• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berita merupakan sarana informasi publik yang disampaikan oleh suatu media dengan mengedepankan asas-asas dan etika jurnalistik. Fungsi dan peranan sebuah berita sangatlah penting karena berita dapat dijadikan sebagai sarana kontrol oleh publik. Oleh karena itu isi dan muatan suatu berita haruslah berimbang dan netral, karena dampak yang ditimbulkan oleh berita terhadap masyarakat begitu besar. Sebab itulah mengapa berita perlu dikontrol dan diawasi agar berita tersebut tidak mendatangkan dampak negatif bagi masyarakat. Hal tersebut juga telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an Surah Al-Hujurat ayat 6 :

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Q.S. Al-Hujuraat : 6)

Berita merupakan hasil rekonstruksi dari suatu kejadian oleh si pembuat berita (Pers/Wartawan). Dalam membuat berita, seorang jurnalis harus berpedoman terhadap asas-asas dan etika jurnalistik. Karena pers merupakan pilar keempat dari demokrasi. Sehingga peranan tersebut haruslah dijaga dengan baik, karena fungsi kontrol masyarakat terhadap pemerintah terwakili oleh pers. Tak terkecuali di Indonesia, yang dimana pers diawasi oleh lembaga yang bernama Dewan Pers. Hal tersebut telah diatur dalam UU No.40 Tahun 1999 mengenai Pers.

Netralitas dan independensi dalam membuat berita sangatlah penting agar berita tersebut tidak bersifat menjatuhkan kelompok yang dianggap kontra oleh si pembuat berita. Berita juga tidak boleh hanya terpaku pada satu isu di suatu tempat saja karena sifat berita begitu universal bagi masyarakat. Presentase pemberitaan dalam suatu media terhadap letak geografi s suatu tempat juga

harus berimbang, agar berita tersebut juga tidak mendatangkan kecemburuan sosial di masyarakat. Hal ini berlaku bagi media yang mengklaim dirinya sebagai media nasional yang memberitakan segala peristiwa yang terjadi diseluruh wilayah negara tersebut.

Akan tetapi hal tersebut sangat kontradiktif dengan pemberitaan yang ada di media Indonesia saat ini. Kecendrungan akan keberpihakan terhadap suatu kelompok tertentu, belum lagi berita yang hanya terfokus kepada isu dan peristiwa yang terjadi di satu tempat saja, sangat banyak menghiasi wajah pemberitaan media di Indonesia. Netralitas dan penerapan asas berimbang belum sepenuhnya bisa terapkan oleh pewarta berita. Sehingga terkadang memunculkan hasil liputan yang kurang berimbang dan bermanfaat bagi masyarakat secara luas. Tidak hanya itu, akibat dari euforia akan adanya kebebasan pers, banyak dari pewarta berita dan media massa yang lupa akan fungsi dan peran mereka bagi masyarakat. Salah satu contohnya adalah berita yang tidak berimbang dari segi letak geografi s suatu isu dan peristiwa.

Dan itu bisa kita saksikan diberbagai media massa, baik itu cetak, elektornik dan media online. Berikut ini adalah contoh diagram mengenai presentase pemberitaan di salah satu program berita :

Dapat dilihat dari diagram diatas bagaimana berita yang dimuat dalam acara Kabar Petang TV One cenderung terfoukus kepada isu yang ada di Pulau Jawa saja (Jawa Sentris). Pemberitaan isu dan peristiwa yang terjadi di wilayah pulau Jawa begitu mendominasi dibandingkan daerah yang ada diluar pulau Jawa. Dari segi letak geografi s hal tersebut tentu tidak berimbang. Data

tersebut diperoleh dari hasil observasi penulis pada acara Kabar Petang edisi Rabu 08 September 2014 pukul 17:00 WIB. Dengan durasi selama selama 120 menit yang terbagi kedalam beberapa segmen. Tidak hanya pada berita yang berbentuk audio visual saja yang cenderung kepada Jawa sentris, akan tetapi berita berbentuk running text pun juga cenderung kepada Jawa sentris.

