• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bingkai Pendidikan Kristiani Menjalin Relasi antara Identitas Diri dan Sang Lain

Dalam dokumen jurnal No25 Thn14 Des2015 (Halaman 99-102)

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menugasi Biro Litkom-PGI melakukan penelitian khusus mengenai potret dan tantangan gerakan oikumene di Indonesia selama tahun 2013 dengan menggunakan sampel penelitian sesuai Tabel 1 (PGI, 2015: 32-33). Berdasarkan sampel tersebut, penelitian menunjukkan bahwa hubungan dan kerja sama dengan agama atau kepercayaan lain dinyatakan dalam Tabel 2 (PGI, 2015: 61).

Berdasarkan penelitian tersebut, kita dapat melihat bahwa sikap positif mulai muncul dari berbagai gereja dalam membangun hubungan dengan agama lain. Hal ini dinyatakan melalui kesadaran gereja untuk ikut memperkuat

hubungan sosial dalam masyarakat yang beraneka ragam. PGI melihat kesadaran ini muncul disebabkan oleh adanya kepentingan demi kebaikan bersama atau/ dan kepentingan mencari aman diri sendiri. Sebab, respon gereja mulai dipertanyakan kala gereja harus berhadapan dengan konteks penolakan, penutupan, dan bahkan perusakan gereja yang marak terjadi di berbagai tempat akhir-akhir ini (PGI, 2015: 61). Di balik motivasi kepentingan yang ada, kita harus tetap memberikan apresiasi terhadap data yang ada mengenai 41% upaya kerja sama rutin dengan agama lain yang dilakukan dalam tingkat jemaat setempat (91%), sinode (86%), maupun klasis/ resort/ mupel/ distrik (64%). Walaupun, kita tetap memahami bahwa praktik tersebut bersifat insidental (59%). Hubungan gereja dengan agama lain tidak hanya dinyatakan dalam sikap positif saja melainkan kesadaran teologis turut hadir. Hal ini dinyatakan dalam 57% sinode yang mengubah, memperbarui, atau sebaliknya menambahkan dokumen-dokumen gerejawi mulai dari katekisasi, tata gereja, sampai liturgi

Tabel 1: Penelitian Mengenai Potret dan Tantangan Gerakan Oikomene di Indonesia Selama Tahun 2013 Wilayah Sinode Jumlah N Keterangan

Sumatera

ONKP, GBKP, GKPM, GMI, GKSBS, BNKP, HKBP

7 5 BNKP tidak jadi dimasukkan,

sementara peneliti di sinode HKBP tidak memasukkan laporan

Jawa GKJ, GKI, GBI, GPIB,

GKJW, GKJTU, GIA, GPPS, GKII, GKO, GKP

11 9 Peneliti di sinode GKP tidak

memasukkan laporan, sementara GKO diusulkan tidak jadi dimasukkan sampel Bali dan Nusa

Tenggara

GKPB, GKS, GMIT 3 3

Kalimantan GKE, GKPI 2 2

Sulawesi GT, GTM, KGPM,

GEPSULTRA, GMIM, GKST

6 4 Peneliti di sinode GMIM dan GKST

gagal menemui pihak sinode sehingga membatalkannya.

Maluku GPM, GMIH 2 2

Papua GKI di Tanah Papua 1 1

maupun pandangan tentang misi gereja dalam mengembangkan dunia pluralisme. Walau demikian, kecenderungan sebagaimana yang digambarkan di atas dapat dilihat adanya kesadaran mendorong dan mengembangkan teologi yang pluralitas sehingga kerja sama antaragama dapat semakin ditingkatkan lebih lagi, jadi tidak hanya muncul melalui sikap positif dan kesadaran teologis.

Melalui penelitian di atas, pendidikan Kristiani setidaknya sudah mulai dilakukan dengan keterbukaan dengan Sang Lain walau- pun praktiknya harus tetap dikembangkan lebih lagi. Sebab, orientasi utama pendidikan Kristiani menunjuk pada terselenggaranya Kerajaan Allah yang luas bagi kehidupan kekinian dan masa depan dalam diri Yesus Kristus. Dalam konteks Pendidikan Kristiani, Thomas Groome

Tabel 2: Hubungan dan Kerja Sama dengan Agama atau Kepercayaan Lain

Indikator %

Kerja sama dnegan agama atau

kepercayaan lain 85

Bila kerja sama, frekuensi kegiatannya:

Rutin Insidental

41 51 Kegiatan dilakukan di tingkat:

Sinode

Klasis/ Mupel/ Distrik, dll Gereja/ jemaat setempat

Lainnya (Banjar, Masyarakat, Tingkat Simpul)

86 64 91 19

Mengubah materi dokumen gereja dalam pejumpaan dengan agama atau kepercayaan lain

