• Tidak ada hasil yang ditemukan

dan/atau labia, membakar klitoris, mengikis lubang vagina atau memotong vagina dan prosedur lain yang dilakukan terhadap kelamin perempuan untuk sebab yang tidak ada hubungannya dengan medis.

Konsekuensi kesehatan

Anak perempuan dan perempuan yang

menjalani bentuk FGM yang lebih kejam sangat mungkin akan mengalami komplikasi serius dan jangka panjang. Beberapa berdampak segera; yang lainnya baru terjadi beberapa tahun kemudian. Dokumentasi dan penelitian tentang bentuk komplikasi fisik tersedia, akan

tetapi penelitian tentang efek seksual atau psikologis FGM atau frekuensi terjadinya komplikasi masih sangat sedikit. Tingkat kematian anak perempuan dan perempuan yang mengalami FGM tidak diketahui. Komplikasi langsung termasuk pendarahan (salah satu komplikasi yang paling umum):

syok, infeksi – termasuk tetanus dan HIV;

retensi urine; cedera pada organ sekitar, seperti saluran kencing (urethra), vagina atau rektum; fistulae.

Komplikasi jangka panjang termasuk: pendarahan setelah deinfibulation (membuka kembali lubang vagina untuk hubungan seksual dan proses persalinan); kesulitan menstruasi; kesulitan mengeluarkan urine; infeksi saluran kemih berulang; tidak bisa menahan kencing, infeksi pelviks kronis yang menyebabkan aborsi atau ketidaksuburan; bengkak bernanah dan dermoid cysts; peningkatan resiko penularan

HIV dan infeksi menular seksual lainnya ;

pengurangan sensitifitas seksual; dan nyeri saat senggama. Masalah-masalah yang terjadi selama kehamilan dan persalinan umum terjadi pada perempuan yang telah menjalani FGM Tipe III, karena jaringan yang terluka menjadi kaku dan terjadi sumbatan. Persalinan sulit dan atau sangat lama, sesak napas pada bayi, luka gores pada ibu, pendarahan, fistulae dan infeksi bisa terjadi.

Trauma psikologis pada prosedur tersebut bisa meninggalkan luka emosional selama- lamanya dan mengurangi kepercayaan pada para pemberi pelayanan. Dampak fisik dan psikologis FGM juga bisa memicu timbulnya masalah dalam hubungan seksual.

yang penting untuk diingat adalah tidak semua perempuan yang menjalani FGM akan mengalami masalah kesehatan . Sebaliknya, banyak perempuan tidak menyadari masalah kesehatan yang mereka alami merupakan akibat dari FGM.

Pelayanan Klinis

Penyedia layanan kesehatan reproduksi juga harus mampu mewawancarai dan melakukan pemeriksaan fisik pada perempuan yang telah mengalami FGM, mengenali dan

menyediakan informasi yang sesuai, konseling, dukungan, pelayanan dan/atau rujukan untuk mendapatkan penanganan lanjutan bagi komplikasi FGM secara rahasia, pribadi dan tidak menghakimi.

Dalam suatu tempat yang umum terjadi FGM Tipe III, para manajer program kesehatan reproduksi harus memastikan para penyedia layanan kesehatan reproduksi telah dilatih dalam membuka infibulasi ketika ada indikasi, atau tahu kapan dan ke mana harus merujuk prosedur ini.

Medikalisasi FGM — perusakan dengan sengaja organ-organ yang sehat oleh profesional kesehatan di luar alasan terapi — merupakan tindakan keliru dan tidak etis yang tidak dapat mengatasi ketidakadilan dasar dari FGM.

Keluarga Berencana cocok untuk remaja dan perempuan dengan FGM seperti juga untuk klien lainnya (lihat Bab 5: Keluarga Berencana). Perempuan yang telah mengalami infibulasi mengalami kesulitan dalam menggunakan metode yang harus dimasukkan ke dalam vagina, seperti intrauterine device (IUD), kondom perempuan atau cincin vagina. Karena perempuan dengan FGM sangat rentan mengalami infeksi pada saluran genital, IUD hanya bisa dimasukkan setelah melalui pertimbangan yang matang.

