Kotak 30: Kekerasan berbasis berbasis gender dalam situasi bencana*
• Sekurang-kurangnya 50.000 sampai 64.000 perempuan pengungsi internal di SierraLeone mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh para gerilyawan bersenjata. Di samping itu, separuh perempuan pengungsi internal yang telah kontak langsung dengan para gerilyawan dilaporkan mengalami kekerasan seksual.
• 25 % perempuan Azerbaijan yang telah di survey di tahun 2000 oleh Pusat
Pengendalian dan Pencegahan penyakit Amerika Serikat diketahui telah dipaksa berhubungan seks; di antara mereka yang paling rawan mengalami pemaksaan hubungan seks adalah para pengungsi perempuan .
• Menurut survei pemerintah pada 1999, 37% pekerja seks di Sierra Leone yang berusia
di bawah 15 tahun, 80% dari jumlah tersebut tidak memiliki keluarga atau merupakan anak-anak yang menjadi pengungsi akibat perang.
• Mayoritas perempuan Tutsi dalam peristiwa genosida di Rwanda pada 1994 mengalami
kekerasan berbasis berbasis gender dalam berbagai bentuk; dengan sekitar 250.000 sampai 500.000 di antaranya mengalami kekerasan seksual.
• Sekitar 20.000 sampai 50.000 perempuan diperkirakan telah diperkosa selama perang
di Bosnia-Herzegovina pada awal 1990-an.
• Laporan-laporan lapangan tentang dampak sosial pasca bencana alam menyebutkan
telah terjadi banyak pelecehan, seperti dalam laporan tentang banjir di Australia berikut ini: “Hubungan antar manusia telah terungkap dan kekuatan serta kelemahan hubungan terlihat jelas. Akibatnya, perempuan yang terisolasi semakin tersisih, kekerasan dalam rumah tangga meningkat dan hubungan utama dengan keluarga, teman dan pasangan makin terancam. Meningkatnya kekerasan terhadap perempuan juga dilaporkan terjadi di Filipina pasca letusan Gunung Piatobo, di Amerika Tengah dan Utara pasca Badai Mitch; dan di sejumlah negara pasca tsunami 2004
Dari: Guidelines for Gender-based Violence Interventions in Humanitarian Settings: Focusing on Prevention of and Response to Sexual Violence in Emergencies. Inter-agency Standing Committee (IASC), 2005.
Kekerasan berbasis gender terjadi dalam berbagai bentuk dan cakupan di berbagai budaya, negara dan wilayah. Kekerasan berbasis gender yang terjadi dalam situasi darurat kemanusiaan umumnya jarang dilaporkan, akan tetapi kekerasan ini telah banyak didokumentasikan selama terjadinya krisis kemanusiaan (lihat Kotak 30).
Konsekuensi kekerasan berbasis berbasis gender bisa terjadi sebagai akibat langsung dari tindakan kekerasan atau bisa juga sebagai akibat dari efek jangka panjang:
• Konsekuensi fisik ada beragam mulai dari luka ringan sampai luka berat yang menimbulkan kematian atau
cacat permanen; kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi tidak aman dan komplikasi; hasil kehamilan yang tidak baik, termasuk keguguran, berat badan lahir rendah dan kematian janin; infeksi
penularan seksual, termasuk HIV; penyakit
radang panggul, ketidaksuburan, sindrom nyeri kronis; infeksi saluran kemih.
• Konsekuensi psikologis termasuk: gelisah, gangguan stres pasca trauma (PTSD/Post Trauma Stress Disorder); depresi; perasaan rendah diri; tidak mampu mempercayai orang lain, takut, peningkatan penyalahgunaan dan penggunaan obat-obatan; gangguan tidur; sulit makan; disfungsi seksual; dan bunuh diri.
• Kekerasan berbasis gender juga sangat
besar dampaknya pada kesehatan sosial individu dan komunitas dalam hal stigma, isolasi dan penolakan (termasuk oleh suami dan keluarga); kehilangan potensi pendapatan bagi perempuan; gangguan pendidikan pada remaja; dan pembunuhan (misalnya pembunuhan karena harga diri atau pembunuhan bayi perempuan).
2 Tujuan
Bab ini secara khusus membahas tanggung jawab petugas, staf program dan penyedia layanan kesehatan reproduksi dalam mencegah dan merespons konsekuensi kesehatan dari kekerasan berbasis gender. Tujuan dari bab ini adalah membantu mereka dalam:
• Mengetahui jenis-jenis kekerasan berbasis
gender;
• Memahami pendekatan multisektor dalam
pencegahan dan merespon kekerasan berbasis gender;
• Mendukung integrasi elemen-elemen
pencegahan dan respon terhadap kekerasan berbasis berbasis gender ke dalam sektor/kluster kesehatan.
3 Penyusunan Program
Pencegahan kekerasan berbasis gender dan penyediaan pelayanan klinis rahasia untuk korban/penyintas perkosaan merupakan bagian dari Paket Pelayanan Awal Minimum kesehatan reproduksi dalam situasi darurat bencana (PPAM) (lihat Bab 2: PPAM). Begitu PPAM diberlakukan, para petugas dan manajer program kesehatan reproduksi, bekerja sama dengan sektor/cluster yang terkait untuk memperluas pelayanan klinis dan psikologis serta dukungan sosial bagi para korban/ penyintas perkosaan dan kekerasan berbasis berbasis gender lainnya, serta memberikan dukungan inisiatif pencegahan kekerasan berbasis gender.
