• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anda Juga Paranormal

Dalam dokumen Mata Ketiga Dan Intuisi (Halaman 135-141)

30. Anda Juga Paranormal

Paranormal adalah istilah salah kaprah. Dalam bahasa Inggris, dikenal istilah paranormal, yaitu gejala-gejala yg tidak bisa dijelaskan penyebabnya. Dan sama sekali tidak merujuk kepada para praktisi ilmu-ilmu kebatinan yg memberikan bantuan kepada sesama. Jenis-jenis praktisi juga bermacam-macam, kalau orangnya sensitif sekali, sangat berbakat menggunakan kekuatan alamiah yg ada di dirinya, sehingga merasa bisa berkomunikasi dengan berbagai makhluk gaib ataupun benda-benda, maka istilahnya pun bukanlah paranormal, melainkan psychic. Saya tidak tahu apa terjemahan psychic di bahasa Indonesia, yg jelas bukanlah paranormal.

Saya paling benci istilah salah kaprah, misalnya tentang dunia Maya. Menurut saya dunia Maya adalah dunia Suku Maya yg dulu bertempat tinggal di wilayah Mexico. Penanggalan Suku Maya berakhir pada Desember 2012. Tadinya dikira kiamat, ternyata bukan. Dunia Maya berakhir pada Desember 2012, bukan dunia kita. Dunia kita berlangsung terus, sampai sekarang.

Intuisi saya berjalan terus: Tugu Monas di tengah kota Jakarta sebenarnya tidak bernama. Menurut Bung Karno, yg namanya Monumen Nasional adalah seluruh bangunan yg berada di sekeliling Jl. Medan Merdeka itu. Ada empat sisinya, dan seluruh bangunan yg berada disitu menjadi Monumen Nasional. Termasuk Istana Merdeka, Museum Nasional, Gereja Immanel, Katedral, Mesjid Istiqlal, dan bahkan Kedutaan Besar Amerika Serikat. Idenya sendiri pastinya berasal dari Tugu Obelisk yg adanya di ibukota Amerika Serikat, Washington DC. Obelisk bentuknya seperti Monas, tetapi lurus saja. Lingga saja. Monas berbentuk Lingga Yoni, ada bawahnya dan ada atasnya. Bawahnya Yoni, dan atasnya Lingga. Sering disebut Yoni melambangkan kelamin perempuan, dan Lingga melambangkan kelamin laki-laki. Tapi kenapa tidak saling memasukkan? Kenapa Lingga tidak berhubungan dengan Yoni, melainkan berdiri di atasnya? Yoni sendiri, dan Lingga sendiri?

Karena ini ajaran spiritual tingkat tinggi.

Yoni adalah simbol materi, dan Lingga simbol roh. Yoni tubuh, dan Lingga pikiran. Yoni sex, dan Lingga batin. Memang jalan sendiri-sendiri seperti listrik negatif dan positif. Tidak boleh menyambung. Kalau menyambung akan terjadi hubungan singkat, dan matilah segalanya. Untuk hidup, Yoni harus berjalan seiring dengan Lingga. Tidak bisa disatukan. Kalau kita mencoba menyatukan tubuh dan pikiran kita, akan korslet juga. Banyak yg sudah begitu. Tidak ada gunanya anda meditasi di depan lingga yoni, atau bahkan di Tugu Monas kalau tidak mengerti maknanya. Feminin dan maskulin cuma bisa menyatu sekali saja, setelah itu korslet, tekdung tralala kalau sedang subur. Hamil dan melahirkan. Tapi tidak bisa dipertahankan setiap saat. Feminin jalan sendiri, maskulin jalan sendiri. Begitu juga tubuh dan pikiran manusia. Bisa sekali-sekali korslet dan mengalami sesuatu yg wah. Kita hamil dan melahirkan berbagai konsep baru, pengertian baru. Hanya dari seper sekian detik penyatuan tubuh dan pikiran kita. Tapi tidak bisa terus. Kalau mau terus seperti itu kita akan mati. Yg normal dan rutin adalah jalan sendiri. Dari Monas merambah ke Pancasila. Burung Garuda Pancasila.