57

Menerima pernikahan pasangan Kristen dan Non Kristen? (termasuk Katolik)

75*

Memberkati pernikahan pasangan beda agama

39**

Catatan:

* 2 sinode tidak menjawab **1 sinode tidak menjawab

menyodorkan makna Kerajaan Allah dalam dua belas butir (Groome, 2010: 69-72). Seluruh butir tersebut dimaknai Kerajaan Allah memang tidak pernah bisa dijelaskan secara lengkap (tensive symbol) sehingga harus senantiasa diingat dan maknanya unik bagi setiap orang yang ditegaskan dan diafirmasi. Dalam praktiknya, Kerajaan Allah dilakukan dengan mempertim- bangkan implikasi dalam kehidupan pribadi, gereja, dan masyarakat. Kerajaan Allah dalam kehidupan pribadi dimaknai dengan merasuk- nya Kerajaan Allah yang harus selalu mulai di hati para anggotanya yang membuahkan pertobatan. Pertobatan harus nampak dalam realitas sosial dengan berbaliknya manusia secara konstan ke arah Allah dan sesama manusia secara positif sebagaimana yang Yesus Kristus sudah lakukan sebagai teladan yang baik dan benar. Sedangkan kehidupan gereja dinyatakan Thomas Groome melalui pemaha- man bahwa gereja menjadi komunitas orang yang mengaku Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat yang mengesahkan iman itu melalui baptisan dan mewujudkan Kerajaan Allah sebagaimana yang diberitakan oleh Yesus Kristus dengan memberitakan dalam perkataan, merayakan dalam sakramen, dan menghidup- kan dalam perbuatan Kerajaan yang telah ada dan Kerajaan yang dijanjikan (Groome, 2010: 65). Pernyataan ini lebih merupakan sebuah deskripsi mengenai menjadi apa gereja seharusnya daripada apa yang ada pada saat ini. Ketika gereja sedang berusaha keras dengan setia terhadap Kerajaan maka gereja sudah memiliki tiga misi yang dilakukan terkait

kerugma, koinonia, dan diakonia. Kerugma merupakan misi memberitakan dalam perkataan dan merayakan dalam sakramen berita dan peringatan mengenai Kristus yang dibangkitkan, yang di dalam-Nya keselamatan berada. Sedangkan Koinonia merupakan tugas menjadi komunitas persekutuan yang otentik, komunitas iman, pengharapan, dan kasih. Kemudian, diakonia merupakan upaya memanggil gereja pada misi pelayanan. Gereja harus menjadi komunitas yang membuat Kerajaan hadir sekarang dan mempersiapkan bahan bagi kesempurnaannya yang terakhir dengan melayani seluruh manusia dengan penuh kasih. Bercermin pada narasi demikian, pPendidikan

Kristiani dengan pendekatan hospitalitas menjadi urgensi dalam mempraktikkan ini.

Amos Yong mengindikasikan hospitalitas sebagai kepelbagaian bahasa dan praktik dari Roh Allah merupakan cara Allah melalui hospitalitas ilahi diperluas melalui gereja kepada dunia, termasuk dunia kepelbagaian agama, dan melalui interaksi hospitalitas tersebut gereja juga mengalami karya pembebasan Allah yang menandakan Kerajaan Allah yang akan dating (Yong, 2008: 100). Hospitalitas demikian kita berikan pada sesama tanpa mengandung sikap saling berbalas, merasa kasihan pada kekurangan yang dimiliki orang lain, melainkan berdasarkan hospitalitas Allah yang terbuka bagi umat tanpa pandang bulu dan latar belakang. Hal ini menjadi penting apabila dilakukan dalam rangka konflik dan pasca konflik. Dalam praktiknya, umat Kristiani tidak selalu menjadi tuan rumah (host) melainkan dimungkinkan menjadi tamu. Dengan demikian, tindakan hospitalitas akan membawa transfor- masi pada kedua belah pihak dengan identitas masing-masing. Sebab, Yong mengatakan bahwa hospitalitas bisa berhubungan dengan praktik percakapan iman melalui tiga stasi yakni bagaimana menunjukkan misi Kristen yang holistis, berupaya mewujudkan perdamaian dan keadilan dalam kerangka Kerajaan Allah, bagaimana ikutr serta di dalam dialog antar agama dalam dunia pluralitas (Yong, 2008: 129). Pendidikan Kristiani melihat inilah bagian terpenting di kala kita berdialog teologis dengan intra-Kristiani dan antaragama. Konsep pendidikan Kristiani hospitalitas apa yang dapat meningkatkan keterbukaan tanpa membahaya- kan komitmen? Pertanyaan dasar ini mencegah adanya sikap di mana ketika berdialog maka komitmen kita juga akan luntur. Dalam hal ini, perlu dilihat paradigma etika global dari Amalodoss yang mengingatkan kita bahwa umat beragama yang melakukan dialog etis- praktis harus bersedia mengalami tangan mereka kotor (Knitter, 2008: 166). Ungkapan ini bermakna dialog antaragama harus diturunkan dari tingkat para ahli ke tingkat orang kebanyakan dalam arti orang miskin yang sedang bergumul untuk memperoleh pembebasan dan pemenuhan kebutuhan hidup. Dialog ini lebih bersifat simbol, sikap, dan