(Diagram 1.4 Presentase Pemberitaan berbentuk running text di Kabar Petang TV One)

Tidak jauh berbeda dengan berita yang berbentuk audio visual, running text yang disiarkan oleh TV One juga masih cenderung Jawa sentris. Dapat dilihat dari presentase berita yang ditayangkan dalam bentuk running text, 60% dari sumber informasi tersebut berasal dari isu yang ada di Pulau Jawa khususnya Jakarta. Sisanya 30% informasi berasal dari isu yang ada di luar Pulau Jawa. Dan hanya 10% yang memuat isu internasional. Jakarta sebagai ibu kota negara masih mendominasi pemberitaan yang ditampilkan didalam running text tersebut. Hal tersebut tentu bertentangan dengan peraturan yang dimuat dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (PPP) dan Standar Program Siaran (SPS) mengenai Prinsip-Prinsip Jurnalistik.

Peraturan yang dimuat dalam PPP tersebut diatur dalam Bab XVIII mengenai Prinsip-Prinsip Jurnalistik terutama Pasal 22 ayat 1 yang menyebutkan bahwa lembaga penyiaran wajib menjalankan dan menjunjung tinggi idealisme jurnalisik yang menyajikan informasi untuk kepeningan publik dan pemberdayaan masyarakat, membangun dan menegakkan demokrasi, mencari kebenaran, melakukan koreksi dan kontrol sosial, dan bersikap independen. Pada ayat 2 yang menyatakan bahwa lembaga penyiaran wajib menjunjung tinggi prinsip-prinsip jurnalisik, antara lain: akurat, berimbang, adil, tidak beritikad buruk, tidak menghasut dan menyesatkan, tidak mencampuradukkan fakta dan opini pribadi, tidak menonjolkan unsur sadisis, tidak mempertentangkan suku, agama, ras dan antargolongan, serta tidak membuat berita bohong,

tnah, dan cabul.

Sementara itu peraturan yang termuat dalam SPS Bab XVIII mengenai Program Siaran Jurnalistik Pasal 40 berbunyi program siaran jurnalistik wajib memperhatikan prinsip-prinsip jurnalistik, diantaranya adalah berita yang dimuat harus akurat, adil, berimbang, tidak berpihak, tidak beritikad buruk, tidak menghasut dan menyesatkan, tidak mencampuradukkan fakta dan opini pribadi, tidak menonjolkan unsur kekerasan, dan tidak mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan. Peraturan tersebut jelas mengatur mengenai bagaimana informasi yang diliput dan dipublikasikan oleh media harus berimbang dan adil, baik itu dari segi wilayah, suku ras dan sebagainya. Namun peraturan tersebut ternyata tak sejalan dengan realitas yang ada di media saat ini. Informasi yang berasal dari media massa di pusat kekuasaan dinilai tidak mampu lagi memberikan informasi yang sepadan dengan kebutuhan khalayak di daerah.

Pemberitaan yang cenderung fokus kepada isu dan peristiwa yang terjadi di pulau Jawa tentu akan membuat masyarakat diluar pulau Jawa dipaksa untuk hanya terfokus kepada peristiwa yang terjadi di pulau Jawa saja. Sementara disisi lain, di tempat mereka berada juga terdapat isu yang tak kalah pentingnya dengan isu yang ada di pulau Jawa. Dampak lain yang dapat timbul dari pemberitaan yang cenderung kepada jawa sentris adalah akan terbentuknya stereotype negatif oleh masyarakat diluar pulau Jawa ketika berita yang dimuat adalah berita negatif. Hal tersebut tentu

bertentangan dengan fungsi pers sebagaimana telah diatur dalam UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 3 ayat 1 yang berbunyi Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.

Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi mengapa berita nasional yang ditampilkan oleh media-media di Indonesia hanya terfokus kepada wilayah pulau Jawa saja. Yang pertama adalah karena pusat pembangunan infrastruktur dan ekonomi berada di pulau Jawa. Selain itu, pusat pemerintahan pusat pun juga berada di pulau Jawa. Maka tak heran apabila segala pemberitaan yang ada di media Nasional di dominasi oleh isu-isu dan peristiwa yang terjadi di pulau Jawa. M.E Mc.Combs dan D.L.Shaw dalam “Public Opinion Quarterly” terbitan tahun 1972 yang berjudul “The Agenda-Setting Function of Mass Media”, kedua pakar tersebut mengatakan bahwa jika media memberikan tekanan kepada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting (Effendi, 1993:287). Sementara itu Manhein menyatakan bahwa agenda setting meliputi tiga agenda, yaitu agenda media, agenda khalayak, dan agenda kebijaksanaan (Effendi, 1993:288). Media tentu tidak memberitakan semua persitiwa yang ada, akan tetapi menyeleksi dan membentuknya menjadi sebuah peristiwa yang bernilai berita.

