• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelatihan Katam di Pura Besakih

Dalam dokumen Mata Ketiga Dan Intuisi (Halaman 148-158)

32. Pelatihan Katam di Pura Besakih

Kadang-kadang saya benci deh, karena yg berbagi langsung sama saya banyak sekali, puluhan orang tiap hari. Maunya gitu deh, dua-duaan aja deh. Gak laki, gak perempuan. Antara hatimu dan hatiku tak ada dinding yg tinggi, adanya cuma selokan satu meter, bisa dilompatin. Hap, melompat-lompat jalan klinciku, telinganya berdiri selalu. Telinga atas berdiri, telinga bawah berdiri. Telinga bawah bisa mendengar bunyi gemericik di selokan. Telinga atas mendengar tik tik tik bunyi hujan di atas genting. Genting Highland di Malaysia. Perbatasan dengan Thailand. Tempat Jin buang anak, sehingga jadi Jin Judi. Di luar jangkauan dan pandangan saya karena, ketahuilah, saya maunya yg pasti-pasti saja. Kalau mau bilang mau. Kalau tidak mau bilang tidak mau. Kalau tidak tahu bilang tidak tahu. Saya juga banyak tidak tahu.

Di atas itu contoh automatic writing, my friends. Kalau saya taruh sepuluh jari saya di atas keyboard, maka bisa jalan sendiri. Rasanya geli-geli, seperti ada yg menjalar dari atas ke jari saya. Dan dari bawah juga. Atas dan bawah bertemu di jari-jari saya.

INI CONTOHNYA LAGI: Dikirimkan oleh seorang teman di Mataram, Lombok, NTB. Tadinya mau ikut pelatihan KATAM (Kundalini - Tarot - Mata Ketiga) yg dilaksanakan di Jakarta, 22 - 23 Februari 2014 lalu. Sudah kirim pembayaran sejumlah satu jeti rupiah saja, tetapi mendadak diingatkan harus ritual di Pura Besakih. Makanya saya bilang, ada pelatihan Katam juga di Pura Besakih. Gaib, tentu saja. Seperti apa kisahnya? Oh, baca saja.

-

"Tanggapan atas angka 111, berasal dari sms seorang teman/ sahabat/ kakak, terhadap nomor kamarnya yang tergantung di pintu HITAM kamar hotel tersebut dan tertulis 111. Kamar tersebut kucarikan di sebuah hotel melati saat dia berkunjung 3 hari di Mataram/ Lombok dalam rangka urusan pekerjaan. SMS nya berbunyi kamarku kok mbois banget sich... sambil becanda

kujawab SMS nya tinggal dicari girlis nya aja mas wkwkwk ... sesama lelaki yang nginap sendirian di hotel mungkin punya pikirannya ke arah ini...(cari teman bobo wkwkw)

Setelah percakapan SMS tersebut, angka tripel one tersebut hilang dalam perhatianku, namun pada sore harinya perhatianku tertuju lagi pada angka111 ini, Penampakannya saat berhenti di depan parkiran toko, di depan kendaraanku juga parkir mobil mewah berwarna PUTIH dengan plat DR 111. Sambil berlalu dari parkiran toko tersebut pikiranku berguman, wah tripel one maneh.... dan sore hari itu juga saat menjemput anakku pulang dari les privat, kendaraan yang kutumpangi untuk menjemputnya berhenti di lampu merah persis di depanku juga mengantri kendaraan yang ber plat MERAH (kendaraan dinas) kali ini dengan nomor kendaraan DR 1141. Khusus mengenai tripel one plat merah ini, pikiranku menganggap wah sayang ada angka 4 nya kalau 111 kloplah 3 kali aku menemukan angka 111 dalam sehari dengan latar belakang

HITAM, PUTIH, MERAH.

Esoknya, saat menemani temanku yang kucarikan kamar kemarin untuk keluar hotel mencari sarapan pagi dan sekaligus mengantarnya mencari hotel (pindah hotel) karena hotel yang ditempatinya saat ini, pada hari itu sudah dibooking oleh rombongan tamu dari Bali. Sambil menikmati sarapan soto dan sate, saya komunikasikan kepadanya tentang angka 111 tersebut... Oh ya kebetulan temanku ini juga secara tidak langsung membimbingku dengan caranya tersendiri, menggiring aku dalam perjalanan spiritual melalui share berbagai artikel ataupun bertukar pikiran tentang pengetahuan dan penggalian diri masing-masing dalam mengenal jati diri.

