• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Kristiani dalam Perenungan Identitas Dir

Dalam dokumen jurnal No25 Thn14 Des2015 (Halaman 89-91)

Paulus Eko Kristianto

Email: paulusekokristianto@gmail.com Kerohanian dan Karakter BPK PENABUR Jakarta

K

Abstrak

emajemukan merupakan sebuah keniscayaan yang kalau tidak diolah dengan baik dapat membuat konflik karena tidak adanya keterbukaan dalam memahami identitas diri dan keberadaan Sang Lain. Masalahnya ialah bagaimana mewujudkan keterbukaan demikian. Pendidikan Kristiani merupakan suatu percakapan untuk kehidupan dan suatu pencarian menggunakan sumber iman dan tradisi budaya untuk bergerak ke arah masa depan yang terbuka terhadap keadilan dan pengharapan. Tulisan ini mencoba membahas serta mengembangkan pendidikan Kristiani melalui kajian bingkai pendidikan Kristiani dengan pendekatan hospitalitas. Hospitalitas diharapkan mampu melahirkan budaya terbuka dalam berjumpa dengan Sang Lain dalam kehidupan sehari-hari, khususnya gerakan oikumene dan percakapan antariman. Pemikiran tersebut dilandasi oleh pemikiran teologi agama komprehensif terlebih dahulu melalui Paul F. Knitter dalam konteks pluralistik di Indonesia dengan pertimbangan yang akuntabel. Dengan demikian, pendidikan Kristiani dapat menjadi sarana mempromosikan perenungan identitas diri dan Sang Lain bagi keterbukaan menghapus konflik.

Kata-kata kunci: pendidikan Kristiani, teologi agama, identitas diri, Sang Lain, dialog

Christian Education in Self-Identity Reflection Abstract

Pluralism is a phenomenon that could create a social conflict if it is not managed properly and due to absence of the transparancy to understand self identity and The Other. The problem is how present the transparancy. Christian education is the conversation for life and the search using the resources of faith and cultural traditions to move to the future open for justice and hope. This article discusses and develops Christian education through a study under the frame of hospitality approach. Hospitality is expected to be able to create open culture to face The Other in the daily life, particularly ecumenical movement and inter-faith dialog. This idea is based on the idea of comprehensive theology of religions in advance by Paul F. Knitter in a pluralistic context in Indonesia with accountable consideration. Thus , Christian education can function as a means to promote self-identity reflection and The Other for the transparency to remove the conflict.

Pendahuluan

Mengapa manusia begitu tega membantai sesamanya demi ideologi dan ajaran tertentu? Di manakah rasa kemanusiaannya? Apa sebetulnya yang dilihat para algojo dalam diri para korbannya? Ancaman? Musuh? Sesuatu yang harus disingkirkan dan dibasmi? Tidakkah, mereka sadar bahwa orang-orang yang mereka bantai merupakan manusia yang juga sama seperti mereka? Pertanyaan reflektif demikian memang tidak mudah dijawab. Sebab dalam kenyataannya, para korban konflik cenderung dilihat sebagai pihak yang lain (other) dari para pelakunya, sebagai yang bukan manusia, atau lebih rendah dari pada manusia, misalnya sebagai kecoa dalam genosida Rwanda dan babi dalam peristiwa Holocaust. Emmanuel Levinas mencoba mendekati refleksi tersebut dengan kacamata fenomenologi dengan menempatkan dirinya sebagai orang pertama (Aku atau the I) yang berhadapan dengan segala fenomena dan pengada yang ada di sekelilingnya yang bersifat lain (the other). Secara

sadar, Levinas menyatakan bahwa berbagai fenomena di luar dirinya tidak bisa diperlakukan secara sama. Perlakuan ditentu-kan oleh cara pandang kita terhadap mereka dan apa yang kita perlukan. Perbedaan cara pandang menggerak- kan kita melihat wajah (the face atau le visage). Bagi Levinas, wajah tidak berbicara banalitas persoalan harian (fisik) melainkan keseluruhan keberadaan orang lain dalam menampakkan (identitas) diri yang jelas berbeda dan unik. Sayangnya, pertemuan wajah ini tidak selalu membuahkan kondisi damai, salah satunya dalam konteks keberagaman agama (iman).