Memastikan para penyedia layanan kesehatan reproduksi yang memiliki tugas-tugas

kebidanan telah mendapat pelatihan untuk menilai dan menangani perempuan dengan komplikasi akibat FGM selama kehamilan, persalinan dan kelahiran dan periode pasca melahirkan. (Untuk informasi lebih lengkap lihat Bab 6: Kesehatan maternal dan neonatal

Pencegahan

Di suatu tempat yang menjalankan praktek FGM secara luas, FGM akan didukung oleh laki-laki dan perempuan dan bisa dipahami sebagai ikatan sosial serta diberi penghargaan dan hukuman. Praktek ini kerap diperkuat dengan kepercayaan agama, kedewasaan dan moralitas seksual perempuan, dan

dianggap perlu untuk kemampuan perkawinan. Karena itu para manajer program kesehatan reproduksi harus bekerja sama erat dengan para pemangku kepentingan setempat, terutama LSM-LSM perempuan, serta organisasi-organisasi profesional, dengan tujuan mencapai keputusan bersama oleh komunitas untuk meninggalkan praktek

tersebut. Mengorganisir diskusi dan pertukaran informasi di dalam komunitas dengan tujuan untuk pemberdayaan, penghormatan terhadap anak perempuan dan perempuan dan

penyelesaian masalah, menyediakan informasi tentang fungsi-fungsi tubuh perempuan, konsekuensi buruk dari praktek tersebut dan manfaat meninggalkannya. Pelayanan bagi para perempuan dengan FGM harus disertakan di dalam program tersebut.

Kawin muda paksa

Ketika kawin muda umum terjadi, para penyedia kesehatan reproduksi harus dipastikan mengetahui resiko-resiko

kesehatan reproduksi bagi remaja, termasuk komplikasi-komplikasi yang terkait dengan kehamilan seperti kesulitan persalinan

dan infeksi menular seksual, termasuk HIV.

Para penyedia kesehatan reproduksi harus mendapat pelatihan yang sesuai tentang remaja dan memahami bahwa kawin muda bisa mengganggu mobilitas anak perempuan dan kelanjutan sekolah mereka. Informasi yang diberikan pada saat kontak pertama dengan anak perempuan yang menikah muda sangat penting karena ia mungkin tidak bisa mengakses layanan kesehatan reproduksi dengan sering. Untuk informasi lebih lengkap lihat Bab 4: Kesehatan Reproduksi Remaja.

3.4 Dukungan Psikologis

Catatan: Bagian ini diadaptasi dari Buku Pedoman intervensi kekerasan berbasis gender dalam situasi bencana (Guidelines for Gender-

based Violence Interventions in Humanitarian

Setting)s, Action sheet 8.3. Inter-Agency Standing Committee (IASC), 2005.

Korban/Penyintas kekerasan berbasis gender bisa mengalami sejumlah konsekuensi psikologis seperti kesedihan dan depresi; menyalahkan diri sendiri; gangguan somatis (keluhan fisik akibat gangguan kejiwaan); masalah-masalah seksual; semangat berubah- ubah/gangguan mood, marah dan masalah- masalah terkait kecemasan (tidak bisa tidur, takut, stress, dan takut “menjadi gila”). Bagi sebagian besar korban/penyintas, masalah- masalah ini merupakan respon emosional normal terhadap trauma. Terutama dalam hal dukungan sosial dan emosi, banyak korban/ penyintas belajar mengatasi dan keluhan terus berkurang dengan berjalannya waktu.

Selain itu, ada konsekuensi-konsekuensi sosial. Sebagian besar masyarakat cenderung menyalahkan korban/penyintas kekerasan seksual. Stigma sosial, isolasi dan penolakan – termasuk oleh suami dan keluarga – merupakan konsekuensi serius, sehingga kerap membuat pemulihan emosional sangat sulit akibat korban/penyintas menarik diri dari pergaulan sehari-hari dan dari dukungan sosial. Pastikan terjalin koordinasi yang erat di antara layanan-layanan pendukung psikososial dan klinis. Dukungan psikososial harus dimulai dari pertemuan pertama dengan korban/ penyintas. Para penyedia di semua layanan komunitas dan kesehatan harus dilatih untuk mendengarkan dan menyediakan dukungan emosional ketika seorang korban/penyintas mengungkapkan atau mengisyaratkan telah mengalami kekerasan seksual, memberikan informasi dan rujukan yang dibutuhkan dan disetujui oleh korban/penyintas.

Dukungan dari keluarga dan teman seringkali

bisa menjadi faktor dalam mengatasi trauma kekerasan. Para penyedia harus memfasilitasi partisipasi dan integrasi korban/penyintas ke dalam komunitas. Aktifitas-aktifitas berbasis komunitas yang sesuai bagi para korban/ penyintas kekerasan seksual adalah :

• Mengidentifikasi dan melatih sumber-

sumber yang ada dan sesuai di dalam komunitas, seperti dukun bayi, bidan, kelompok-kelompok perempuan, para pemimpin agama dan program-program layanan komunitas agar mengetahui bagaimana mendukung para korban.