Obrolan aku dan temanku :

Aku : Mas inget SMS kemarin tentang kamar mbois itu .... Temanku : Ya nopo ... (logat Jawa)

Aku : Aku lucu aja ... dalam sehari itu aku melihat 3 kali bertutur-turut angka tripel one itu ...

Temanku : Mosok sich ... yang bener...?

Aku : Ya mas ... lalu kuceritakan, angka 111 yang pertama di pintu HITAM kamar hotel itu, yang Kedua angka 111 di pelat kendaraan mobil PUTIH dan angka 111 yang ketiga di plat mobil MERAH.

Temanku : Mosok sich ... sambil tertawa kecil.

Aku : Aku juga tertawa kecil... sambil melanjutkan, tapi ada juga “Janji” 3 hal yang akan berlangsung pada tanggal 22-23 ini yang sebelumnya aku sudah pastikan akan mengikutinya eh ternyata terancam tidak bisa aku ikuti.

Aku : Kujelaskan :

ü

Acara yang pertama yaitu Tirtayatra dengan rombongan Pratisentane Bendesa Mas Lombok ke Besakih tanggal 22-23, saya sudah mendaftar dan positif berangkat.

ü

Acara yang kedua yaitu Pelatihan KATAM SI di jakarta pada tanggal 22-23, acara ini

kuniatkan gabung karena ada undangan dari Mas Leonardo Rimba sebagai pendiri SI (Spiritual Indonesia), dengan antusias dan lupa dengan acara Tirtayatra, aku ikut bergabung dan mendaftar sebagai peserta.

ü

Atas kedua acara yang sudah kupastikan akan dihadiri ternyata aku harus memilih salah satunya, maka dengan berbagai pertimbangan maka kuputuskan akan mengikuti acara Tirtayatra ke Besakih dan membatalkan acara Pelatihan KATAM di Jakarta. Namun beberapa hari sebelum keberangkatan Tirtayatra, karena kekurangan peserta dari target awal sekitar 40 orang, namun yang positif berangkat hanya 6 orang maka panitia keberangkatan Tirtayatra memutuskan tidak jadi melaksanakan Tirtayatra dengan rombongan namun dipersilahkan kepada peserta yang sudah mendaftar dapat ke Besakih sendiri-sendiri.

Atas perubahan ini pusinglah aku, namun segera mencari jalan keluar dengan menghubungi saudara/ kakak di Bali dan mengajaknya ke Besakih. Tanggapan awalnya melegakan, okey bisa nanti bli anter ke besakih dan kami sudah sepakat tanggal 22 pagi sudah di Bali.

Persis sehari sebelumnya yakni tanggal 21 Februari kakakku di Bali mengabarkan melalui istriku bahwa dia tidak dapat mengantarku ke Besakih karena jadwalnya tiba-tiba padat pada hari itu. Jadilah ketigakalinya (“Janji” 3 hal) sesuatu yang kupastikan akan mengikutinya terancam tidak jadi kuikuti ... wah sempat bingung dan kepikiran juga, apa saya memang tidak atau belum diijinkan pergi ke Besakih atau mengikuti KATAM di Jakarta...

Karena keingingan hati yang bertekad untuk ke Besakih, dan sudah membatalkan Acara

KATAM di Jakarta, pikiran terus mencari cara bagaimana bisa pergi ke Besakih...? dan dengan siapa perginya ...?

Iseng ide ke Besakih kulontarkan pada rekan kerja di kantor :

Aku : De masih sibuk gak...? ada waktu luang gak tanggal 22-23 Februari...? Gede Kemulandana : Masih sibuk Mas ... ada apa Mas ...?

Aku : Gak jadi dah kalau masih sibuk, mau ngajak Gede ke Bali, sembahyangan di Besakih

Gede Kemulandana : Ayok Mas Dit...

Aku : Yaa... bagaimana Gede ini, tadi bilangnya masih sibuk, tapi kok mau ikut ke Bali.

Gede Kemulandana : Ya dah Mas Dit...sebenarnya saya juga cukup jenuh pingin refreshing, coba nanti tak tanya dulu sama teman yang sedang buat data laporan, karena saya sedang nunggu data dari teman untuk membuat laporannya.

