• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabel 5: Terapi Kombinasi Dua-Obat yang direkomendasikan untuk HIV-PEP pada Anak

Kotak 6: Tiga-obat ARV PEP

3.3 Mengurangi penularan H

Untuk mengurangi penularan HIV sejak

permulaan respon bencana, petugas kesehatan reproduksi harus bekerja dengan para mitra sektor/cluster kesehatan untuk:

• menetapkan praktik transfusi darah yang

aman dan rasional;

• memastikan penerapan tindakan

pencegahan standar;

• menjamin tersedianya kondom gratis.

Meskipun bukan komponen dari PPAM, adalah penting untuk membuat antiretroviral (ARV) tersedia agar dapat melanjutkan pengobatan bagi orang-orang yang masuk dalam program ARV sebelum keadaan darurat, termasuk perempuan yang terdaftar dalam program PMTCT.

3.3.1 Transfusi darah yang aman

Penggunaan darah secara rasional dan aman untuk transfusi darah sangat penting untuk mencegah penularan HIV dan infeksi-infeksi lain yang dapat menular melalui transfusi (TTI/ Transfusion-Transmissible Infection) seperti hepatitis B, hepatitis C dan sifilis. Jika darah yang tercemar HIV ditransfusikan, maka

penularan HIV kepada penerima hampir 100%.

Transfusi darah tidak boleh dilakukan jika fasilitas, perlengkapan dan staf yang terlatih tidak ada.

Transfusi darah yang rasional mencakup:

• transfusi darah hanya dalam keadaan yang

mengancam nyawa dan bila tidak ada alternatif lain;

• menggunakan obat-obatan untuk

mencegah atau mengurangi perdarahan aktif (misalnya oksitosin);

• menggunakan pengganti darah untuk

mengganti volume yang hilang seperti cairan pengganti berbasis kristaloid (Ringer Laktat, Normal Salin) atau substitusi berbasis koloid (haemaccell, gelofusin) jika memungkinkan.

Transfusi darah aman mencakup:

• pengumpulan darah hanya dari donor darah

sukarela yang tidak dibayar dengan risiko rendah tertular infeksi lain melalui transfusi (TTI) dan menetapkan kriteria seleksi donor darah yang lebih ketat;

• melakukan skrining terhadap semua darah

untuk transfusi, minimal untuk HIV 1 dan 2, hepatitis B, hepatitis C, dan sifilis, dengan menggunakan alat tes yang paling tepat. Satu tes skrining HIV tidak cukup untuk menentukan status HIV (lihat Bab 10: HIV). Jangan mengungkapkan hasil tes skrining yang positif kepada donor jika mereka tidak dapat dirujuk untuk mendapat layanan konseling dan tes sukarela (VCT). Dalam hal ini lakukan skrining terhadap darah untuk transfusi dan buang darah itu jika tidak dapat digunakan. Hubungkan jasa transfusi darah dengan layanan VCT sesegera mungkin setelah ditetapkan sebagai bagian dari respon yang komprehensif dan rujuklah donor ke VCT sebelum skrining darah mereka;

• melakukan pengelompokan ABO dan

tipe Rhesus D (RhD) dan, jika ada waktu, melakukan pemeriksaan silang;

• HANYA melakukan transfusi darah kepada

wanita usia subur dengan darah tipe RhD yang sesuai;

• memastikan praktik transfusi yang aman di

sisi tempat tidur dan pembuangan kantong darah, alat suntik, dan jarum suntik secara aman.

Agar dapat menyediakan transfusi darah yang aman dan rasional, petugas kesehatan

reproduksi dan manajer program harus bekerja sama dengan mitra sektor/cluster kesehatan untuk memastikan bahwa:

• rumah sakit rujukan memiliki supply cukup

untuk transfusi darah yang rasional dan aman;

• staf tahu bagaimana, dan memiliki akses ke

perlengkapan untuk mengurangi kebutuhan melakukan transfusi darah;

• donor yang aman harus dicari. Donor aman

dapat dipilih melalui kuesioner donor dan dengan memberikan informasi yang jelas kepada calon donor mengenai syarat- syarat darah yang aman. Rekrut donor sukarela dan jangan meminta staf untuk menyumbangkan darah;

• Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk

transfusi darah tersedia. SOP merupakan komponen penting dari sistem kualitas di organisasi mana pun dan digunakan untuk memastikan konsistensi dalam menjalankan suatu kegiatan. Penggunaan SOP adalah wajib oleh semua anggota staf yang

berurusan dengan transfusi darah setiap kali mereka melakukan suatu kegiatan. Simpan salinan SOP-SOP di lokasi pusat, dan pasang di tempat di mana masing-masing prosedur dilakukan sehingga dengan mudah dijadikan referensi;