Keberagaman agama merupakan salah satu konteks Indonesia yang tidak bisa terelak- kan. Kenyataan ini tak jarang menimbulkan berbagai konflik antaragama. Konflik yang menguras energi seluruh pemeluk agama di Indonesia. Pada tahun 1996, ada banyak perusakan dan pembakaran gedung gereja di Indonesia, baik dalam skala kecil hingga besar yang dimulai dari Situbondo Jawa Timur hingga merembet ke Jawa Barat dan tempat lain di Indonesia. Bom juga menyelimuti fenomena

tersebut khususnya saat natal pada tahun 2000. Kerusuhan demi kerusuhan juga terus terjadi yang berujung pada konflik. Konflik Poso Sulawesi Tengah terjadi sepanjang tahun 1998- 2000 dengan tiga jangka waktu yaitu kerusuhan pertama sepanjang 25-29 Desember 1998, kerusuhan ke dua sepanjang 17-21 April 2000, dan kerusuhan ke tiga sepanjang 16 Mei-15 Juni 2000. Konflik tersebut kemudian disusul oleh Konflik Ambon dan Maluku terjadi mulai awal tahun 1999 dan percikan-percikannya masih terasa hingga saat ini. Pada awal tahun 2011, konflik internal dalam agama Islam juga ber- munculan. Pelarangan Ahmadiyah dan kekerasan fisik terhadap beberapa pengikut Ahmadiyah di Cikeusik Jawa Barat. Kemudian, perusakan terhadap tiga gedung gereja di Temanggung tanggal 8 Februari 2011 juga ikut mewarnai hiruk pikuk hubungan antar agama. Mengapa bisa terjadi demikian? Berpijak pada kasus di atas, penulis merumuskan masalah yakni bagaimana model pendidikan Kristiani yang relevan bagi perenungan identitas diri dan sang lain? Melalui penelitian dengan penulisan pola deskripsi analitis mengenai pengajian model demikian, langkah ini diharapkan bisa memberikan sumbangsih bagi perwujudan keterbukaan, khususnya bagi menghindari konflik, bagi perenungan identitas diri dan sang lain. Sebagai langkah awal, penulis mencoba mendasari pemikiran pada Scott Appleby yang mengatakan bahwa agama dapat menjadi sumber konflik dan sumber perdamaian (Appleby, 2000: 45). Gagasan tersebut dilandasi dengan adanya kajian empiris terhadap beragam konflik antaragama di dunia. Appleby melihat bahwa salah satu penyebab dari adanya konflik tersebut melalui pemimpin agama dan tipe pendidikan agama yang memberikan masukan negatif dalam konflik antaragama apabila nuansa yang disajikan terkesan eksklusif. Gagasan ini tidak cukup dan ada satu komponen lain yang mendukung munculnya konflik antaragama yaitu model teologi agama yang kurang tepat. Kita perlu memilih model teologi agama yang dapat meminimalisasi terjadinya konflik serta membangun keseimbangan antara komitmen dan keterbukaan.

Kalau sudah demikian, bagaimana kita meresponnya? Respon tersebut dapat dilakukan melalui bingkai pendidikan Kristiani. Pendidikan Kristiani kerap dihayati sebagai pusat pengajaran (pendidikan) moral, agama, dan nilai. Masalahnya apakah hal yang diajarkan tadi bersifat tertutup (eksklusif) atau sudah terbuka (inklusif, bahkan pluralis)? Dalam konteks demikian, pendidikan Kristiani tradisional sering dilakukan di gereja dan sekolah melalui pola pendekatan instruksional secara kaku dan terarah. Artinya, pemimpin cenderung menyajikannya dalam bentuk khotbah, renungan, atau ceramah dengan bingkai Alkitab menuju relevansi. Maka, perikop itu dijelaskan dengan menunjukkan apa artinya pada zaman penulisannya lalu diikuti dengan apa relevansinya bagi masa kini. Kalau demikian, jelas saja bila muatan yang disajikan cenderung eksklusif, tetapi tidak menutup kemungkinan inklusif dan pluralis walau kadarnya sangat minim. Masalahnya, apakah hal ini dibiarkan begitu saja? Tidak. Jack Seymour menghayati pendidikan Kristiani sebagai suatu percakapan untuk kehidupan, suatu pencarian untuk menggunakan sumber-sumber iman dan tradisi budaya, untuk bergerak ke arah masa depan yang terbuka terhadap keadilan dan pengharapan (Seymour 1997: 18). Dengan demikian, tidak ada alasan lagi pendidikan Kristiani memuat konten eksklusif. Sejalan dengan itu, dapat dikembangkan melalui bingkai pendidikan Kristiani dengan pendekatan hospitalitas. Hospitalitas diharapkan mampu melahirkan budaya terbuka dalam berjumpa dengan sang Lain dalam kehidupan harian, khususnya gerakan oikumene dan percakapan antar iman. Walaupun, keterbatasan pola hospitalitas terletak pada pertanyaan siapa host

dan siapa tamu (guest atau the other)? apabila diletakkan dalam kondisi diskriminasi. Oleh karena itu, Septemmy Lakawa menuangkannya dengan istilah “risk hospitality”.

Pendidikan Moral, Pengajaran

Dalam dokumen jurnal No25 Thn14 Des2015 (Halaman 89-91)