Rupanya ajakanku mengajak Gede Kemulandana berbuntut panjang, ternyata pacarnya tidak berkenan dengan kepergiannya ke Bali ... dan hanya karena itu mereka putus sebagai pacar. Namun sebenarnya kondisi hubungan mereka sudah sering putus nyambung , entah ini yang sudah keberapa kali mereka putus nyambung ... dugaanku entar sepulang dari Bali Gede bakalan nyambung lagi dengan pacarnya ... maklum pacaran beda keyakinan saling tarik menarik seperti magnet hii hii...

Ajakan kepada teman di kantor yang kedua yaitu saudara Komang Sudiarto lebih mudah karena saat kuajak ke Bali/ Besakih responnya langsung positif, siap Mas Dit kapan kita berangkat... setelah kuceritakan kondisi yang kualami seperti di atas ... Komang langsung menanggapi... Oke kalau begitu kondisinya positif kita berangkat ke Bali / Besakih.

Singkat cerita pada hari sabtu 22 Februari 2014 sekitar jam 12.30, akhirnya kami bertiga berangkat ke Besakih dengan terlebih dahulu mempermaklumkan kepada teman kami yang masih tinggal di hotel dan baru besok akan ke Jakarta dan kembali ke Malang.

Sekitar jam 13.15 kami bertiga sudah berada di atas kapal dan beberapa menit kemudian kapal berlayar menuju Bali. Kondisi kapal yang penuh menyebabkan kami tidak mendapatkan tempat duduk dan harus duduk di atap kapal (lantai atap) karena di atas tidak tersedia tempat duduknya. Atas kondisi kapal tersebut si Gede berceloteh, sial banget dapat kapal yang jelek bin lelet, nasib. Apa begini mau mencari surga ya... hehehe candanya...

Saat di atas kapal itu kuceritakan lagi perihal angka 111 dengan latar HITAM, PUTIH dan MERAH itu kepada Komang dan Gede,... akhir ceritaku kami saling memandang dan aku berkata Mink (panggilanku kepada Komang), coba perhatikan baju/ jaket apa yang kita pakai warnanya. Gede Kemulandana menggunakan baju warna HITAM, Komang menggunakan jaket berwarna PUTIH keabuan dan aku sendiri menggunakan baju MERAH dan jaket merah. Dan Kita berangkat BERTIGA (111).

Kira-kira setelah 2/3 perjalanan ada hal yang menarik tiba-tiba muncul... Ikan Lumba-Lumba tiba-tiba muncul dan berlompatan searah tujuan kapal, kira-kira sekitar 30 detik telah beberapa kali Lumba-Lumba melakukan lompatan di depan kami yang seakan-akan tengah menghibur kami selama perjalanan yang cukup membosankan di atas kapal. Tanpa sadar aku berguman, wah perjalanan ini sepertinya menarik dan memperoleh restu. Mungkin pikiranku saat itu menyangkut munculnya lumba-lumba terkait dengan kepercayaan terhadap binatang ini yang memiliki mitos penyelamat bagi setiap pelaut/ nelayan.

Tiba di Padangbai Pukul 18.30, menunggu bongkar kapal sekitar 15 menit, selanjutnya kami mampir di sekitar Goa Lawah untuk makan malam dengan menu khas sate ikan yang cukup populer di daerah ini. Di warung makan ini ternyata kami juga cukup beruntung, kami masih sempat mencicipi sate ikan dan hidangan lainnya yang kebetulan bersisa untuk 3 PORSI. Karena

setelah kami disajikan makanan, ada pelanggan lain yang masuk ke warung langsung ditolak karena habis.

Selesai bersantap perjalanan dilanjutkan kembali menuju Besakih melalui pusat Kota

Klungkung, kira-kira jam 20.30 kami tiba di Komplek Pura Besakih yang disambut dengan udara yang cukup dingin. Di sekitar pelataran parkir terdapat beberapa mobil pemedak yang tangkil ke Besakih, namun pemedak yang tangkil malam itu jumlahnya tidak terlalu banyak.