Dulu waktu saya SD diajarkan bahwa 'Bhinneka Tunggal Ika' artinya berbeda-beda tetapi satu, dan merujuk kepada berbagai berbagai golongan yg ada di Indonesia. Asalnya dari kitab Sutasoma karya Mpu Tantular. Itu benar, kecuali maksud kata itu yg dipelintir. 'Bhinneka Tunggal Ika' ternyata aslinya dipakai untuk menjelaskan status Siwa dan Buddha. Walaupun bhinneka berbentuk Siwa dan Buddha, sebenarnya mereka ika atau satu adanya. 'Bhinneka Tunggal Ika' memang ada, berupa agama Siwa-Buddha, sekarang masih ada di Bali.

Kita perlu kejujuran. Tidak perlu lagi ada kebohongan di buku-buku sejarah kita. Kalau aslinya merujuk kepada persatuan Siwa dan Buddha, ya ungkapkanlah fakta itu apa adanya. Setelah itu baru dijelaskan, bahwa kata-kata itu sekarang dipakai untuk berbagai golongan di Indonesia. Jangan langsung bilang seolah-olah Mpu Tantular sudah menulis tentang persatuan dan kesatuan Indonesia sejak abad ke 14 M.

Di masa lalu, banyak sekali istilah bahasa Belanda atau bahasa Portugis yg masuk ke bahasa kita. Mungkin lebih banyak dari istilah berbahasa Sansekerta atau Jawa yg cuma baru-baru ini saja ditambahkan. Bung Karno, contohnya, kalau bicara sering sekali pakai istilah Belanda yg kita sendiri sekarang tidak tahu artinya apa. Dulu logika Barat banyak sekali mempengaruhi cara bicara dan cara penulisan. Sekarang logika lebih ngawur. Orang dulu merasa tidak pantas ikut campur urusan pribadi orang lain. Setelah Belanda pergi, privasi manusia Indonesia semakin sempit. Cara berpikir orang mau disamakan, seolah-olah ada yg benar dan ada yg salah. Dulu tidak begitu. Anda mau benar ataupun anda mau salah tidak ada yg perduli.

Kenapa? Karena seperti itulah cara berpikir orang Barat. Dulu kita lebih Barat daripada

sekarang. Secara mental intelektual, dulu kita lebih Barat. Secara fisik, sekarang kita lebih Barat. Secara fisik saja, dalam hal teknologi yg notebene, boleh bilang, semuanya import. Import dari Barat atau substitusinya yaitu Jepang dan, akhir-akhir ini, Cina.

dengan Bung Hatta, Bung Syahrir, dll. Karena Bung Karno tidak pernah sekolah di Belanda. Suka minder kalau berhadapan dengan Belanda. Yg tidak minder adalah Hamengku Buwono IX dan Bung Hatta, alasannya jelas karena itu dua orang pernah sekolah di Belanda. Kalau pernah sekolah di Belanda, otomatis otaknya berubah. Akan bisa melihat bahwa Belanda ternyata egaliter. Demokratis, egaliter dan plural. Yg otoriter dan feodal adalah masyarakat Indonesia sendiri. Tapi, dibandingkan dengan kaum intelektual Indonesia saat ini, Bung Karno tentu saja jauh lebih Belanda. Jaman Bung Karno masih ada pesta dansa di istana. Sekarang tidak ada lagi. Apakah anda tahu bahasa Indonesia dari kata heart di bahasa Inggris? Anda mungkin jawab tahu, dan bilang artinya "hati". Itu salah, heart artinya jantung. Kalau hati, bahasa

Inggrisnya liver.

Sweet heart artinya jantung manis, bukan jantung hati.

Namanya salah kaprah, sangat umum di Indonesia. Heart itu jantung bahasa Indonesianya. Kalau heart dibilang hati jelas salah. Salah kaprah lagi. Kalau orang Indonesia bilang hati, maksudnya jantung. Tapi diucapkan sebagai hati. Salah satu contoh salah kaprah yg sudah mendarah daging sampai kini. Ada kesalahan program di bahasa Indonesia. Mungkin jaman dulu, orang dikasih tahu bahwa hati letaknya di dada. Dan itu keterusan. Pedahal yg ada di dalam dada bukan hati, tetapi jantung. Kalau orang Indonesia bisa secara sadar merubah orientasi gila hati ini, maka satu salah kaprah lagi bisa terlepas. Rontok dengan sendirinya.

