• Tidak ada hasil yang ditemukan

kegiatan sosial adalah model penerimaan.

Dalam dokumen jurnal No25 Thn14 Des2015 (Halaman 95-97)

diterapkan bahwa kita tidak bisa benar-benar mengasihi sesama kecuali jika menerima ke-

liyan-annya (Knitter, 2008: 285). Menerima ke-

liyan-annya berarti juga menerima diversitas. Allah menyukainya. Gagasan tersebut bisa disanggah dengan pernyataan Ia menyukai persekutuan. Namun, Ia tidak menghancurkan diversitas. Penghargaan pada diversitas harus senantiasa kita pegang. Kita memang bisa berpegang pada pemikiran keunikan Yesus Kristus memang tidak bisa disangkal tetapi Yesus bukanlah final dan satu-satunya pernyataan Allah. Sebab, setiap pernyataan Allah adalah unik. Hal tersebut sebagaimana juga terdapat dalam mitos Trikaya dari Buddha Mahayana yang mempercayai bahwa Buddha Gautama didewakan dan dikatakan mempu- nyai tubuh kemuliaan (Sambhoga-kaya) yang hadir bagi mereka yang percaya kepadanya. Kita bisa saja melihat Yesus Kristus sebagai sentral sekaligus merupakan pernyataan yang unik dari Allah bagi umat-Nya tetapi hal ini bukan satu- satunya pernyataan Allah dan bukanlah final.

Knitter menunjukkan berbagai model teologi agama yang telah dibahas rupanya telah begitu menekankan pada partikularitas satu agama sehingga validitas agama lainnya hancur (Knitter, 2008: 205). Kondisi tersebut menunjuk pada model penggantian dan pemenuhan. Di sisi lain, Knitter juga melihat penekanan validitas universal dari semua agama sehingga menutupi perbedaan partikularitas juga terasa kurang baik. Kondisi tersebut menunjuk pada model mutualitas (Knitter, 2008: 205). Beracuan pada dua pertimbangan tersebut, model teologi agama yang relevan dalam konteks pluralistik yaitu model penerimaan. Hal ini mengingat pertimbangan model ini telah memberikan sumbangsih yang baik dalam penyeimbangan. Hal tersebut ditandai dengan tidak menjunjung tinggi superioritas dalam semua agama dan tidak juga dengan mencari sesuatu yang sama dengan mengatakan semua valid melainkan ada sikap penerimaan diversitas yang nyata dalam semua agama. Sebab, segala hal yang berbeda memang bisa dihubungkan, digabung, dan disatukan dalam hubungan persekutuan tetapi bagaimanapun diversitas itu tidak bisa hilang (Knitter, 2008: 207). Deskripsi inilah yang mendorong penulis dengan tangkas dan tepat

memilih model ini sebagai pegangan dan pilihan dalam membangun kehidupan kebersamaan dengan menyeimbangkan komitmen dan keterbukaan.

Selain itu, Yesus sendiri sudah memberikan teladan dalam menyikapi pluralistik sebagai landasan berteologi agama melalui sikap-Nya pada perempuan Samaria (Yoh. 4: 1-42).Bahkan, Yesus menunjuk perumpamaan orang Samaria yang baik hati sebagai dasar menjelaskan siapakah sesamaku. Sikap inilah yang kemudian diteladani Petrus dan Paulus dalam menyikapi diversitas. Petrus telah membuka diri dan toleran kepada orang kafir atau bangsa Yahudi yang sebelumnya tidak terbayangkan untuk dijangkau (Kis. 10) (Siburian, 2004: 119).Paulus menjadi alat Tuhan dalam pengambilan keputusan revolusioner tentang orang non- Yahudi (atau menerima orang yang tidak bersunat). Ia juga berperan sebagai pembicara utama dalam menjelaskan konflik ini. Keteladanan dalam Alkitab dapat dipegang sebagai landasan dalam mengembangkan model ini di mana ada sikap penerimaan terhadap mereka yang berbeda tanpa menguni- versalkan segala sesuatu. Model penerimaan sebagaimana yang sudah dipilih harus diimplikasikan dalam kehidupan pluralistik sehingga tidak hanya berhenti dalam tataran diskursus semata melainkan dihidupi dalam berelasi. Hal ini bisa digambarkan dalam tiga tahapan yakni: (1) keluar dari tembok, (2) menye- lami semua agama guna mencari nilai dan mak- na terdalam, (3) kembali ke keyakinan semula.

