• Tidak ada hasil yang ditemukan

ingin untuk saling menguasai antara satu dengan yang lain.

Dalam dokumen jurnal No25 Thn14 Des2015 (Halaman 92-95)

sendiri. Dialog bukan dijadikan sebagai sarana untuk memperbaiki hubunga, tetapi sebaliknya membuat masing-masing agama saling melihat kekurangan yang ada dalam agama yang lain.

Dialog bukan sekedar usaha untuk menyelesaikan konflik yang ada, melainkan usaha untuk membangun suatu masyarakat yang saling bergaul, suatu masyarakat penuh kasih dan bernalar melintasi berbagai kalangan ras, etnis dan agama; umat belajar memahami perbedaan-perbedaan yang ada bukan sebagai ancaman, melainkan sebagi sesuatu yang wajar dan normal. Dengan demikian, dialog adalah suatu usaha untuk membantu umat dalam memahami dan menerima yang lain dalam keberlainan mereka. Dialog diharapkan membuat orang-orang merasa nyaman berada di rumah dengan kemajemukan, membangun rasa saling menghargai dalam keanekaragaman, dan mengusahakan agar berbagai hubungan itu dapat mempersatukan mereka saat seluruh umat terancam oleh kekuatan-kekuatan yang memisahkan dan anarkis (Ariarajah, 2008: 14). Dialog yang hakiki bukan semata-mata suatu pekerjaan akademis, melainkan meliputi seluruh manusia, termasuk spiritualitas atau kehidupan rohaninya. Dialog membawa kepada suatu perjumpaan di mana pihak yang lain tidak dapat dipandang sebagai objek penelitian saja, tetapi sebagai subjek yang berbicara dan hidup dari pusat imannya sendiri. Melalui dialog, terdapat kesadaran bahwa tidak layak berbicara mengenai mereka, tetapi harus berbicara dengan mereka. Dialog antar umat yang berbeda agama ini, harus juga disadari sebagi sebuh bentuk pertolongan untuk membangun dialog dalam agama itu sendiri, dalam hal ini dialog yang dibangun antar agama Kristen yang memiliki banyak aliran atau denominasi (Schumann, 2008: 352-352). Masalahnya dialog belum tentu berjalan mulus karena adanya banyak keraguan antar personal atau kelompok.

S. Wesley Ariarajah memetakan lima hal yang dapat dijadikan sebagai alasan mengapa orang Kristen segan atau memiliki keraguan berbakti atau berdoa bersama tradisi iman yang lain (Ariarajah, 2008: 29-33). Kelima alasan keraguan itu berkenaan dengan alasan teologis,

alkitabiah, liturgis, kultural dan psikologis. Berikut deskripsi singkatnya;

1. Alasan Teologis. Orang Kristen Protestan

segan berbakti dengan orang yang beragama lain disebabkan karena adanya penilaian negatif terhadap berbagai tradisi agama lain sebagai usaha manusia menemukan Allah. Tradisi lainnya tidak didasarkan atas penyataan diri Allah, dan karena itu dianggap sebagai ungkapan dosa manusia dan berpusat pada diri sendiri. menurut kalangan Kristen tertentu, kehidupan peribadatan agama-agama ini tidak valid, tidak tertuju pada Allah yang sejati, takhayul; dan doa-doa mereka tidak sesuai dengan kita sebagai orang Kristen Protestan karena tidak disampaikan melalui Yesus Kristus. Penilaian negatif terhadap iman-iman yang lain semacam ini mengakibatkan banyak masalah dalam pemahaman kita tentang Allah, hakikat Allah dan anugerah Allah, dan bagi iman kita terhadap Roh Kudus sebagai pemberi kehidupan. Ketika orang Kristen memberikan penilaian negatif terhadap iman lain, sebenarnya kita telah mengungkapkan keraguan kita secara langsung terhadap salah satu pendapat Alkitab yang mengungkapkan secara jelas tentang persekutuan universal antara Allah dan seluruh ciptaan. Ada beberapa orang Kristen, yang walaupun setuju dengan monoteisme, hidup dengan politeisme fungsional karena menganggap bahwa Hindu dan Islam berbakti kepada ilah-ilah lain. Walaupun doa-doa dari Hindu dan Islam tulus, tetapi diperlukan satu pemahaman tentang Allah yang benar agar doa itu bisa efektif, yang tentu saja tidak dapat mereka temukan dalam tradisi-tradisi agama yang lain. Yang lebih ekstrem lagi, mereka mengatakan bahwa semua doa yang tidak disampaikan melalui Kristus adalah salah arah dan berasal iblis. Berdoa bersama yang lain merupakan kompromi teologis yang merusak semua rasional iman Kristen,

pemberitaannya, dan misinya. Dalam hubungannya dengan agama Buddha, yang sulit menemukan sebuah doktrin tentang Allah, maka berdoa bersama dianggap sebagai bentuk pengingkaran iman.

