• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemampuan Menyimak Pada Anak Setelah Diterapkan Metode Whole Brain Teaching

Dalam dokumen jurnal No25 Thn14 Des2015 (Halaman 34-39)

Hasil dan Pembahasan

3. Kemampuan Menyimak Pada Anak Setelah Diterapkan Metode Whole Brain Teaching

Setelah diterapkan metode Whole Brain Teaching

ternyata kemampuan menyimak anak meningkat dengan pesat. Hal ini terbukti dari hasil penelitian berupa catatan lapangan dan hasil wawancara guru, menunjukkan terjadinya

perubahan perilaku anak dalam menyimak.

Peneliti melakukan langkah-langkah penelitian mulai dari memberi kode pada setiap catatan lapangan dan hasil wawancara yang berkaitan dengan kemampuan menyimak dan penerapan

metode Whole Brain Teaching. Ternyata dalam

kegiatan memberi kode/ koding ini peneliti dapat menemukan 9 kode yang berkaitan dengan kemampuan menyimak dan kegiatan penerapan metode Whole Brain Teaching. Tabel 11 dipaparkan koding yang ditemukan peneliti dalam catatan lapangan dan hasil wawancara.

Tabel 12: Kategorisasi Kode

Kode yang Muncul Kategori

LG = Anak dapat mengatur arah pandangan ketika guru berbicara LM = Anak dapat mengatur arah pandangan pada media yang digunakan guru

DT = Anak dapat duduk dengan tertib

Sikap anak dalam

menyimak/ mendengarkan dengan penuh perhatian

P = Anak dapat melakukan 2 perintah sederhana TA = Anak dapat menaati peraturan

J = Anak dapat menjawab pertanyaan guru

Kemampuan anak dalam menyimak

SR = Anak dapat meniru dan merespon stimulus guru seperti

Class- Yes, Children- Yes, Ms., Hands and Eyes, Mirror, Switch

U = Anak dapat mengulangi kalimat dan gerakan yang dicontohkan guru

TO= Anak dapat mengajarkan konsep kepada temannya

Karakteristik Whole Brain Teaching

Tabel 13: Kategorisasi ke Teori

Kode yang Muncul Kategori Tema Teori

LG = Anak dapat mengatur arah pandangan ketika guru berbicara LM = Anak dapat mengatur arah pandangan pada media yang digunakan guru

DT = Anak dapat duduk dengan tertib

Sikap anak dalam menyimak/ mendengarkan dengan penuh perhatian Kemampuan menyimak anak usia dini

Metode Whole Brain Teaching dapat meningkatkan kemampuan menyimak anak usia dini.

P = Anak dapat melakukan 2 perintah sederhana

TA = Anak dapat menaati peraturan J = Anak dapat menjawab pertanyaan guru

Kemampuan anak dalam menyimak

SR = Anak dapat meniru dan

merespon stimulus guru seperti Class- Yes, Children- Yes, Ms., Hands and Eyes,

Mirror, Switch

U = Anak dapat mengulangi kalimat dan gerakan yang dicontohkan guru TO= Anak dapat mengajarkan konsep kepada temannya Karakteristik Whole Brain Teaching Karakteristik Whole Brain Teaching

Peneliti kemudian membuat kategorisasi dari koding tersebut sesuai Tabel 12.

Kemudian peneliti menentukan tema dari kategorisasi tersebut. Tema yang dimaksud adalah kemampuan anak dalam menyimak dan kemampuan anak dalam menerapkan karakteristik metode Whole Brain Teaching.

Selama siklus satu hingga siklus ketiga, peneliti menganalisa telah terjadi pengulangan dan

peningkatan frekuensi kegiatan yang menunjukkan kemampuan anak dalam menyimak menyimak dan kemampuan anak dalam menerapkan metode Whole Brain Teaching. Pada siklus pertama terlihat ada 9

(Sembilan) anak yang sulit memandang guru yang sedang berbicara dan memperhatikan media yang dibawa guru dan ada 7 (tujuh) anak yang sulit sekali duduk dengan tertib. Namun setelah melakukan PTK dengan menerapkan metode Whole Brain Teaching sampai siklus ketiga kemampuan anak dalam menyimak menjadi lebih meningkat hanya 1 (satu) anak saja masih harus diingatkan untuk memperhatikan ketika guru berbicara ataupun memperhatikan media yang digunakan guru dan masih ada 3 (tiga) anak yang masih belum dapat duduk dengan tertib. Berdasarkan hasil diskusi peneliti dengan guru kelas dan guru bimbingan dan konseling satu anak tersebut memang sulit sekali untuk menyimak karena anak termasuk tergolong anak yang hiperaktif.

