• Tidak ada hasil yang ditemukan

agama dan budaya.

Dalam dokumen jurnal No25 Thn14 Des2015 (Halaman 111-113)

relasi kreatif dan positif di antara berbagai tradisi agama dunia (Hindu, Budha, Islam, dan Khonghucu) dan Aliran Kepercayaan untuk menjadikan dunia ini sebagai tempat yang lebih baik bagi semua orang demi transformasi dunia ini.

Kedua aspek (baik pendidikan maupun aspek teologis) dalam pendidikan religius Kristiani ini mengingatkan pada pemahaman gereja-gereja reformasi: Gereja senantiasa perlu diperbarui, karena pembaharuan dapat dilakukan baik dari segi pendidikan maupun dari segi agama. Oleh sebab itu, lebih lanjut dalam buku ini disebutkan dibutuhkan sudut pandang atau perspektif agama lain. Melalui perjumpaan dengan agama lain, kita dapat mengenal lebih baik mengenai siapakah kita. Mempelajari iman agama lain merupakan suatu proses belajar untuk berdialog melintasi batas etnis, suku, agama, budaya, atau adat istiadat yang memisahkan manusia. Dengan semangat ini, kita tidak akan melihat ‘orang lain’ sebagai musuh abadi kita, orang yang tidak diselamatkan dari malapetakan neraka, atau sebagai orang yang menyembah berhala atau kafir, yang harus kita hindari. Kita akan menempatkan mereka sebagai saudara kita yang juga Allah kasihi, dan dari mereka juga kita belajar menemukan gambar Allah.

Buku ini berpendapat, pendidikan Kristiani yang hanya mempertajam pemahaman agama yang eksklusif tidak lagi relevan dalam konteks kemajemukan bangsa Indonesia. Dari sisi agama, pendidikan religius Kristiani harusnya memfokuskan kegiatannya pada masalah sosial-kultural-kontekstual (life issues) dibantu oleh ilmu sosial (antara lain sosiologi dan psikologi), dengan dasar Alkitab dan teologi yang tepat. Oleh sebab itu, pendidikan berawal dan dimulai dari gereja (koinonia). Pelayanan (diakonia) merupakan misi pelayanan gereja untuk melayani Allah, orang lain dan alam semesta demi terwujudnya keadilan, kedamaian, kebebasan serta keutuhan ciptaan. Pelayanan disini mencakup kehidupan sehari-hari dalam pekerjaan, keluarga, hubungan dengan orang yang dijumpai, dan pelayanan gereja. Gereja juga harus mempergunakan pelayanannya dan seluruh keberadaannya di dunia untuk membantu menciptakan struktur sosial, politik,

dan ekonomi yang mampu mempromosikan nilai-nilai kerajaan Allah. Teologi praktis yang kita kembangkan mengenai kemanusiaan tidak lagi dengan gaya indoktrinasi dogma atau sekadar memelihara warisan tradisi dan ritual ‘kulit luar’ yang kaku. Sikap teologi prkatis adalah soal di mana konsep berpikir dan berdialog diarahkan kepada konteks konkret, yang dalam hal ini adalah nilai keagamaan yang menjawab persoalan kemanusiaan dan kemajemukan dan segala kebutuhannya.

Dengan demikian, menurut buku ini dalam menyelenggarakan pendidikan religius Kristiani para pendidik dan fasilitator (pendeta, majelis, guru agama, kepala sekolah, dll) perlu mengembangkan sikap terbuka, toleran dan kritis terhadap ‘apapun yang benar, indah dan baik’ di dalam tradisi agama lain, sebagai kawan seperjalanan dalam mencari misteri kehidupan. Ini menegaskan harapan dan kebutuhan untuk saling menghargai, saling mengormati, dan saling memahami kehidupan, satu sama lain.

Dalam melakukan pendidikan kristen yang

multikultural, buku ini menawarkan Shared Christian Praxis sebagai metode pembelajaran yang diperkenalkan oleh Thomas H. Groome. Shared Christian Praxis merupakan salah satu model pendekatan dalam pendidikan kristiani. Metode ini bukan sekadar sejumlah cara atau teknik mengajar, melainkan sebuah pendekatan dan paradigma dalam mendidik. Shared

Christian Praxismengandung keyakinan bahwa

pengalaman konkret manusia sangan berharga. Pengalaman orang pada masa kini dapat berdialog dengan pengalaman atau cerita Alkitab di masa lalu. Melalui dialog tersebut, kita memahami makna pengalaman konkret hidup manusia melalui sudut pandang Alkitab. Pada saat yang sama, kitapun semakin memahami makna pesan Alkitab dalam terang pengalaman hidup masa kini.

Shared Christian Praxismerupakan sebuah

ilmu pendidikan yang partisipatif dan dialogis. Partisipatif berarti melibatkan setiap orang yang ada di dalamnya, baik pengalaman, pemikiran, maupun refleksi kritis orang tersebut. Dialogis berarti terjadi dialog di dalam kegiatan tersebut baik antar peserta dengan dirinya sendiri, dengan peserta lain, dengan Tuhan maupun antara pengalaman masa kini dan cerita Alkitab.