• Mengembangkan kelompok-kelompok

pendukung perempuan. (Dalam beberapa konteks mungkin perlu adanya kelompok- kelompok pendukung yang dirancang khusus bagi para korban/penyintas kekerasan seksual dan keluarga mereka; namun, hati-hati jangan sampai menambah stigma sosial dengan menyisihkan satu kelompok tertentu saja).

• Mendirikan tempat/rumah singgah khusus

bagi para korban/penyintas sehingga mereka bisa menerima pelayanan rahasia dan penuh perhatian

• Menyediakan dukungan material yang

dibutuhkan melalui layanan-layanan kesehatan dan komunitas lainnya.

• Mendorong penggunaan sumber-

sumber tradisional yang sesuai. Jika memungkinkan, berkolaborasi dengan para dukun tradisional atau pemuka agama yang masing-masing bisa mengadakan upaya pembersihan atau doa untuk para korban/ penyintas kekerasan seksual. Praktek semacam ini bisa sangat menguntungkan; namun, pastikan mereka tidak kemudian menyalahkan para korban/penyintas atau juga semakin memperbesar tekanan pada korban/penyintas.

Aktifitas-aktifitas ini harus sesuai dengan budaya dan harus dikembangkan setelah konsultasi (dan jika mungkin kerjasama) dengan anggota-anggota komunitas. Mereka akan membutuhkan dukungan finansial dan

logistik yang berjalan dan apabila sesuai dukungan pelatihan dan supervisi. Dukungan-dukungan psikososial juga dibutuhkan untuk para korban FGM dan perempuan yang dipaksa kawin muda. Organisasi dan pemberian nama dukungan semacam itu bisa diadaptasi karena FGM dan kawin muda merupakan sanksi sosial dan orang-orang tidak melihat diri mereka sendiri sebagai korban/penyintas.

4 Pertimbangan Hak Asasi Dan

Hukum

Kekerasan berbasis gender sangat

bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dan merupakan halangan besar terwujudnya hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Banyak prinsip hak asasi manusia yang dimuat di dalam instrumen hak asasi manusia internasional menjadi pedoman bagi perlindungan dari kekerasan berbasis gender. Prinsip-prinsip ini termasuk hak-hak bagi:

Kehidupan, kemerdekaan dan keamanan manusia — hak ini terancam ketika

seseorang diperkosa atau mengalami mutasi alat genital perempuan/sunat perempuan (FGM);

Standar kesehatan fisik dan mental tertinggi yang dapat dicapai— hak ini terhambat jika seseorang ditolak aksesnya untuk mendapatkan pelayanan medis yang semestinya setelah mengalami perkosaan;

bebas dari penyiksaan atau kekejaman, serta hukuman atau perlakuan yang tidak manusiawi atau merendahkan — FGM/ sunat perempuan, perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga yang sangat buruk, sterilisasi paksa dan aborsi paksa, serta penolakan akses layanan aborsi yang aman bagi perempuan yang hamil karena perkosaan dan perdagangan manusia , merupakan suatu bentuk penyiksaan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan;

Bebas dari semua bentuk diskriminasi — hak ini akan terhalang jika undang-

undang gagal melindungi perempuan dan anak perempuan dari kekerasan berbasis gender dan/atau jika mereka harus ditemani oleh suami atau ayah untuk mendapatkan pelayanan medis akibat perkosaan. Semua bentuk kekerasan terhadap perempuan merupakan diskriminasi terhadap mereka;

Memasuki perkawinan dengan persetujuan penuh dan bebas serta pemberian hak-hak yang setara dalam perkawinan, selama perkawinan dan saat perceraian — kawin paksa merupakan pelanggaran hak ini;

Kebebasan bergerak, berpendapat, berekspresi dan berkumpul — kebebasan ini akan terampas jika seseorang

diperdagangkan, dikurung paksa atau dilarang oleh suami atau orang tua mengakses kesehatan atau layanan lainnya.

Anak perempuan sangat beresiko mengalami kekerasan berbasis gender karena jenis kelamin mereka serta usia yang muda. Konvensi Hak-hak Anak-anak menyatakan bahwa anak-anak berhak mendapat

perlindungan dari semua bentuk kekerasan fisik atau mental, termasuk pelecehan seksual, yang terjadi di lingkungan keluarga atau di dalam lembaga, serta dari pelecehan seksual terorganisasir. Anak-anak juga berhak dilindungi dari praktek-praktek kekerasan, seperti FGM/sunat perempuan.