Setelah anak memiliki sikap menyimak yang baik, anak mampu melaksanakan perintah sederhana dengan lebih baik. Berdasarkan analisis peneliti pada siklus pertama ada 8 (delapan) anak yang belum dapat melakukan perintah dengan baik, di mana anak-anak terse- but baru mengerti dan melakukan perintah jika guru sudah mengulangi instruksi tersebut berkali-kali baik secara umum ataupun pribadi. Setelah diterapkan metode Whole Brain Teaching kemampuan anak dalam melaksanakan perin- tah menjadi meningkat, hal ini terbukti pada siklus ketiga ada 2 anak yang masih harus memerlukan pengulangan perintah secara personal.

Begitu pula dengan kemampuan anak dalam menaati peraturan kelas. Pada siklus pertama ada 6 (enam) anak yang kurang taat pada aturan kelas namun semenjak diterapkan- nya metode Whole Brain Teaching di mana salah satu karakteristiknya adalah anak-anak wajib mengucap ulang peraturan kelas setiap hari ternyata berdampak terdampak baik terhadap ketertiban, kedisiplinan anak di kelas. Anak menjadi lebih taat pada aturan. Pada akhir siklus ketiga masih ada 3 anak yang harus sering diingatkan guru untuk taat pada aturan kelas. Dengan memiliki kelas yang tertib akan menciptakan suasana kelas yang nyaman dan kondusif untuk belajar, sehingga anak-anak dapat belajar dengan baik.

Setelah diterapkan metode Whole Brain

Teachingkemampuan anak dalam menjawab

pertanyaan guru menjadi lebih baik. Anak yang pada awalnya malu-malu untuk bicara menjadi lebih berani untuk bicara karena anak-anak sudah terbiasa melakukan karakteristik Whole Brain Teaching. Sebaliknya untuk anak yang tergolong banyak bicara, senang mengobrol terkadang anak-anak tersebut asal menjawab pertanyaan guru tanpa pikir panjang karena sebenarnya mereka tidak memahami pertanyaan dan tidak menyimak penjelasan guru. Sejak diterapkan metode Whole Brain Teaching mereka menjadi lebih dapat menyimak penjelasan guru sehingga anak-anak dapat menjawab pertanyaan guru dengan tepat.

Dengan diterapkannya metode Whole Brain Teaching anak-anak terbiasa merespon stimulus guru seperti class-yes, children-yes, ms., hands and eyes- hands and eyes, attention, please!- yes, ms, mirror- mirror, dan switch-switch. Pada siklus pertama hanya 6 (enam) anak saja yang dapat dengan cepat merespon stimulus tersebut, anak yang lain masih diam karena masih baru, perlu pengulangan. Sejak diterapkan metode Whole Brain Teaching sampai siklus ketiga ada 14 (empat belas) anak yang aktif merespon stimulus guru, sisanya 3 (tiga) anak kadang-kadang masih melakukannya.

Salah satu strategi agar anak dapat menyimak dengan baik adalah dengan cara mengulang kalimat yang disampaikan guru dan meniru gerakan yang dicontohkan guru. Dalam karakteristik metode Whole Brain Teaching kegiatan ini disebut dengan mirror. Pada awalnya hanya lima anak yang cepat paham dan tanggap mengulang dan meniru gerakan guru, namun setelah melewati siklus ketiga terjadi perubahan perilaku anak dalam menyimak menjadi 14 (empat belas) anak yang dapat mengulangi konsep yang diajarkan guru. Dengan mengobservasi anak saat kegiatan mengulang/ mirror ini guru dapat menilai langsung kemampuan anak dalam menghafal dan memahami konsep yang diajarkan.