Keluar dari tembok dapat dilakukan dengan dasar pemahaman keuniversalan Allah dan anugerah penyingkapan diri dalam segala realitas yang tidak hanya tercakup dalam satu agama saja. keseluruhan realita dapat dilihat sebagai penciptaan Allah, rekonsiliasi, dan karya Allah dalam berbagai kondisi yang merambah berbagai proses natural (alam) dan seluruh aktifitas manusia (D’Costa, 1990: 38). Pemahaman tersebut dapat dilanjutkan dengan berbagai sikap yang mendorong kita melihat pewahyuan Allah dalam agama yang berbeda sembari mencari nilai dan makna terdalam. Nilai dan makna yang mendorong pemeluk agama menjalani hidup ini dengan teguh dalam berbagai tantangan yang kian menghadang.

Tindakan penyelaman tersebut diharapkan tidak semakin membuat orang tersebut goyah dalam menjalani identitas religiusnya mula- mula. Mereka diajak kembali lagi ke keyakinan semula. Dengan demikian, mereka dapat menjadi semakin kaya dalam memaknai iman mereka yang tidak terkotak pada ajarannya yang dapat melanggengkan sifat eksklusif tanpa mencoba melihat diversitas dalam agama lain.

Selain itu, sikap penerimaan pada diversitas dapat dikemas pada sikap hospitalitas. Sikap ini memang jarang diterapkan. Orang cenderung terlalu memegang kokoh identitas religiusnya. Identitas religius merupakan produk sosial melalui imajinasi atau memori pengalaman komunal, praktik dan doktrin komunal, dan struktur dan insti-

tusi (Sumartana, 2002: 12). Hospita- litas tercermin keti- ka orang yang ber- agama lain datang

bersama dalam

percakapan meja makan dan dinding eksklusif dapat dihancurkan dan

pemahaman ritual diperluas dengan menjang- kau banyak orang, dan terlebih sarana publik dapat menampung transformasi mutual (Young, 2008: 134). Transformasi mutual diharapkan mengarah pada sikap penerimaan diversitas bukan malah mencari siapa yang paling benar di antara agama-agama yang ada. Transformasi mutual melalui hospitalitas dapat menghantar komunikasi dengan menjembatani jurang ketidaktahuan dan kesalahpahaman timbal balik antara budaya dunia yang berbeda, membiarkan mereka berbicara dan mengung- kapkan pandangan mereka dalam bahasa mere- ka sendiri (Panikkar, 1994: 33). Gagasan ini mun- cul karena adanya pemahaman bahwa perbe- daan muncul akibat setiap agama mempunyai konteks sendiri-sendiri sehingga kesadaran ini seharusnya ada dalam tiap individu.

Komunikasi dapat terjalin jika ada proses dialog. Penerimaan dapat terlihat dalam proses dialog yang dimaknai sebuah usaha mencari ruang pijak bersama atau anggapan bahwa agama yang satu dengan yang lainnya bersifat

saling melengkapi artinya melalui dialog dengan perspektif evangelisasi sangat mengandaikan bahwa umat Kristen dapat memberi kontribusi positif kepada pihak lain dan budaya mereka dalam hal ini selain umat Kristen, tanpa harus mengkristenkan mereka (Wijayatsih, 2010: 448). Namun, hal ini bukan berarti menyuburkan pandangan bahwa semua agama sama lalu muncul sikap universalitas melainkan sikap partikularitas tetap muncul sehingga penghargaan pada diversitas tetap ada.

Apakah mungkin jemaat yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang pluralis mampu membangun wacana dialog serta keterbukaan yang penuh semangat toleransi ketika klaim kebenaran dari suatu kalangan keagamaan tertentu masih domi- nan dan klaim kebe- naran tersebut kemu- dian digulirkan dalam bentuk kekerasan yang memvonis pihak lain yang dipandang-

nya salah atau

bahkan sesat? Jawa- bannya tidak mung- kin, sebab banyak orang yang memiliki identitas yang tertutup artinya ia tidak menerima bahkan mencoba melihat kebenaran yang lain yang bisa saja muncul dalam konteks Indonesia yang pluralis ini. Sebab dalam situasi saat ini, identitas yang dibutuhkan adalah keterbukaan. Hal ini bermakna bukan berarti kehilangan identitas dalam dirinya melainkan sadar akan keterbatasan diri lalu bergerak dan berkem-bang lalu masuk dalam proses yang selalu memperba- harui diri sembari memeriksa diri se-hingga dalam perkembangan inilah seseorang tetap pada identitas yang sama (Gema, 1994: 7). Tom Driver mengingatkan kebutuhan kesiapan dalam terbuka bagi pembaharuan (transformasi) pemahaman setelah berjumpa dengan kenyataan lain. Kesiapan akan keterbukaan tersebut juga sampai pada pemahaman baru tentang kebenaran yang mungkin saja bisa bertentangan dengan pemahaman yang ada sebelumnya (Gema, 2003: 105).

Sikap penerimaan harus senantiasa ada dalam setiap sikap kita dalam membangun

Transformasi mutual diharapkan

mengarah pada sikap penerimaan

Dalam dokumen jurnal No25 Thn14 Des2015 (Halaman 95-97)