Menurut saya, spiritualitas adalah hal menjadi diri sendiri saja. Itu yg pertama. Dan itu juga yg terakhir. Kalau menjadi diri sendiri saja tidak berani, untuk apa pamer kata-kata mutiara? -

Waktu saya masih kecil, saya diajarkan untuk memisahkan ilmu pengetahuan dan agama. Ilmu pengetahuan adalah ilmu pengetahuan, agama adalah agama. Tidak bisa dicampur-adukkan. Ilmu pengetahuan akan jalan terus membuat manusia semakin cerdas, namanya teknologi. Agama berkutat di bidang pemahaman hubungan antara pribadi dengan Allahnya, bukan teknologi. Itu ajaran praktis dari aliran Protestan Calvinis yg marak di Belanda. Makanya Belanda semakin maju dan maju saja.

Sisi satunya lagi adalah sisi penghayatan keagamaan. Penghayatan keagamaan bukan

berdasarkan fakta, itu dimengerti dan diakui, melainkan bekerjanya mitos di dalam pikiran para penghayatnya. Bisa memunculkan berbagai imajinasi, yg tentu saja tidak salah untuk dipercaya, asalkan tetap ingat, imajinasi tetap imajinasi. Adanya di dalam pikiran manusia, bukan fakta! Apa yg ada di pikiran kita dan tidak bisa dipegang dengan tangan namanya aspek kejiwaan, kata dasarnya jiwa. Kerohanian, kata dasarnya roh, adalah hal-hal yg adanya di dalam pikiran, tidak bisa dipegang dengan tangan juga. Badan halus juga begitu. Saking halusnya tidak bisa kita pegang dengan tangan kita. Ini semua dipelajari oleh Psikologi. Namanya Behavioral

Psychology kalau mengenai perilaku yg bisa dikuantifikasi datanya. Kalau remang-remang atau tak bisa dikuantifikasi, namanya Transpersonal Psychology.

Saya pakai banyak pengertian psikologi modern dalam memberikan konseling. Konseling untuk meluruskan otak-otak yg bengkok karena terlalu lama terjerat oleh jalan pemikiran tradisional yg sudah tidak lagi relevan. Seperti sejatine diri?

Sejatine diri itu konsep spiritual Jawa, di tempat lain tidak ada. Masyarakat lain sudah maju teknologinya, orang di Jawa masih nguthek cari sejatine diri. Saya tidak pakai konsep sejatine diri, karena itu bukan konsep universal, melainkan lokal. Tidak bisa dibawa ke dunia

internasional karena orang akan garuk-garuk kepala walaupun tidak gatel. Mereka bilang, beginian aja dibahas sampai begitu ribet? Ingatan saya melayang kepada istilah cultural involution yg saya kenal semasa kuliah di FISIP UI. Mungkin bahasa Indonesianya menjadi involusi budaya, artinya peribetan budaya. Semakin lama budaya di Jawa menjadi semakin ribet, tanpa menyentuh ke essensi atau hal yg hakiki. Essensinya tetap sama, tidak berubah. Yg

berubah adalah bahasannya, pemaparannya, semakin lama semakin berputar dan berputar terus seakan-akan bertambah dalam. Ternyata tidak. Tidak bertambah dalam melainkan hanya berputar di tempat saja. Berputar dan bertambah rumit. Itulah ciri budaya Jawa menurut penelitian Clifford Geertz di tahun 1950-an. Sejak itu istilah cultural involution menjadi salah satu konsep baku di ilmu Anthropologi. Asalnya dari penelitian di Jawa.

Bukan berarti saya tidak pernah mempelajari spiritualitas Jawa. Pernah juga, dari seorang Romo keturunan Keraton Yogya. Tiap Kamis malam datang ke rumah Romo. Mungkin istilahnya mijil. Sampai suatu saat saya dapat penglihatan di dalam mimpi. Saya melihat Romo ini datang ke rumah saya dan mengajarkan tentang mata ketiga. Ternyata yg muncul adalah simbol Romo Kejawen, yg membukakan rahasia mata ketiga. Di dalam mimpi. Jelas sekali. Sejak saat itu saya tahu bahwa intinya cuma kultivasi cakra mata ketiga saja. Atau Semar kalau mau pakai simbol di budaya Jawa. Dari ratusan murid Romo, mungkin saya satu-satunya yg dapat pengertian

langsung dari mimpi. Dan itulah yg saya bagikan. Secara terbuka, karena saya merasa memang sudah waktunya.