Setelah anak dapat mengulang/ melakukan aktivitas mirror, maka gurupun dapat menilai kemampuan anak dalam mengajarkan konsep kepada temannya. Kemampuan anak untuk saling mengajarkan konsep adalah kemampuan yang kompleks karena anak harus melewati

karaktersitik lainnya. Selain itu kegiatan mengajar adalah kegiatan yang paling banyak melibatkan banyak fungsi dan bagian otak. Pada siklus pertama hanya 6 (enam) anak saja yang dapat mengajarkan konsep pada temannya. Hal ini disebabkan anak belum terbiasa berbicara dan belum terbiasa dengan karakteristik Whole Brain Teaching. Pada siklus pertama tindakan kedua guru kelas dan peneliti mencoba mengubah tehnik dalam kegiatan teach-ok, di mana yang pada awalnya anak-anak bebas memilih pasangannya namun setelah dievalua- si, anak-anak kelompok A5 terlihat bingung guru menentukan pasangan anak dan menentukan peran anak, siapa yang mau menjadi guru atau sebagai murid. Setelah melewati ketiga siklus terjadi peningkatan kemampuan anak dalam menyimak seperti kemampuan mengajarkan konsep pemahaman anak terhadap temannya.

Setelah menentukan kode, membuat kategorisasi dan menentukan tema penelitian, maka peneliti dapat menyimpulkan teori tentang menyimak dan penerapan Whole Brain Teaching. Menurut peneliti kemampuan menyimak pada anak usia dini adalah kemampuan anak untuk mendengar dan memahami kalimat/ konsep yang diberikan guru. Agar anak dapat menyimak dengan baik perlu adanya pengulangan kalimat, kalimat harus singkat dan jelas disertai gerakan tangan, dan dibantu media pembelajaran.

Peningkatan kemampuan menyimak ini dikarenakan karakteristik yang terdapat dalam metode Whole Brain Teaching digunakan guru sesuai dengan keadaan dan kebutuhan anak seperti untuk memusatkan perhatian anak guru menggunakan kata children/ class / attention, please!/ hands and eyes, untuk membantu anak memahami konsep, guru mengajarkan dengan kalimat sederhana disertai gerakan tangan, dan anak-anak mengulang konsep tersebut berkali- kali sampai hafal, untuk mengetahui pemahaman anak tentang konsep guru menggunakan perintah

teach –ok dan anak-anak selalu diberi reward agar memotivasi mereka untuk selalu konsentrasi/ fokus dalam menyimak. Grafik 1 memaparkan peningkatan kemampuan menyimak selama siklus kesatu sampai siklus ketiga.

Pada awal pelaksanaan siklus pertama guru kelas menemukan beberapa kendala, seperti ada 8 anak yang sangat sulit sekali fokus, konsentrasi dalam menyimak, mereka cenderung melamun, main-main, mengobrol dengan temannya. Guru berusaha memusatkan perhatian anak tersebut dengan memanggil nama anak tersebut untuk kembali fokus dan menyimak atau menegur anak tersebut dan secara klasikal guru akan mengucapkan kata class dan anak-anak akan mengucapkan ok. Guru terus mengucapkan kata

class sampai semua anak fokus dan siap untuk menyimak. Setelah dicoba berkali-kali akhirnya kedelapan anak tersebut dapat menyimak. Selain

7 7 9 8 10 5 6 5 6 13 13 9 13 11 12 10 9 9 16 16 14 15 14 14 14 14 13 LG LM DT P TA J SR U TO

SIKLUS 1 SIKLUS 2 SIKLUS 3

kata class, gurupun sudah terbiasa dengan kata

Children dan attention, please! untuk memusatkan perhatian anak-anak. Secara spontan anak-anak duduk dengan tertib, melipat tangan dan kaki mereka dan mata mereka tertuju pada guru. Pada pelaksanaan siklus ketiga guru baru mengajar- kan karakteristik Hands and eyes karena sebelum- nya guru sudah terbiasa dengan instruksi

attention, please!. Menurut peneliti kata/ instruksi seperti ini sangat berdampak dan sangat membantu dalam meningkatkan kemampuan menyimak anak.

