• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ganteng Ganteng Kok Berantem Terus Devi Permatasar

Munculnya media televisi sangat berperan penting dalam kehidupan individu, dimana media ini memberikan hiburan- hiburan dan informasi-informasi yang sangat kita butuhkan. Media televisi juga membantu menciptakan realitas bagi banyak orang. Mereka memberikan program-program yang sangat menarik sehingga mendapatkan perhatian dari khalayak sebanyak mungkin, mereka juga dapat menjual hal ini kepada pengiklan. Seperti khalayak sendiri dianggap sebagai kepala kosong yang siap untuk menampung seluruh pesan komunikasi yang dicurahkan kepada audien melalui penayangan - penayangan media televisi. Dalam media televisi, tingginya rating adalah ukuran keberhasilan. Dalam dunia televisi, gambar mempunyai arti dan pengaruh lebih besar dibandingkan dengan kata-kata karena gambar dapat bercerita sendiri apa yang sedang terjadi. Kekuatan gambar di televisi mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan manusia, kelompok masyarakat bahkan anak-anak. Maka maraknya persaingan didunia penyiaran menjadikan suatu persaingan dalam menyajikan program-program tayangan yang menarik baik itu sinetron, fi lm, hiburan, pendidikan, maupun

informasi. Namun terkadang persaingan itu disalahgunakan dengan banyaknya sinetron-sinetron yang tidak mendidik dan banyak menayangkan unsur kekerasan.

Etika komunikasi seakan tak berdaya menghadapi maraknya kekerasan dalam media. Pornografi , kekerasan naratif, agresivitas,

kekerasan virtual, kekerasan simbolik, dan kekerasan lembut yang merajalela tanpa ada struktur kuat yang melawannya. Kekerasan bisa didefi nisikan sebagai prinsip tindakan yang mendasarkan

diri pada kekuatan untuk memaksa pihak lain tanpa persetujuan (Haryatmoko, 2007: 119). Dalam kekerasan terkandung unsur dominasi terhadap pihak lain dalam berbagai bentuknya: fi sik,

verbal, moral, psikologis atau melalui gambar. Penggunaan kekuatan manipulasi, fi tnah, pemberitaan yang tidak benar,

pengkondisian yang merugikan, kata-kata yang memojokkan, dan penghinaan merupakan ungkapan nyata kekerasan.

Logika kekerasan merupakan logika kematian karena bisa melukai tubuh, melukai secara psikologis, merugikan dan bisa menjadi ancaman terhadap integritas pribadi. Menurut Francois Chirpaz kekerasan adalah kekuatan yang sedemikian rupa dan tanpa aturan yang memukul dan melukai baik jiwa maupun badan, kekerasan juga mematikan entah dengan memisahkan orang dari kehidupan atau dengan menghancurkan dasar kehidupan. Melalui penderitaan atau kesengsaraan yang diakibatkannya, kekerasan tampak sebagai representasi kejahatan yang diderita manusia, tetapi bisa juga ia lakukan terhadap orang lain. Jadi, kekerasan tidak harus dalam bentuk fi sik, tetapi bisa menghancurkan dasar

kehidupan seseorang. Sasarannya bisa psikologis seseorang, bisa cara berpikirnya, dan bisa afeksinya (Haryatmoko, 2007: 120).

Kekerasan sering terkait dengan penggambaran dalam media dengan kemungkinan bahwa gambar bisa melemah, lalu membuka dialektika banalisasi dan sensasionalisasi (Haryatmoko, 2007:120). Dalam konteks itu, gambar menjadi komoditi, ada yang menawarkan, yang meminta, yang tidak tertarik sehingga memberi pekerjaan kepada penasihat komunikasi. Politisi mengutuk pelaku kekerasan tanpa menyebut pihak mana. Mereka membangun citra supaya tetap mendapat dukungan konstituen dengan hadir di tempat setelah kerusuhan terjadi, tanpa mengambil posisi jelas. Gambar membuat kekerasan menjadi biasa karena menghadirkan yang umum dan normal dalam dunia tontonan yang diatur sedemikian rupa sehingga pemirsa di biasakan tidak bisa melakukan apa-apa. Padahal penggambaran di media telah menciptakan dunia yang sulit, dibedakan antara riil, simulasi, hiperriil, dan bohong.

Kekerasan dalam fi lm, ksi, siaran, dan iklan menjadi bagian

dari industri budaya yang tujuan utamanya ialah mengejar rating program tinggi dan sukses pasar. Program yang berisi kekerasan sangat jarang mempertimbangkan aspek pendidikan, etis, dan efek traumatisme penonton. Pengakuan bahwa tidak semua kekerasan jelek karena ada juga presentasi dalam media yang mengandung dimensi seni, makin mempersulit pemilihan mana yang mendidik dan mana yang merugikan atau distruktif. Dimensi seni dalam

kekerasan media yang disatukan melalui tubuh sosial dan institusi budaya selalu mencari legimitasi. Kekerasan dalam media sebagai seni mencari pembenarannya.