• tanggung jawab atas keputusan untuk

melakukan transfusi ditetapkan dan staf medis yang akan bertanggung jawab;

• staf diinformasikan mengenai protokol dan

harus mengikuti prosedur setiap saat untuk memastikan praktik transfusi darah yang aman di sisi tempat tidur;

• produk limbah, seperti kantong darah, alat

suntik dan jarum suntik, dibuang secara aman;

• lokasi dimana darah diskrining dan dimana

transfusi dilakukan harus memiliki sumber penerangan yang dapat diandalkan. Untuk meminimalkan risiko kesalahan, sedapat mungkin hindari transfusi darah pada malam hari.

3.3.2 Tindakan Pencegahan Standar

Tindakan pencegahan standar adalah langkah pengendalian infeksi yang mengurangi risiko penularan patogen-patogen yang terbawa dalam darah melalui paparan terhadap darah atau cairan tubuh di antara para pasien dan petugas kesehatan. Menurut prinsip “pencegahan standar”, darah dan cairan tubuh dari semua orang harus dianggap sebagai terinfeksi HIV, terlepas dari pengetahuan atau dugaan kita mengenai status orang tersebut. Tindakan pencegahan standar dapat mencegah penyebaran infeksi seperti HIV, hepatitis B, hepatitis C dan patogen-patogen lain di dalam lingkungan perawatan kesehatan. Dalam suatu situasi darurat bencana,

mungkin terjadi kekurangan supply sektor kesehatan atau infrastruktur dan beban kerja yang meningkat. Staf yang bekerja di sektor kesehatan mungkin akan terdorong untuk mengambil jalan pintas dalam melaksanakan prosedur, yang membahayakan keselamatan para pasien maupun staf sendiri. Oleh karena itu, adalah penting untuk menghormati tindakan-tindakan pencegahan standar. Pengawasan yang teratur dapat membantu mengurangi risiko terpapar infeksi di tempat kerja.

Tekankan pentingnya tindakan pencegahan standar pada saat rapat koordinasi kesehatan yang pertama.

Tindakan pencegahan standar adalah: Sering mencuci tangan: Cuci tangan

dengan sabun dan air sebelum dan sesudah kontak dengan pasien. Membuat fasilitas dan perlengkapan untuk mencuci tangan mudah didapat oleh semua penyedia layanan.

Mengenakan sarung tangan: Pakailah sarung tangan non-steril sekali pakai untuk semua prosedur dimana diperkirakan akan ada kontak dengan darah atau cairan tubuh lain yang berpotensi terinfeksi virus: Cuci tangan sebelum memakai dan setelah

melepas sarung tangan. Buang sarung tangan segera setelah digunakan. Staf yang menangani bahan-bahan dan benda tajam wajib mengenakan sarung tangan yang lebih kuat (sarung tangan khusus untuk pekerjaan berat) dan harus menutupi luka dan lecet dengan balutan/plester tahan air. Pastikan bahwa ada cukup persediaan.

 Catatan: Pastikan ketersediaan dan supply sarung tangan yang mencukupi dan berkelanjutan untuk melaksanakan semua kegiatan. JANGAN PERNAH menggunakan kembali atau mensterilisasi ulang sarung tangan sekali pakai, karena akan membuatnya menjadi berpori/ berlubang kecil

Memakai pakaian pelindung, seperti baju atau celemek tahan air, jika darah atau cairan tubuh lain mungkin terpercik. Staf diwajibkan menggunakan masker dan pelindung mata di mana ada kemungkinan terpapar darah dalam jumlah banyak.

Penanganan aman terhadap benda-benda tajam:

 Minimalkan perlunya menangani alat suntik dan jarum suntik.

 Gunakan alat suntik dan jarum suntik sekali pakai yang steril untuk setiap injeksi.

 Atur area kerja tempat penyuntikan untuk mengurangi risiko cedera.

 Gunakan botol dosis-tunggal daripada botol multi-dosis. Jika menggunakan botol multi-dosis, hindari meninggalkan jarum pada penutup karet. Setelah dibuka, simpan botol multi-dosis di lemari es.

 Jangan menutup kembali jarum suntik.

 Posisikan pasien dan beritahukan dengan benar mengenai penyuntikan.

 Buang jarum suntik dan benda-benda tajam di kotak pengaman (safety boxes) yang anti tusuk dan anti bocor. Pastikan wadah anti tusuk untuk pembuangan benda tajam selalu tersedia di tempat yang dekat namun di luar jangkauan anak- anak. Benda tajam tidak boleh dibuang ke tempat sampah atau kantong sampah biasa.

