem neku’ oncor, akele’ geli’. Mon sebutah ajawab, “ O h kakeh jiyah gendeng, engko’ malem riyah a oncoran engko nira’ in kakeh, tako’ nabra’ engko’ polanah sesuka’ aba’ nabrak coman kakeh taoh” , engki apa engkih. Tindak tutur asertif yang bersifat pesan da- pat diamati pada tuturan (10) berupa wacana pendek mengandung petuah dari Kiyai Abdul Sattar terkait pandangannya terhadap orang yang normal dan orang tuna netra. Terjemahan dari tuturan (10) sebagai berikut ‘Ada orang buta tidak pernah diserempet motor, tetapi yang bisa melihat diserempet/ ditabrak sepeda motor. Nah, siapa yang benar, yang bisa me- lihat apa yang buta? Orang buta ke luar rumah hanya memegang tongkat pulangnya tepat, kalau yang sehat pulang ke rumah tetangga alasannya keliru. Pantas, orang buta pada malam hari itu pakai obor ditertawakan orang

tidak buta dan katanya ‘Siang malam kamu (orang buta) tidak bisa melihat tetapi masih pakai obor sambil tertawa geli.’ Si orang buta menjawab ‘Oh kamu itu bodoh, saya itu pakai obor di malam hari ini untuk nyinarin kamu karena yang suka nabra itu cuma kamu, iya kan?’

Terkait analisis tuturan di atas, Lubis (2011: 16) menyatakan bahwa ucapan itu dapat di- analisis ke dalam unit-unit kecil dengan cara menemukan unsur baw ahan langsung (immediate connstituent analysis). Kesinambung- an antara uraian ceramah Kiyai Abdul Sattar sejalan dengan pendapat pakar prgamatik tersebut. Petuah Kiyai Abdul Sattar dapat di- sarikan bahwa orang yang tidak bisa melihat jauh lebih baik daripada orang yang bisa me- lihat. Dalam masyarakat, sebagian besar orang dianggap normal (tidak buta) menyikapi hidup dengan semena-mena (sembarangan), aturan dilanggar, dan tidak perduli dengan lingkung- annya. Berbeda dengan orang buta, mereka lebih hati-hati, baik dilihat dari aktivitas fisik maupun nonfisik. Ketidaksempurnaan fisik membuat mereka bersikap hati-hati setiap men- jalani hidup.

Penjelasan di atas sesuai dengan bagian dari tuturan (10), yaitu ‘si orang buta men- jawab, oh kamu itu bodoh, saya itu pakai obor di malam hari untuk menyinari kamu karena yang suka nabrak itu cuma kamu, iya kan?’ Kalimat ini juga mengisyaratkan bahwa orang buta berusaha membantu orang yang normal dengan penerangan yang seadanya supaya orang yang dimaksud tidak melakukan ke- salahan yang sama.