Kekerasan adalah salah satu bentuk yang sering muncul dalam dunia hiburan audio-visual mulai dari sinetron, fi lm, dan

kartun. Dalam hal ini saya akan memberikan bahasan tentang Sinetron ‘Ganteng-Ganteng Serigala’ yang tayang di SCTV setiap hari pukul 19.30 WIB. Sinetron yang sangat digemari oleh anak- anak dan orang dewasa yang sangat tidak mendidik dan banyak unsur kekerasan yang diangkat dalam sinetron tersebut. Ganteng- Ganteng Serigala adalah sebuah sinetron yang ditayangkan di SCTV. Sinetron ini diproduksi oleh Amanah Surga Productions. Sinetron yang mengisahkan tentang lima vampir yang menjalani hidup sebagai anak SMA. Tristan (Kevin Julio) tak ada yang tahu bahwa Tristan dan saudara-saudaranya yaitu Digo (Aliando Syarief), Yasha (Dicky Prasetya), Liora (Michelle Joan), dan Thea (Dahlia Poland) adalah bangsa vampir. Ayah mereka yaitu Ayah Agra (Rudi Kawilarang) mengutus Tristan untuk mencari dan mengambil darah suci yang dimiliki Nayla (Jesica mila). Demi bisa dekat Tristan berusaha membuat Nayla jatuh cinta.

Tetapi mendekati Nayla tidak segampang apa yang Tristan pikirkan. Galang (Ricky Harun) sahabat Nayla dari kecil akan selalu melindungi Nayla dari kejahatan apa pun. Suatu hari galang pergi ke hutan, ditengah hutan ia tersesat lalu digigit oleh serigala bernama Ratu Lestat (Zora Vidyanata). Sejak itu galang memiliki kekuatan yang sangat super dari Ratu Lestat yang mengutusnya untuk menjaga darah suci. Acara Ganteng-Ganteng Serigala ini melanggar regulasi penyiaran di antaranya, pertama adegan murid berseragam sekolah seolah-olah tengah memakan kelinci hidup dengan mulut yang berdarah-darah. Adegan ini tidak sesuai dengan Undang-undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan regulasi turunannya. Tindakan penayangan telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 Pasal 14 yang berbunyi “(1) lembaga penyiaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada anak dengan menyiarkan program siaran pada waktu yang tepat sesuai dengan penggolongan program siaran. (2) lembaga penyiaran wajib memperhatikan kepentingan anak dalam setiap aspek produksi siaran dan pasal 21 yang berbunyi “lembaga penyiaran wajib

tunduk pada ketentuan penggolongan program siaran berdasarkan usia dan tingkat kedewasaan khalayak di setiap acara. Serta Standar Program Siaran (SPS) Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 Pasal 15 ayat (1) yang berbunyi “Program siaran wajib memperhatikan dan melindungi kepentingan anak-anak dan remaja”, Pasal 16 ayat (2) huruf b yang berbunyi “penggambaran tentang lembaga pendidikan harus mengikuti ketentuan sebagai berikut: tidak menampilkan perilaku dan cara berpakaian yang bertentangan dengan etika yang berlaku di lingkungan pendidikan”, Pasal 23 huruf (d) dan (e) yang berbunyi “Program siaran yang memuat adegan kekerasan dilarang: menampilkan peristiwa dan tindakan sadis terhadap hewan dan menampilkan adegan memakan hewan dengan cara yang tidak lazim”, Pasal 37 ayat (4) huruf a yang berbunyi “Program siaran klasifi kasi R dilarang menampilkan: muatan yang mendorong remaja

belajar tentang perilaku yang tidak pantas dan membenarkan perilaku yang tidak pantas tersebut sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari”. pelanggaran ini dikategorikan sebagai perlindungan kepada anak-anak dan remaja, program siaran tentang lingkungan pendidikan, pembatasan adegan kekerasan serta penggolongan program siaran.

Kedua, saya menemukan adegan yang ditayangkan secara eksplisit dimana murid berseragam sekolah tengah menonjok salah satu temannya. Adegan ini melanggar Standar Program Siaran (SPS) yang menyatakan bahwa Pasal 15 ayat (1) yang berbunyi “Program siaran wajib memperhatikan dan melindungi kepentingan anak- anak dan remaja”. Pasal 23 huruf d yang berbunyi “Program siaran yang memuat adegan kekerasan dilarang: menampilkan peristiwa dan tindakan sadis terhadap manusia”. Pasal 37 ayat (4) huruf a yang berbunyi “Program siaran klasifi kasi R dilarang menampilkan: muatan

yang mendorong remaja belajar tentang perilaku yang tidak pantas dan membenarkan perilaku yang tidak pantas tersebut sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari”. Pasal 25 yang berbunyi “Promo program siaran yang mengandung muatan adegan kekerasan dibatasi hanya boleh disiarkan pada klasifi kasi D, pukul 22.00-03.00

waktu setempat. Pasal 23 huruf a yang berbunyi “program siaran yang memuat adegan kekerasan dilarang: menampilkan secara detail peristiwa kekerasan, seperti: tawuran, pengeroyokan, penyiksaan, perang, penusukan, penyembelihan, mutilasi, terorisme, pengrusakan

barang-barang secara kasar atau ganas, pembacokan, penembakan dan bunuh diri”.Serta melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) yang menyatakan bahwa Pasal 14 yang berbunyi “(1) lembaga penyiaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada anak dengan menyiarkan program siaran pada waktu yang tepat sesuai dengan penggolongan program siaran. (2) lembaga penyiaran wajib memperhatikan kepentingan anak dalam setiap aspek produksi siaran. Pasal 21 ayat (1) yang berbunyi “lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan penggolongan program siaran berdasarkan usia dan tingkat kedewasaan khalayak di setiap acara”. Pasal 17 yang berbunyi “lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan dan pembatasan program siaran bermuatan kekerasan”.

(Gambar 4.5 dan gambar 4.6 Tristan sedang menonjok galang hingga galang terjatuh ke lantai tayang pada jam 19.30 di SCTV pada tanggal

26 April 2014)

(Infografi s 4.2 Tayangan kekerasan dalam sinetron Ganteng-Ganteng

Kekerasan yang Digemari