Sambil memperhatikan suasana sekitar dan beristirahat sejenak, setelah konsentrasi selama perjalanan menuju Besakih, saat duduk-duduk kami dihampiri oleh seorang penjual canang sari yang menawarkan canangsarinya. Kebetulan kami dari Mataram tidak mempersiapkan sarana yang akan dibawa untuk sembahyang, beberapa bungkus canangsari dan dupa akhirnya kami beli. Tak lupa pedagang canang yang melihat kami sedang memakai pakaian keseharian (bukan pakaian ke pura), kemudian mewarkan kami untuk menggunakan kamar mandi yang dikelolanya (sewa) kepada kami. Wah kebetulan lagi dapat penyambutan untuk persiapan sembahyang. Setelah mandi dan berpakaian sembahyang udara yang cukup dingin sebelumnya sudah terasa tidak terlalu dingin lagi di badan, mungkin tubuh sudah menyesuaikan dengan kondisi

lingkungan setelah mandi. Selesai berkemas barang-barang, selanjutnya kami memasuki Niste Mandala/ bagian luar Pura Besakih, menuju Madya Mandala (bagian tengah) dan selanjutnya ke Mandala Utama.

Di lingkungan Pura Besakih pada umumnya terdapat pura pedarman atau pura kawitan (pura yang dibangun atas kesamaan keturunan/ soroh), untuk itu masing-masing dari kami mencari pura pedarman atau pura kawitan kami masing-masing, seperti Komang menuju Pura Pedarman Pande

Gede Kemulandana Ke Pedarman Pasek. Saya sendiri ke Pedarman/ Kawitan Bendesa Manik Mas yang kebetulan sedang melaksanakan Karya Mlaspas dan Ngeteg Linggih Nubung

Pedagingan Wraspati Kalpa Ring Plinggih Kawitan Bendesa Manik Mas Lan Batu Lepang di Mandala III Pura Penataran Besakih.

Pertama-tama kami mengantarkan Komang menuju Pedarman Pande untuk bersembahyang dan ternyata posisinya bersebelahan dengan tempat yang akan saya tuju (tempat Acara Mlaspas dan Ngeteg Linggih), setelah menunggu komang selesai bersembahyang kemudian saya dan Gede menuju Plinggih Kawitan Bendesa Manik Mas untuk bersembahyang sedangkan Komang menunggu kami di luar pura.

Di areal pura terdapat beberapa pelinggihan dan bale, malam itu juga pemedak yang datang sedang melakukan aktivitas persembahyangan yang diiringi oleh pemangku pura. Suara genta, bau harum asap dupa dan suasana malam itu sungguh hening dan tenang, dan tampak beberapa pemedak lainnya termasuk kami sedang menunggu giliran untuk melakukan persembahyangan. Di salah satu bale saya mencari tempat untuk duduk dan mengamati suasana sekitar sambil mempersiapkan canangsari yang tadi dibeli di parkiran, dupa dan uang seikhlasnya untuk dana punia (sumbangan).

Tidak ada suasana batin khusus yang saya rasakan pada saat memasuki pura selain perasaan seperti memasuki sebuah rumah yang suasananya masih asing buat saya (perasaan seorang yang bertamu). Tidak menunggu terlalu lama rombongan pemedak yang bersembahyang telah selesai, selanjutnya saya mengajak Gede menuju tempat persembahyangan dan terlebih dahulu

menghaturkan canangsari dan dana punia. Begitu pula pemedak lainnya melakukan hal yang sama. Setelah semua pemedak selesai menghaturkan canangsari, banten dll, kemudian pemangku mulai melakukan puja dan memimpin persembahyangan (Kramaning Sembah).

Selesai Kramaning Sembah kemudian Lungsur Tirta yang dipercikkan oleh pemangku pengayah (pemangku yg bertugas) pada malam itu.

Selesai sembahyang saya dan Gede mencari Komang untuk kemudian menuju Mandala III Pura Besakih. Di Mandala III Pura Besakih ini merupakan tempat bagi semua golongan umat Hindu, yang tidak lagi terkotak-kotak oleh keturunan/ soroh dll, pokoknya bila berstatus Hindu,

langsung saja sembahyangnya di Mandala III Pura besakih ini.

Bila seseorang yang masuk ke rumah Hindu, (pindah agama ke Agama Hindu), jika ke Pura Besakih sudah pasti tidak akan memiliki pura pedarman/ kawitan di Komplek Pura Besakih. Karena pura-pura pedarman yang ada di komplek Besakih adalah pura yang dibangun untuk mempersatukan seluruh keturunan yang ada di Bali (seperti soroh pande, pasek, arya, dll). Sedangkan bagi seseorang yang baru masuk Hindu tentunya tidak menjadi keturunan seperti soroh– soroh yang ada sebelumnya, oleh karena itu fungsi Utama dari Mandala III ini juga sabagai tempat/ tujuan semua umat Hindu baik yang baru masuk Hindu maupun seluruh soroh yang ada di Bali.