Pada awal penerapan aktivitas teach-ok di mana anak akan saling mengajar konsep pada temannya, anak-anak terlihat bingung dengan apa yang harus mereka lakukan, sehingga guru yang menentukan pasangan anak-anak dan menentukan siapa yang terlebih dahulu jadi guru dan murid. Hal tersebut tidak terpikirkan sebelumnya oleh peneliti dan guru kelas, namun dalam prakteknya ternyata anak-anak masih perlu dibantu dalam menentukan siapa yang jadi guru dan murid. Melalui kegiatan teach-ok

ini guru kelas dan peneliti dapat melihat kemampuan menyimak anak secara langsung karena guru dapat secara langsung memberi umpan balik saat anak menjelaskan konsep. Hal ini berkaitan dengan metode Direct Instruction di mana guru mengarahkan anak-anak mengguna-kan instruksi secara berurutan dan materi yang tersusun . Kousar (Biffle, 2013: 179). Dalam penerapan metode Whole Brain Teaching, guru mengajarkan konsep dengan kalimat yang singkat, jelas dan sederhana, dan penjelasan guru tidak boleh lebih dari 1 menit. Konsep tersebut disertai dengan gerakan tangan atau badan yang menyimbolkan kata yang dimaksud. Anak-anak memperhatikan/ menyimak yang disampaikan guru, kemudian mereka harus mengulanginya sampai paham dan hafal. Dalam hal ini disebut dengan karakteristik mirror. Melalui metode Direct Instruction/ instruksi langsung ini, guru dapat dengan langsung menilai kemampuan anak ketika mengulang, mengajar konsep dan berdiskusi. Dengan dapat menilai langsung guru dapat mengetahui

keadaan anak yang sudah paham dan yang belum sehingga guru dapat langsung mengu- lang kembali untuk anak yang belum mengerti. Dalam penerapan metode Whole Brain Teaching juga, peneliti dapat menganalisis kegiatan yang termasuk pembelajaran kooperatif, seperti keaktifan dan keterlibatan anak-anak dalam proses pembelajaran (Biffle, 2013: 179). Dalam cooperative learning ini anak- anak belajar untuk bekerjasama secara positif, berinteraksi, bertanggung jawab dan melatih keterampilan interpersonal. Dalam pelaksanaan metode Whole Brain Teaching, anak-anak belajar dalam tiga dimensi yaitu sebagai anggota kelas, anggota kelompok kecil/ berpasangan dan seba- gai seorang individu. Dengan pembelajaran kooperatif ini keterampilan sosial anak menjadi berkembang, anak menjadi lebih berani dan percaya diri berbicara, bercerita di depan kelas. Berkenaan dengan keterampilan sosial, penerapan metode Whole Brain Teaching ini juga berdasarkan teori pembelajaran sosial Vygotsky (Biffle, 2013: 180) yang merupakan aspek yang mendasar dalam konstuktivisme. Menurut Vygotsky interaksi sosial merupakan aspek penting dalam belajar dan berkembang. Melalui aktivitas teach-ok ini anak-anak

menerapkan aktivitas Zone of Proximal

Developmen (ZPD). Anak yang terlebih dahulu mengajar temannya dapat dikatakan sebagai seseorang yang memberi ‘pijakan’ pada temannya. Anak yang ‘lebih’ akan membantu anak yang ‘kurang’.

Score board dalam penerapan metode Whole Brain Teaching adalah sebagai motivator bagi anak-anak untuk selalu menyimak penjelasan guru dan menyimak setiap orang yang berbicara. Hal ini sesuai dengan teori behaviorisme dimana kemampuan menyimak anak menjadi mening- kat karena adanya aktivitas stimulus respon.

Penerapan metode Whole Brain Teaching juga menerapkan metode Total Physic Response/

Respon Fisik Total untuk membantu anak menyimak guru selalu melakukan gerakan tangan/ badan untuk melambangkan kata agar mudah dimengerti dan diingat oleh anak.

Simpulan

Dalam dokumen jurnal No25 Thn14 Des2015 (Halaman 34-39)