Pembuangan limbah: Bakar semua sampah medis di area terpisah, sebaiknya masih pada lahan fasilitas kesehatan. Kubur benda-benda yang masih menjadi ancaman, seperti benda tajam, di sebuah lubang tertutup sedikitnya 10 meter dari sumber air.

Pemrosesan Instrumen: Proses instrumen- instrumen bekas pakai dalam urutan sebagai berikut:

1. Dekontaminasi instrumen untuk membunuh virus (HIV dan hepatitis B) dan menjadikan barang lebih aman untuk ditangani.

2. Bersihkan instrumen sebelum melakukan sterilisasi atau disinfeksi tingkat tinggi (DTT) untuk menghilangkan kotoran. 3. Sterilkan (menghilangkan semua patogen)

instrumen-instrumen untuk meminimalkan risiko infeksi selama prosedur. Dianjurkan menggunakan steam autoclaving. DTT (melalui perebusan atau perendaman dalam larutan klorin) mungkin tidak dapat menghilangkan semua spora.

4. Gunakan atau simpan dengan benar alat- alat segera setelah disterilisasi.

Pemeliharaan Fasilitas: Bersihkan tumpahan darah atau cairan tubuh lainnya dengan segera dan hati-hati.

Menetapkan dan melaksanakan kebijakan tempat kerja untuk keterpaparan dalam pekerjaan

Meskipun tindakan-tindakan pencegahan standar telah ditetapkan dan ditaati, keterpaparan terhadap HIV dapat saja terjadi. Pastikan PEP tersedia di sektor kesehatan sebagai bagian dari paket tindakan pencegahan standar yang lengkap untuk mengurangi keterpaparan staf terhadap infeksi di tempat kerja. Pasanglah pengumuman tentang cara-cara pertolongan pertama di ruang-ruang kerja yang relevan (lihat Kotak 7) dan informasikan kepada semua staf bagaimana mengakses perawatan untuk keterpaparan. Ketika mengelola keterpaparan dalam pekerjaan, harus:

• Menjaga kerahasiaan setiap saat.

• Menilai risiko penularan HIV ketika terjadi

paparan dalam pekerjaan: jenis paparan (luka pada kulit, percikan selaput lendir, dll); jenis bahan paparan (darah, cairan tubuh lain, dll), dan kemungkinan infeksi HIV dari pasien.

• Memberi konseling kepada pasien

tentang tes HIV dan lakukan tes HIV jika memperoleh persetujuan.

• Memberikan konseling kepada pekerja

yang terpapar mengenai implikasi paparan, perlunya PEP, cara meminumnya dan apa yang harus dilakukan bila timbul efek samping.

• Catat riwayat medis dan lakukan

pemeriksaan terhadap pekerja yang terkena paparan atas persetujuan setelah mendapat informasi, rekomendasikan konseling dan tes HIV sukarela dan berikan PEP bila sesuai. Protokol pengobatan PEP adalah sama seperti untuk korban/penyintas kekerasan seksual (lihat Tabel 4). Tes HIV tidak diperlukan sebelum diberi resep PEP.

• Berikan edukasi tentang pengurangan

risiko dengan meninjau-ulang urutan kejadian dan memberi nasihat kepada pekerja yang terpapar untuk menggunakan kondom guna mencegah penularan sekunder selama tiga bulan ke depan.

• Berikan konseling dan test HIV sukarela

pada saat tiga dan enam bulan setelah keterpaparan, terlepas apakah pekerja yang terpapar itu diberi PEP atau tidak.

• Membuat laporan kejadian.

Untuk memastikan penerapan pencegahan standar, petugas kesehatan reproduksi dan manajer program kesehatan reproduksi harus bekerja bersama mitra sektor/cluster kesehatan dan:

• memastikan protokol untuk tindakan

pencegahan standar dipasang di setiap

fasilitas kesehatan dan supervisor

menegakkan kepatuhan terhadap standar tersebut;

• menyelenggarakan sesi orientasi di tempat

kerja mengenai tindakan pencegahan standar untuk para pekerja kesehatan dan staf tambahan, jika diperlukan;

• menetapkan sistem pengawasan seperti

daftar-periksa sederhana untuk memastikan kepatuhan pada protokol;

• memastikan bahwa pengumuman tentang

pertolongan pertama untuk keterpaparan dipasang di tempat terbuka sehingga staf mendapat informasi dan tahu ke mana harus melapor dan mendapat PEP jika diperlukan;

• secara teratur mereview laporan-laporan

tentang keterpaparan di tempat kerja untuk menentukan kapan dan bagaimana paparan terjadi, dan mengidentifikasi masalah- masalah keselamatan, dan tindakan pencegahan yang mungkin dilakukan.