2. Alasan Alkitabiah. Alasan Alkitabiah

adalah alasan yang paling menonjol, dengan didasarkan pada perintah yang terdapat dalam Kitab Keluaran 20:4,dst

“jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku”

ditulis sebagai perintah pertama, dengan peringatan “jangan sujud menyembah atau beribadah kepadanya, …” dalam hubungan- nya dengan agama Hindu dan Buddha, perintah ini diperkuat dengan ayat lain yang melarang penyembahan berhala disertai perintah untuk menghancurkan- nya, seperti yang tertulis dalam Kitab Bilangan 33:52. Ada orang Kristen yang bekerja keras (karena alasan teologis) untuk mendalami arti dan signifikansi berbagai patung dalam agama Hindu dan Budha. Namun, mereka lupa dan tidak menaruh perhatian pada pemakaian berbagai patung yang ada dalam tradisi Katolik Roma dan ikon dalam gereja-gereja Ortodoks yang menggambar-kan jendela kepada Allah. Bagi mereka, kehadiran patung berarti berpaling dari Tuhan Allah ke anak lembu emas. Pemahaman ini diperkuat oleh pernyataan Paulus yang terdapat dalam 2 Korintus 6:14-15. Alasan Alkitabiah ini juga menyangkut beberapa konsep yang lebih mendalam seperti perjanjian, pemilihan, umat Allah, penyataan, mediator tunggal, tidak ada nama lain. Mandat untuk menjalankan misidilihat sebagai petunjuk utama dari kesenjangan antara umat Kristen dan umat-umat lainnya dalam masalah semacam ini. Ada berbagai konsep Alkitabiah yang dapat dipakai untuk menolak beribadah bersama umat dari tradisi iman yang lain.

3. Alasan Liturgis. Alasan liturgis mungkin menjadi alasan yang paling dapat langsung dialami oleh seseorang yang mau mengambil bagian dalam peribadahan lintas agama. Kata liturgisdi sini dipakai dengan pengertian khusus yang menunjuk pada sistem, simbol, ritus, ritual, berbagai

gerakan dan struktur, model dan bentuk peribadatan yang telah dikembangkan oleh setiap komunitas agama dalam usaha menerjemahkan imannya ke dalam kehidupan ibadah yang tetap terpelihara, khususnya antar umat. Bentuk ibadah dalam berbagai agama memang sangat berbeda dan tidak mudah untuk dipahami atau diikuti oleh orang luar. Bahkan, konsep ibadah itu sendiri dan berbagai elemen atau unsur-unsur yang terdapat di dalamnya juga sangat berbeda antara agama yang satu dengan agama yang lain.

4. Alasan Kultural. Alasan kultural ini sangat mirip dengan alasan liturgis. Dimensi kultural satu agama berfungsi sebagai kultur di dalam kultur.

5. Alasan Psikologis. Bagi kebanyakan umat

Kristen di dunia ketiga, ada juga halangan psikologisketika hendak beribadah bersama umat agama lain. Pertama, bahwa kebanya- kan tradisi agama ini sudah ditinggalkan oleh mereka atau nenek moyang mereka untuk menerima iman yang benar yang diberitakan oleh para misionaris Kristen. Seandainya mereka percaya bahwa Allah mendengar doa umat Hindu, mereka mungkin tidak akan menjadi Kristen.

Kedua, salah satu ketakutan yang

dipaksakan kepada umat Kristen, khusus- nya dalam konteks bahwa iman lain lebih menonjol adalah ketakutan berkompromi, sinkretisme, dan penipisan iman Kristen. Ketiga, masalah identitas. Walaupun umat Hindu, Islam, dan Kristen berpenampilan sama dan hidup dengan gaya yang sama setiap hari dalam masyarakat, tempat ibadah dan kehidupan ibadah mereka memberikan mereka identitas khusus sebagai individu dan komunitas. Ada sesuatu yang begitu khusus tentang cara menjalankan ibadah dari tiap agama di mana mereka menganggap ibadah sebagai sumber utama pembentukan identitas, sesuatu yang selalu ingin mereka miliki dan pertahankan.

Beracuan dari diskursus tersebut, ada urgensi meretas pemilihan model teologi agama yang tepat dalam konteks pluralistik di Indonesia dengan pertimbangan yang akun-

tabel. Namun, bukan berarti pilihan model ini dapat dipegang secara absolut sebagaimana nasihat Knitter. Kita harus tetap melakukan reinterpretasi atas model pilihan kita jika kita merasa bahwa model ini tidak lagi relevan dalam menjawab konteks yang ada. Langkah tersebut tidak mudah. Kita seperti diperhadapkan seperti situasi mencari jarum dalam tumpukan jerami. Bahkan, Paul F. Knitter yang sudah mengajukan berbagai model teologi agama-agama guna menyikapi realita kemajemukan agama melalui model penggantian (hanya satu agama yang

benar), pemenuhan (yang satu menyempur-

nakan yang banyak), mutualitas (banyak agama terpanggil untuk berdialog), dan penerimaan (banyak agama yang benar) juga mengalami kesulitan dalam

menentukan model yang tepat. Knitter melihat bahwa setiap model saling mengisi kekosong- an yang ada, saling berdialog, saling menantang dan m e n a m b a h k a n sehingga suasana diskursus panas antara model yang

satu dengan model yang lain dapat terjadi. Namun, kenyataan tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak memilih apapun dari model yang ada. Kita dituntut tetap memilih model tersebut. Knitter mengatakan bahwa walaupun Anda mau menyebut model itu terbaik bagi saya maka Anda tidak harus menganggapnya sebagai model absolut sebagaimana model satu- satunya yang Anda gunakan (Knitter, 2008: 286). Nasihat ini tidak berhenti di situ. Knitter juga mengingatkan model pilihan kita sebaiknya dapat memberikan cara terbaik guna menyeim- bangkan melalui dialog dengan dan belajar dari umat Kristiani yang menggunakan cara lain serta kerja sama antar agama harus senantiasa dikembangkan pula.

Dalam dokumen jurnal No25 Thn14 Des2015 (Halaman 92-95)