perbuatan. Dialog ini membutuhkan bukan hanya sebuah analisis suatu masalah atau bentuk penderitaan yang sedang dihadapi tetapi juga menentukan apa yang dapat diajarkan atau diberikan agama sehingga masalah yang dihadapi dapat menjadi jelas atau diselesaikan (Knitter, 2008: 166).

Etika tersebut menggiring pada substitusi pola pemahaman agamaku merupakan penyem- purnaan agamamu di mana pandangan tentang yang Ilahi-ku lebih hebat dari pada yang kamu miliki bahwa Juru S’lamat-ku lebih besar dari milikmu. Bahkan, solusiku terhadap masalah yang ada lebih efektif ketimbang solusi agamamu. Pola tersebut diganti menjadi pola pemahaman bagaimana masyarakat dapat dibantu, diberi makan, diberi pendidikan, dan diberi obat-obatan di mana kekerasan dan perang dapat dihindari dan lingkungan dapat diselamatkan dan dilindungi. Dengan demikian, konsep yang muncul adalah kebenaran atau Allah atau Juru S’lamat apapun atau siapapun bisa menyelesaikan semua masalah ini, biarlah kita bersama mendengarkan dan belajar terhadapnya.

Amaladoss menggugah kita bahwa justru di dalam saling berbagi pengalaman iman di antara mereka yang telah berjuang bersama menegakkan keadilan dan kesejahteraan, mereka akan menemukan bahwa mereka kini memiliki telinga baru untuk mendengarkan apa kata teman agama lain. Ada semacam ikatan pribadi dalam keterhubungan (baca: ikatan mistik) yang terbentuk karena tindakan etis bersama menjadi saluran yang memungkinkan adanya saling berbagi keyakinan agama dua arah bisa lebih lancar dan efektif. Bentuk konkrit dalam sikap ini yakni terbentuknya komunitas dasar manusia di mana mereka belajar mendengarkan Firman Tuhan melalui telinga orang miskin sehingga mereka mampu mendengar sesuatu yang sebelumnya sama sekali belum pernah mereka dengar dan kemudian memahami diri mereka sendiri secara baru sebagai komunitas agama (Knitter, 2008: 169). Komunitas baru diharapkan dapat terjadi saling berbagi kepeduliaan dan kerja sama manusiawi dan taman di mana pemahaman agama dan pembelajaran agama yang lebih mendalam bisa bertumbuh. Sebenarnya bukan menjadi hal yang

sulit bagi umat Kristiani. Jika memahami inti berita Yesus, yaitu Kerajaan Allah. Kerajaan yang memanggil dan memberdayakan manusia untuk saling peduli dan memelihara ciptaan. Melalui ini, seharusnya semua merasa berkewajiban untuk bekerja sama dengan siapa saja yang komitmen dalam kepedulian terhadap komunitas manusia bumi dalam memerangi segala macam penderitaan dan ketidakadilan. Namun yang kenyataannya, banyak umat Kristiani yang tidak memahami hal tersebut. Berdasarkan penelitian terhadap teologi agama- agama yang dilakukan di gereja, seringkali lebih banyak gereja yang tidak mau terbuka terhadap kebenaran yang ada di agama lain. Orang yang terbuka terhadap agama lain malah dianggap orang yang beriman secara buta.

Patut diapresiasi Keuskupan Semarang yang membuat ada-

nya kurikulum pen- didikan religiositas.

Kurikulum ini

sangat baik untuk menamkan sikap pluralis sejak dini, melalui pendidikan

ini seseorang dapat saling memahami agama lain sehingga mampu menciptakan dialog yang bertanggung jawab, dimana bersama dengan umat beragama lain dapat bertindak dan bekerja bersama-sama untuk menyelamatkan bumi ini dari penderitaannya. Namun jarang sekali sekolah yang menggunakan kurikulum ini. Kurikulum ini ditolak banyak sekolah karena dianggap menyimpang dari Kehendak Yesus yang memberitakan Firman Allah di dunia ini. Hal ini berarti masih banyak jemaat yang memiliki teologi yang tertutup dan keliru dalam memahami inti berita Yesus. Lalu bagaimana bangsa ini mau damai? Seperti yang dikatakan oleh Knitter bahwa “Tidak ada damai di antara bangsa-bangsa kecuali ada damai dan kerja

Dalam dokumen jurnal No25 Thn14 Des2015 (Halaman 99-102)