Memasuki areal Mandala III Pura Besakih, kami dapat melihat rombongan pemedak sedang melakukan puja diiringi oleh seorang pemangku, tidak lama menunggu setelah rombongan selesai melakukan puja dan metirta, kami bertiga kemudian mengambil tempat untuk melakukan persambahyangan dan tak lupa kami juga menghaturkan canangsari, dupa serta dana punia seikhlasnya. Melihat rombongan kami yang hanya bertiga pemangku yang bertugas dan memimpin persembahyangan sebelumnya mempersilahkan kami bertiga untuk melaksanakan sembahyang sendiri tanpa dipimpin oleh beliau... Kami bertiga saling pandang, lalu Gede nyeletuk sembahyang kita nich bertiga ... kemudian disahut oleh Komang, kuwangan pemedak, De... (kita kekurangan orang de), pemangkunya mempersilahkan sembahyang sendiri-sendiri saja... Kamipun tertawa kecil mendengar ocehan Komang ...(kuwang pemedek) hii hii hii...mungkin persis kondisi umat Hindu di Indonesia yang kurang follower jadinya kurang mendapat perhatian yang semestinya dari yang seharusnya mengayomi.

Okelah toh kami sudah disini di Mandala Tiga Besakih, fokus tuk sembahyang ngaturan bakti ke hadapan Ide Sang Yang Widhi Wasa... dan beberapa saat setelah sembahyang kemudian

pemangku yang bertugas di meja banten menghampiri kami tuk memercikkan Tirta.

Oke sudah selesai di sini, sekarang bagaimana...? aku bertanya pada Gede dan Komang. Ke bawah aja Mas sahut Komang, ayo sekalian cari makan tuk persiapan begadang. Di sekitar areal

parkir sebelah utara terdapat beberapa warung/ toko yang masih buka, kemudian kami memesan makanan dan minuman sesuai selera untuk bekal perut tidak keroncongan semalaman.

Selesai santap malam kira-kira jam 23.30 kami mencari posisi tuk mekemit di areal Nista Mandala, kebetulan terdapat baledi samping pintu masuk, di bale itulah kemudian kami bertiga menghabiskan malam. Sekitar 1 jam ngobrol bertiga, Gede mulai mengatur posisi tidur. Saya dan Komang masih ngobrol-ngobrol ringan tentang berbagai hal seperti meditasi, masalah spiritual pribadi, masalah pekerjaan, dll untuk menghilangkan kantuk,saya juga mempraktekkan meditasi mata ketiga, namun tidak terlalu fokus.

Menjelang subuh sekitar jam 03.45 saya dan Komang memutuskan untuk berbaring saja akibat kantuk yang semakin mendera dan udara yang semakin dingin menusuk tulang serta hembusan angin yang langsung turun dari puncak Gunung Agung.

Sempat tertidur beberapa waktu dan terbangun karena ingin pipis, tak terasa 3 (tiga) episode pipis malam itu yang dipicu oleh udara dingin yang terasa menusuk tulang.

Tersentak dan terbangun oleh suara Trisandya yang berkumandang dari Mandala III Pura Besakih, jam 6 pagi, walaupun masih mengantuk, pandangan diarahkan melihat sinar matahari pagi yang berbias di balik Gunung Agung, pemandangan pagi yang sangat indah memudarkan rasa kantuk dan berdecak kagum atas keindahan alam Besakih di pagi hari. Udara segar mengisi paru-paru diiringi tarikan napas cepat seakan ingin melahap habis energi suci udara Besakih yang murni, suci, bersih dan melegakan hidung, hingga ke dada.

Pagi itu juga hujan gerimis yang turun di sekitar Pura Besakih membasahi pepohonan dan bangunan pura seperti embun yang turun dari langit, kepala ini merasakan tetes gerimis kecil, dan hembusan angin dingin, namun tidak berlangsung lama gerimispun berhenti, langit tiba-tiba cerah dan awan memudar dengan cepat... berangsur-angsur terpampang langit biru di atas Besakih dan Gunung Agung yang hijau kokoh menjulang ke langit.