3.1 Koordinasi
Saat ini, penyusunan program dengan pendekatan multisektor merupakan “contoh yang terbaik” dalam mencegah dan merespon kekerasan berbasis gender dalam situasi kemanusiaan. Karakteristik utama model multisektor adalah melibatkan seluruh komunitas yang terkena dampak, kerjasama dan kolaborasi antar disiplin dan antar organisasi, serta koordinasi di antara para pemberi layanan kesehatan, psikologis, hukum dan keamanan dalam merespon kebutuhan- kebutuhan para korban/penyintas kekerasan berbasis gender.
Prinsip utama pendekatan ini adalah menghargai hak dan kebutuhan-kebutuhan utama para korban/penyintas kekerasan berbasis berbasis gender dalam hal akses mendapatkan layanan dukungan dan menghormati, jaminan kerahasiaan dan keamanan, serta kemampuan dalam menentukan tindakan untuk menangani insiden kekerasan berbasis berbasis gender.
Karena kolaborasi multisektor sangat penting dalam program kekerasan berbasis gender, para petugas dan program manajer kesehatan reproduksi harus aktif terlibat
dalam proses menjelaskan peran dan tanggung jawab serta kolaborasi di dalam dan di antara sektor dalam mencegah dan merespon kekerasan berbasis gender. Hasil dari proses ini kadangkala disebut sebagai Standard Operating Procedures/SOP untuk kekerasan berbasis gender. Penyusunan SOP yang disepakati harus merupakan suatu proses kolaborasi yang terjadi melalui sejumlah konsultasi dengan para pemangku kepentingan dan aktor dalam situasi tersebut (lihat Bacaan Lanjutan).
Semua sektor/cluster memiliki peran dalam mencegah dan merespon kekerasan berbasis gender. Namun, proses ini setidaknya harus menyertakan perwakilan dari sektor kesehatan, psikologis, keselamatan/keamanan dan legal/ kehakiman/perlindungan (badan-badan PBB, LSM nasional dan internasional, organisasi- organisasi berbasis komunitas , serta badan- badan pemerintah jika perlu).
Perwakilan dari sektor/cluster lain (termasuk pendidikan, pangan dan gizi, manajemen kamp/shelter/perecanaan dan air/sanitasi) juga harus terlibat dalam penyusunan SOP.
Dalam pendekatan multisektor, tanggung jawab sektor/cluster kesehatan termasuk: menyediakan pelayanan kebutuhan kesehatan dan psikologis bagi korban/penyintas
perkosaan, sunat perempuan (FGM) atau bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender lainnya; mengumpulkan bukti-bukti forensik yang diperlukan; merujuk korban/penyintas untuk mendapatkan dukungan psikologis dan kesehatan lanjutan; memberikan kesaksian jika korban memilih jalur hukum; dan meningkatkan kesadaran tentang kekerasan berbasis gender.
3.2 Needs Assessment/penilaian
kebutuhan
Integrasikan pertimbangan-pertimbangan kekerasan berbasis gender ke dalam need assessment bagi perencanaan layanan
kesehatan reproduksi secara komprehensif. Dalam kerangka kerja multisektor, para petugas dan manajer program kesehatan reproduksi merupakan bagian dari sektor/ cluster kesehatan dan harus berkolaborasi dengan aktor-aktor sektor/cluster lainnya yang terlibat dalam program kekerasan berbasis gender untuk mengumpulkan informasi berikut: Di level komunitas:
• Tingkat pemahaman tentang konsekuensi
kesehatan dari kekerasan berbasis gender serta waktu dan tempat untuk mengakses layanan yang relevan.
Di level program:
• Aktor-aktor internasional dan lokal yang
bekerja pada kekerasan berbasis gender;
• Keberadaan prosedur, protokol, praktek
dan bentuk laporan; pelaksanaan nasional, multisektor dan antar lembaga,
• Lokasi dan tipe layanan yang menyediakan
pelayanan bagi para korban/penyintas kekerasan berbasis gender (kesehatan, dukungan komunitas, sosial, psikologis, legal);
• kepatuhan kepada standar etika dan
keselamatan dalam layanan kesehatan (keselamatan, privasi, kerahasiaan, menghargai);
• Kebutuhan pelatihan bagi penyedia
pelayanan kesehatan dan staf program kesehatan reproduksi;
• Tipe-tipe dan jumlah kasus kekerasan
berbasis gender yang dilaporkan kepada layanan kesehatan.
Secara umum diakui bahwa kekerasan berbasis gender, terutama kekerasan seksual, di semua tempat di seluruh dunia jarang dilaporkan. Para korban/penyintas kekerasan berbasis gender sangat takut akan konsekuensi sosial, fisik, psikologis atau legal yang bakal terjadi jika mereka mengungkapkan kekerasan tersebut. Dalam situasi yang ditandai dengan ketidakstabilan, ketidakamanan, kehilangan, kekacauan hukum dan tata tertib serta
kawin paksa, kejahatan harga diri, serangan seksual, pelecehan seksual pada anak- anak, dan prostitusi);
• definisi legal tentang perkosaan. Usia sah
untuk diperbolehkan melakukan aktivitas seksual. Apakah ada perbedaan antara anak perempuan dan laki-laki?
• undang-undang nasional tentang terminasi
kehamilan akibat kekerasan seksual;
• undang-undang pelaporan wajib untuk
kasus-kasus pelecehan seksual dan kekerasan seksual;
• kader-kader penyedia layanan kesehatan
yang berwenang untuk mengumpulkan bukti-bukti forensik dan ragam bukti-bukti forensik yang diperbolehkan di pengadilan;
• rencana/kebijakan nasional penghapusan
kekerasan berbasis gender. Jenis kekerasan berbasis gender mana yang menjadi target rencana?