Korban/penyintas kekerasan berbasis gender berhak mencari pelayanan medis tanpa harus melalui persyaratan prosedural yang rumit. Karena itu, mencegah korban/penyintas kekerasan berbasis gender untuk mengakses dan mendapatkan pelayanan medis dengan mewajibkan mereka menunjukkan surat nikah, mendapat ijin dari suami atau mengajukan laporan polisi merupakan suatu bentuk pelanggaran hak tersebut. Jika yang menjadi korban/penyintas adalah anak remaja, negara harus menjamin adanya provisi hukum yang memberi peluang pelayanan medis bagi remaja tanpa harus mendapat ijin dari orang tua.

Semua badan harus mengadvokasi penguatan dan/atau penegakan undang-undang

nasional terhadap kekerasan berbasis gender sesuai dengan kewajiban hukum internasional, termasuk hukuman bagi para pelaku pelanggaran dan implementasi langkah-langkah legal untuk melindungi dan mendukung korban/penyintas kekerasan berbasis gender.

4.1 Tantangan dan Peluang

Terkadang, para manajer program dan penyedia layanan kesehatan reproduksi dan penyedia layanan menghadapi keputusan sulit ketika memberikan perawatan pada korban/penyintas kekerasan berbasis gender. Kemampuan mereka untuk memberikan layanan terkendala oleh undang-undang nasional atau norma-norma sosial dan budaya. Misalnya:

• Di banyak masyarakat, adalah umum

terjadi bahwa keluarga dan/atau otoritas mendorong perempuan atau anak

perempuan kawin dengan pelaku kekerasan seksual .

• Di masyarakat yang masih menjunjung

tinggi keperawanan dalam perkawinan, keluarga korban/penyintas akan meminta penyedia layanan untuk melakukan “tes keperawanan”.

• Jika kerahasiaan pasien terungkap,

layanan yang diberikan kepada korban/ penyintas akan menempatkannya ke resiko pembalasan dan kekerasan berlanjut

• Penyedia layanan mungkin mengetahui

atau mencurigai pelaku kekerasan adalah seseorang yang punya hubungan atau dekat dengan korban dan bisa merasa keselamatan korban terancam.

Pedoman Prinsip

Para penyedia atau manajer kesehatan reproduksi yang menghadapi dilema serupa harus memprioritaskan keselamatan klien, diri

mereka sendiri serta kolega mereka. Prinsip- prinsip lain yang harus dipastikan adalah menghormati keinginan klien, memastikan tidak terjadi diskriminasi dan menjamin kerahasiaan. Pedoman prinsip ini juga harus dipertimbang- kan ketika membantu kelompok minoritas. Selanjutnya, penyedia atau manajer kesehatan reproduksi bisa:

• berbicara dengan supervisor mereka; • mendiskusikan pilihan-pilihan dengan klien; • mendiskusikan strategi-strategi dan pilihan-

pilihan advokasi di dalam struktur klinis atau organisasi mereka;

• menggali hubungan dengan dan rujukan

ke organisasi-organisasi yang mampu membantu klien;

• dengan tetap menghormati kerahasiaan

klien mereka, berdiskusi dengan kolega mereka mengenai langkah-langkah utuk menghindari situasi tersebut/ penanganannya nanti ;

• angkat masalah ini dalam pertemuan-

pertemuan koordinasi kesehatan.

5 Monitoring

Monitoring dan pelaporan kasus-kasus kekerasan berbasis gender, pertukaran informasi; dokumentasi insiden dan analisis data harus disepakati sebagai bagian dari Standar Operasional Prosedur. Mengumpulkan dan menganalisa informasi tentang kekerasan berbasis gender bisa memberikan informasi berharga jika kekerasan telah terjadi dan diungkapkan dengan semestinya (lihat juga Kotak 31, hal. 181).

Indikator-indikator yang harus dikumpulkan di level fasilitas kesehatan:

• Jumlah kasus kekerasan seksual yang

dilaporkan ke layanan kesehatan (per bulan).

• Waktu pemberian kontrasepsi darurat

yang mendatangi layanan kesehatan dalam waktu 120 jam yang menerima pil kontrasepsi darurat).

• Waktu pemberian PEP (persentase korban/

penyintas perkosaan yang mendatangi layanan kesehatan dalam waktu 72 jam dan menerima PEP).

Indikator-indikator yang harus diukur setiap tahun:

• Jumlah petugas kesehatan yang terlatih

dalam manajemen klinis korban/penyintas perkosaan.

6 Bacaan Lanjutan