Saya punya hipothesa tentang kenapa budaya Jawa begitu anti asing, dan mengagungkan keaslian. Sedangkan etnik-etnik Nusantara lainnya tidak begitu. Hipothesa saya, para pujangga keraton adalah keturunan Cina. Jadi, imigrasi dari Cina memang marak semenjak masa

Majapahit. Ada yg menjadi para wali, dan ada pula yg menjadi pujangga keraton. Nah, ketika menjadi pujangga keraton, adat budaya Cina itu dimasukkan seolah-olah budaya asli Jawa. Seolah-olah Jawa memang anti asing. Sedangkan kita tahu, Jawa aslinya tidak anti asing, justru menerima semuanya, sama seperti etnik-etnik lainnya di Nusantara. Jawa menjadi anti asing semenjak munculnya karya sastra keraton. Dihasilkan oleh keturunan Cina yg pakai nama Jawa. Bukan Cina asli, karena semuanya sudah campuran, dari ibu yg orang pribumi. Budaya

mengagungkan keaslian sekaligus anti asing itu asli Cina, dari dulu sampai sekarang, dan bukan Jawa. Bisa masuk ke Jawa karena para pujangga keraton adalah keturunan Cina. Probabilitanya besar sekali, karena Jawa hampir tidak mungkin melahirkan para pujangga yg tidak punya campuran keturunan asing. Kalau campurannya Cina, dan tidak pakai agama, jadinya

mengagungkan keaslian dan anti asing thok. Itu budaya Cina yg masuk ke budaya Jawa secara intelektual. Kalau mau diteliti filsafatnya, itu pun filsafat Cina. Tentang budi pekerti luhur (Konghucu), dan tentang keselarasan dengan alam (Tao). Jawa sampai masa Hindu Buddha tidak melahirkan filsafat seperti itu. Filsafat "Jawa" itu baru muncul dalam masa Islam paska

abangan menjadi para pujangga istana dan melahirkan literatur "agama Jawa".

Kalau itu cara pandang "Jawa" (dalam tanda kutip), yg aslinya cara pandang Cina, diterapkan oleh rakyat di negara Cina sendiri, yg memang negara besar dan pusat budaya sejak ribuan tahun lalu, maka itu masih bisa dipahami. Bisa diterima akal sehat. Tetapi ini kok Jawa yg di pinggiran bisa menganut etnosentrisitas dan xenophobia yg begitu akut seolah-olah benar dirinya pusat dunia? Penjelasan saya, balik lagi ke hipothesa di atas, yaitu karena literatur keraton di Jawa dihasilkan oleh keturunan Cina. Sekarang sudah terbuktikan para wali sanga itu keturunan Cina. Tinggal dibuktikan lagi apakah benar para pujangga keraton adalah keturunan Cina juga? Kalau sudah terbuktikan, berarti hipothesanya benar. Saya sendiri percaya, rakyat jelata di Jawa tidak terkontaminasi dengan literatur istana yg membanggakan etnik sendiri dan anti asing. Buktinya juga tidak terhitung. Yg gila keaslian dan merasa diri sebagai pusat dunia cuma mereka yg berada di seputar keraton.

Memandang diri sendiri sebagai pusat dunia adalah cara pandang Cina. Budaya sendiri paling tinggi. Paling halus. Di India tidak seperti itu. Cara pandang budaya Jawa bukanlah cara pandang India, melainkan cara pandang Cina. Itu tidak asli dari Jawa, melainkan dibawa oleh imigran Cina yg masuk ke setiap lapis masyarakat, diterima dengan terbuka. Menjadi penasehat raja-raja Jawa, menikah dengan perempuan-perempuan istana.