Niatpun muncul untuk berjalan pagi mengelilingi areal komplek Besakih ketika Gede

menyapaku dari belakang ... Mas Dit sudah bangun... ya De ayo ke atas jalan-jalan...Oke Mas Dit, sahut Gede.

Dari pura yang paling depan kami melihat nama-nama pura yang ada, kemudian naik melalui sisi selatan Mandala III Pura Besakih, ada beberapa pura pedarman yang kami ketahui di sisi ini kemudian setelah di atas memutar lagi ke sisi utara Mandala III, tampak Pura Pedarman Pande yang semalam kami kunjungi dan di sebelahnya pintu keluar dari areal Karya Mlaspas, Ngeteg Linggih, Nubung Pedagingan Ring Kawitan Bendesa Manik Mas Lan Batu Lepang Mandala III Besakih.

Pada saat itu perasaanku seperti tertarik ingin masuk lagi ke dalam, kalau turun berarti langsung pulang, sepertinya harus mepamit dulu sebelum balik ke Lombok... atas pertimbangan itu kemudian saya putuskan mengajak Gede untuk sembahyang pamit di Kawitan Bendesa Manik Mas, tanpa berbekal sarana apapun (canang, bunga, dupa dll, belum mandi pula). Karena sudah

niat dan merasa sudah dilukat (disucikan oleh alam yaitu melalui gerimis hujan yang membasahi kepala sewaktu berada di areal niste Mandala (ini versiku saja... hee hee).

Memasuki areal pura tampak beberapa rombongan pemedak tengah mengantri giliran bersembahyang, tak beberapa lama rombongan yang kami tunggu telah selesai melakukan persembahyangan. Ayo De kita kesana... sambil berjalan kami melihat nama-nama gedong yang ada di areal tersebut, yang mana saat malam tadi tidak sempat kami perhatikan karena tidak terlihat pada malam hari, tepat di depan sebuah Gedong, Gede Kemulandana membaca Gedong Kayu Selem, yeh.. serunya ibuku khan sorohnya dari Kayu Selem... dan kusahuti Gede... gak disangka gedong kita bersebelahan De... akhirnya kamu dapat tangkil juga ke sini dan

mengetahui adanya Kawitan Gedong Kayu Selem disini... Syukur dah kalau begitu tidak sia-sia saya mengajak Gede kesini.

Berlalu dari depan gedung kami mencari posisi sembahyang agak di belakang persis di samping selatan bale pewedaan pemangku ... Saat duduk langsung kupusatkan pikiran dan

tidakmemperhatikan sekitarku ... tidak beberapa lama bunyi genta mengalun tanda pemangku mulai menghaturkan puja mantra mengawali persembahyangan, sejak genta berbunyi

kesadaranku masuk dalam perasaan haru... seperti suasana ada yang datang menyambut

kehadiran saya dan bibir ini berguman... saya hadir di sini... saya datang... saya sendiri (terlintas wajah istri dan anak-anak)...

Sayup terdengar suara genta dan lantunan mantera pemangku... dan terasa dari kedua mata yang terpejam mengalirkan air suci bening yang turun menetes dan tak dapat ditahan lagi... dada terasa bergemuruh, tertekan namun tidak sesak ... kesadaran seperti berkomunikasi terhadap “sesuatu” mungkin kesadaran diri sendiri yang juga seolah-olah menjawab pertanyaan diri sendiri... seakan-akan menjawab ...ya dimaklumi, bisa dimengerti, bisa dipahami... luar biasa perasaan ini...??? apa ini... ??? bagaimana ini bisa mengharukan seperti ini ... ??? sesuatu apa itu...???

Entahlah, sambil kesadaran tetap terjaga pada tahapan kramaning sembah terus dilakukan sesuai dengan arahan pemangku dan itu semua dilakukan tanpa sarana apapun (tidak pakai dupa menyala, tidak pakai bunga saat kraming sembah ataupun tidak menghaturkan

canang).

Sejenak tersadar akan rasa malu meneteskan air mata yang terasa basah di pipi, kesadaran dipulihkan sembari membuka mata dan mengusap air mata yang menetes... namun perasaan masih tak menentu sembari menunggu percikan tirta dari pemangku yang bertugas pagi itu.

Dalam dokumen Mata Ketiga Dan Intuisi (Halaman 148-158)