Hal ini erat kaitannya dengan apa yang dikemukakan Mc.Quail mengenai hubungan antara media, masyarakat dan budaya. Dimana lembaga media massa merupakan bagian dari struktur masyarakat dan infrastuktur teknologinya adalah bagian dari dasar ekonomi, kekuasaan dan kekuatan, sementara ide, cerita, dan informasi yang disebarkan oleh media jelas merupakan aspek penting dari budaya kita (2011:86). Realitas sosial yang ada di masyarakat merupakan sebuah hasil rekonstruksi peristiwa dari media massa itu sendiri. Menurut Eriyanto (2005:19) fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi yang dapat hadir dari konsep subjektif atau pandangan tertentu wartawan. Pemahaman akan keseimbangan muatan informasi dalam berita sangatlah penting. Karena isu dan peristiwa yang dipublikasikan oleh media massa akan menjadi penting ketika isu tersebut dibutuhkan oleh masyarakat luas.

Media sekarang ini kebanyakan tak lagi menyiarkan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat, tetapi kebanyakan menampilkan apa yang diminati oleh publik. Mayoritas penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa. Bahkan dari 237.641.326 juta jumlah penduduk Indonesia (berdasarkan sensus penduduk tahun 2010), pulau Jawa dihuni oleh 60% dari total jumlah penduduk Indonesia. Maka tak heran apabila media lebih cenderung tertarik untuk memberitakan isu dan peristiwa yang terjadi di pulau Jawa. Karena jumlah penonton untuk segmentasi tersebut cukup besar. Seperti apa yang dikatakan oleh McQuail (2005:185) bahwa media akan mengikuti pilihannya sendiri dan dalam situasi tertentu, pemerintah bisa melakukan intervensi untuk melindungi kepentingan publik. Pertanyaan sekarang, apakah media mampu untuk melayani kebutuhan dan kepentingan seluruh lapisan masyarakat termasuk kaum minoritas. Serta pemerintah dapat bertindak tegas terhadap media yang melanggar regulasi yang telah ada ?

Oleh karena itu, netralitas dan penerapan asas berimbang dalam pemberian informasi sangatlah penting. Pers sebagai lembaga sosial dan wahana komunikasi massa harus melaksanakan fungsi dan peranannya dengan baik. Sifat media massa yang mencakup masyarakat luas tentu mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap masyarakat, terutama menyangkut hal yang terkait dengan kebutuhan masyarakat akan informasi. Penulis pun mengambil kesimpulan bahwa, realitas yang di rekonstruksi oleh media massa haruslah sesuai dengan apa yang direfl eksikan oleh

masyarakat. Pers sebagai dimensi keempat dalam era demokrasi harus tetap independen dan menjaga kenetralannya sebagai pembuat berita. Serta media massa sebagai sebuah lembaga juga perlu untuk mengevaluasi kembali status mereka sebagai sebuah lembaga, khsususnya mereka yang mengklaim dirinya sebagai lembaga yang bersifat sebagai media nasional. Sudah seharusnya semua kembali kepada fi trah dan fungsinya masing-masing.

Karena sesungguhnya pers merupakan salah satu

pekerjaan yang mulia, apabila pers dapat menyampaikan berita yang berimbang dan bermanfaat untuk masyarakat. Karena menyampaikan berita yang benar dan bermanfaat adalah salah satu upaya untuk menegakkan amar Ma’ruf Nahi

Mungkar. Rasulullah pernah bersabda: “Jihad paling afdhol ialah menyampaikan perkataan yang adil di hadapan penguasa yang zalim dan kejam. (HR. Aththusi dan Ashhabussunan)” dan “Hendaklah kamu beramar ma’ruf (menyuruh berbuat baik) dan bernahi mungkar (melarang berbuat jahat). Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atasmu orang-orang yang paling jahat di antara kamu, kemudian orang-orang yang baik-baik di antara kamu berdo’a dan tidak dikabulkan (do’a mereka). (HR. Abu Zar)” Dari dua hadits tersebut, terlihat jelas bahwa sesungguhnya pekerjaaan sebagai pewarta berita adalah pekerjaan yang mulia. Namun apabila pekerjaan tersebut tidak dijalankan sebagaimana mestinya, maka akan menjadi bencana.

Mengungkap

“Keseksian” Program