Setiap orang (fasilitator dan peserta) aktif dalam berdialog dan sebagai mitra yang sejajar. Fasilitator tidak lebih tinggi dari peserta, tidak lebih berkuasa, dan tidak lebih menentukan dalam proses yang sedang dijalani. Dengan demikian, dialog akan tercipta sesuai dengan yang diharapkan. Hasil dialog tersebut, kemudian menjadi praksis baru bagi iman Kristen dalam mewujudkan kerajaan Allah.

Dalam menggunakan Shared Christian Praxissebagai metode pendidikan Kristiani, ada beberapa gerakan yang harus dilakukan. Untuk melakukan gerakan tersebut peserta harus tetap berada di dalam fokus yang telah ditentukan. Peserta diajak memfokuskan diri pada suatu tema yang relevan dan dialami oleh peserta baik di masa lalu maupun pada masa kini, sehingga terjadi praksis masa kini dan dapat melibatkan peserta secara aktif. Diuraikan pula beberapa gerakan dalam Shared Christian Praxis dalam buku ini yaitu, (a)

Gerakan 1 Praksis

masa kini, (b)

Gerakan 2 Refleksi

Kritis terhadap

Praksis Masa Kini, (c) Gerakan 3 Menggali Cerita dan Visi Kristen, (d) Gerakan 4

Dialog Cerita Alkitab dengan Pengalaman Masa Kini, dan (e) Gerakan 5 Komitmen untuk Hidup Sesuai Iman Kristen.

Secara umum penyajian isi buku ini dari bab ke bab cukup baik serta pembahasannya disampaikan dengan jelas. Kelebihan lain dari buku ini adalah menggunakan banyak referensi sehingga memperkaya isinya. Isi buku diuraikan secara aktual dikaitkan dengan masalah sosial di Indonesia (kemajemukan) yang cukup pelik dan berdampak pada konfilik yang membutuh- kan sebuah solusi untuk mengatasinya yaitu pendidikan Kristiani Multikultural dengan pendekatan Shared Christian Praxi.

Shared Christian Praxis merupakan suatu upaya untuk mengubah paradigma pembel- ajaran di sekolah/di gereja dari yang sifatnya tradisional, yang hanya menekankan otoritas dan dominasi seorang pengajar, ke model yang lebih memberi ruang bagi kebebasan berpikir dan berdialog bagi para nara didik. Mengutip

pendapat Harris (1989), mengajar tidak hanya dipahami sebagai sebuah proses inisiasi dan upaya untuk meneruskan tradisi ke generasi berikutnya; mengajar juga bukan hanya sebuah upaya untuk mengaplikasikan teks Alkitab; mengajar adalah sebuah upaya reinterpretasi, mempertanyakan, menganalisis dan bahkan menolak apa yang tidak sesuai.

Buku ini juga akan sangat menolong para pendidik dan naradidik untuk lebih peka terhadap situasi sosial di sekelilingnya dan secara aktif membuat respons kritis terhadap situasi yang dihadapi. Singkatnya, dengan pendekatan ini akan mengasilkan peserta didik yang berpikir kritis dan mengutamakan dialog. Terlepas bahwa isi buku ini menarik tetapi tidak ada metode pendidikan yang sempurna, yang dapat diterapkan di dalam berbagai konteks. Semua metode pasti memiliki kekuatan dan kelemahan, begitupun dengan Share Christian Praxis. Metode ini membuka ruang yang luas bagi peserta untuk berpar- tisipasi serta kegiatan tidak didominasi oleh fasilitator saja, melainkan setiap orang dapat dapat berbagi pengalaman dan pemahaman.

Akan tetapi, dalam pelaksanaannya agak sulit memunculkan partisipasi seseorang dalam kegiatan, apabila budaya jemaat/peserta didik terbiasa pasif. Banyak orang terbiasa datang hanya untuk beribadah/bersekolah, mendengar Firman Tuhan/pelajaran, lalu pulang. Jadi, agak sulit membuat peserta aktif, karena peserta kurang pengetahuan dan pengalaman atau karena tidak terbiasa berbicara di depan umum. Di sinilah pentingnya peran seorang fasilitator untuk membuat suasana kelas menjadi lebih hidup dan menjadikan proses pembelajaran menjadi menyenangkan.

Untuk melengkapi buku ini sehingga menjadi signifikan dalam konteks di BPK PENABUR, perlu juga membaca karangka berpikir yang disampaikan oleh James A. Banks. Banks (2002: 14 – 17)) mengidentifikasi lima dimensi pendidikan multikultural (berbasis di sekolah). Pertama, content integration (integrasi isi/

Mengajar adalah sebuah upaya

reinterpretasi, mempertanyakan,

Dalam dokumen jurnal No25 Thn14 Des2015 (Halaman 111-113)