Kalau anda mau tahu filsafat budaya Jawa yg asli, anda perlu pergi ke kampung-kampung. Di situlah anda akan lihat Jawa yg asli, yaitu yg percaya segala macam gendruwo, dan makhluk-makhluk penghuni kubur dan tempat angker. Itu Jawa yg asli, sama saja seperti etnik-etnik lain di Nusantara. Sedangkan, kalau sudah memandang diri sendiri sebagai pusat dan merasa

berbudaya tinggi, itu sudah pengaruh Cina. Semakin kuat pengaruh Cina, semakin tinggi hatilah penganut budayanya. Dan semakin mengagungkan leluhur. Etnik-etnik Nusantara lainnya juga menghormati leluhur, tapi tidak segila di budaya Jawa "aliran istana". Budaya Jawa "aliran istana" begitu gila dengan leluhur karena mengikuti literatur istana yg dihasilkan oleh para pujangga keturunan Cina. Pengaruh Cina di Jawa begitu besar. Ada yg putihan, menjadi para wali dan membangun pesantren. Ada yg abangan, menjadi pujangga istana dan melahirkan filsafat "Jawa". Yg terakhir mengambil bulat-bulat cara pandang Cina, dan tinggal substitusi, mengganti saja, tadinya Cina sekarang diganti dengan Jawa.

Saya memang hidup di banyak budaya sekaligus. Budaya Indonesia modern, budaya

internasional orang bule juga, karena saya pernah sekolah di Amerika Serikat. Budaya-budaya kedaerahan di Jawa dan Bali, walaupun tidak mendalam. Saya menganggap diri saya orang Jakarta karena lahir dan dibesarkan di ibu kota. Jalan pikiran saya mungkin mirip dengan orang Barat. Memandang Indonesia dari kacamata orang Barat sehingga sering merasa lucu sendiri. Saya merasa pemikiran tentang budaya Jawa sebagai "kelas atas" ini tidak dari sononya, contohnya. Baru ada setelah Majapahit runtuh. Cino yg putihan menjadi para wali dan

membangun pesantren dimana-mana. Cino yg abangan menjadi filsuf, melahirkan cara pandang Kejawen. Kejawen itu cara pandang Cina. Bukan agama, tapi filsafat. Filsafat tentang budi pekerti luhur. Budi pekerti asal. Asalnya nenek moyang kita berbudi luhur, dan makin lama makin hancur, kurang lebih begitu pakem ceritanya. Dan ada kiat-kiat bagaimana

Confucianisme dan Taoisme. Bukan berarti tidak valid. Ini semua valid saja, sah saja, namanya sinkretisme. Jawa yg asli, yg begitu kasar percaya segala macam gendruwo sekarang diperhalus dengan filsafat dari Negeri Tengah. Sekarang, Jawa sendiri yg letaknya di pinggir dan relatif kecil, bisa seolah-olah memandang dirinya sebagai "Negeri Tengah".

Sebagai seorang pengamat yg obyektif, saya tidak bisa bilang salah atau benar, baik atau buruk. Gejala-gejala kemasyarakatan yg memang ada dan tidak dibuat-buat, tetapi mungkin orang sudah lupa asal-usulnya, atau tidak tahu.Tentang aliran pesugihan, misalnya, ini juga cuma ada di Jawa. Di etnik-etnik Nusantara lainnya tidak ada. Menurut saya, segala macam tempat keramat aliran pesugihan juga dipopulerkan oleh Cino Abangan. Sampai sekarang masih ada. Budayanya memang seperti itu, dan terserap di satu pulau Jawa, menjadi apa yg disebut aliran pesugihan. Aliran pesugihan adalah salah satu aspek dari abangan. Penyebutan kecinaan sudah hilang, dan menjadi kejawaan, tapi asal-usulnya Cina, tidak bisa dihilangkan begitu saja, karena memang ada. Begitulah juga dengan filsafat Jawa "tingkat tinggi". Kecinaannya sudah hilang, tidak lagi disebut, tapi masih bisa ditelusuri kalau mau. Dan tidak bisa dihapuskan begitu saja. Yg ada berasal dari yg sudah ada sebelummya.Tidak muncul begitu saja. Teorinya begitu, dan prakteknya?

Prakteknya, mungkin anda tidak tahu bahwa sejak bertahun-tahun saya dilarang untuk duduk di meja registrasi sarasehan Komunitas Spiritual Indonesia, di kota apapun. Alasannya, panitia bisa rugi karena ada yg masuk tidak bayar. Pernah saya tertangkap basah meloloskan peserta

sarasehan di meja registrasi. Uang konsumsi sebesar Rp 50 ribu tidak masuk kas. Mungkin cuma 5 orang yg saya loloskan, tapi itu sudah cukup besar bagi panitiia yg bisa untung atau rugi sebesar Rp 250 ribu. Biasanya di kisaran Rp 500 ribu saja, dan buat saya tidak masalah. Uang kas Komunitas Spiritual Indonesia, Cabang Jakarta, kemarin pagi berjumlah Rp 1 juta 250 ribu, dan sorenya berkurang Rp 400 ribu yg dikirimkan untuk sumbangan kepada panitia sarasehan yad di Makassar. Berarti uang kas SI Jakarta Rp 850 ribu sekarang, dan masih nekat untuk buat sarasehan besar-besaran lagi. Modalnya cuma sekisaran itu saja, dari dulu sampai sekarang, sejak sarasehan pertama sampai puluhan kali. Saya sendiri tidak tahu jumlah pastinya berapa puluh kali. Tidak pernah saya hitung. Dan tidak perduli juga dengan santet menyantet, kalaupun ada. Pagi ini ada. Kiriman santet. Saya bakar itu makhluk jadi-jadian berbentuk ulat hijau dengan korek api gas. Tidak mati, dan cuma menggeliat-geliat mengeluarkan cairan. Lalu saya buang di halaman rumah orang yg mengirim, biar bekerja dengan efektif disana. Dilempar ke halaman orang yg kirim, biar meneruskan kerjanya dengan baik dan benar. Begitu cara saya, kembalikan santet kepada yg mengirimkannya.

Kalau kejadian biasa, anggap saja tidak ada apa-apa yg aneh karena makhluk kecil bisa ada dimana-mana. Kalau kejadian tidak biasa, maka bisa dianggap santet. Kiriman energi negatif yg sepantasnya dibalikkan saja kepada yg kirim. Saya sendiri tidak pernah mengalami yg seperti ini. Tidak pernah ada makhluk kecil menjijikkan seperti itu. Ini tiba-tiba ada, dan merayap di atas map saya.

Ada yg tanya saya lewat inbox, bagaimana cara menghadapi santet? Saya jawab, kalau benda atau makhluknya ada, maka cukup dilemparkan ke halaman rumah orang yg kirim. Lemparkan saja, biar kerjanya berbalik. Tapi pesan saya, jangan parno. Kalau anda rutin meditasi mata

ketiga, anda kebal santet. Kalau ada yg kirim santet akan balik sendiri ke orangnya. Kalau anda bisa temukan benda atau makhluknya, bisa anda lemparkan balik secara fisik. Kalau tidak tahu berasal dari mana, buang saja di selokan.

T = Pertanyaannya Mas Leo, bagaimana kita mengetahui siapa yang mengirim, apakah ada tanda-tanda khusus agar kita bisa yakin bahwa kiriman itu "pasti" dari orang yang kita maksud? J = Saat ini saya sedang mengadukan orang yg mengganggu lingkungan, dan orang yg

mengganggu itu pakai gaya kebo. Rupanya dia percaya diri karena pakai dukun. Itu satu fakta. Berkas pengaduan saya simpan di dalam satu map. Dan makhluk begituan belum pernah saya lihat. Tiba-tiba pagi ini ada di atas map yg saya gunakan untuk simpan berkas pengaduan. Saya bakar dengan korek api gas ternyata tidak mati. Menggeliat tapi tidak mati, sampai saya capek sendiri dan korek api gasnya panas sekali. Akhirnya saya lemparkan saja makhluk setengah mati itu ke halaman orang yg kirim. Ini jelas urutannya. Kalau kasus anda tidak jelas, tidak usah parno. Cukup bakar dan buang saja ke selokan. Tanpa perlu kontak dengan segala macam paranormal. Anda juga paranormal.

+++

Dalam dokumen Mata Ketiga Dan Intuisi (Halaman 135-141)