• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENYERAHKAN KEKHAWATIRAN

Dalam dokumen Tak kenal Menyerah (JOHN BEVERE) (Halaman 169-173)

MENANGGALKAN BEBAN

MENYERAHKAN KEKHAWATIRAN

Beberapa tahun kemudian setelah bertumbuh dan berkembang dalam iman dan kedewasaan kami, saya menerima kedudukan sebagai gembala kaum muda di sebuah gereja yang sangat besar di Florida.

.DPLNHPEDOLPHQJKDGDSLWDQWDQJDQÀQDQVLDOEHUXSDEHUNXUDQJQ\D

pendapatan. Saat itu kami sudah punya anak laki-­laki berumur delapan belas bulan, jadi kondisinya memang jauh lebih menantang. Kembali kami menyerahkan kekhawatiran kami kepada Allah, melawan musuh, dan melihat pemeliharaan-­Nya yang ajaib. Saya tetap berfokus pada misi, dan pemeliharaan-­Nya berulang-­ulang terjadi, sering secara spektakular.

Pada September 1988, Allah menunjukkan kepada saya bahwa sudah tiba waktunya bagi saya untuk beralih ke fase berikutnya dalam pelayanan—berkeliling dan berkhotbah sepenuh waktu. Saya menundukkan diri pada kepemimpinan pendeta saya, maka saya memutuskan untuk tidak mengucapkan sepatah kata pun dan menunggu Allah menunjukkan kepadanya apa yang Dia siapkan bagi saya. Tidak ada orang lain yang tahu apa yang saya dapatkan dalam doa itu kecuali Lisa dan seorang teman yang tinggal di negara bagian lain.

Pada Februari 1989, pendeta saya memimpin pertemuan staf dan menceritakan penglihatan yang begitu jelas yang dialaminya malam sebelumnya. Ia bercerita bagaimana ia melihat Lisa dan saya meninggalkan gereja untuk berkeliling dan melayani sepenuh waktu. Saat saya mendengarkan ceritanya, saya mulai menangis. Roh Kudus telah meneguhkan kehendak-­Nya, sama seperti Dia melakukannya pada Barnabas dan Paulus dalam Kisah Para Rasul 13:1-­5.

Enam bulan kemudian, pada Agustus 1989, dalam kurun waktu tiga minggu saya menerima undangan untuk berbicara dalam tujuh acara pada bulan-­bulan berikutnya. Saya memberi tahu pendeta saya dan ia tersenyum, tertawa, dan berkata, “Ini yang telah Tuhan perlihatkan kepadaku. Sepertinya kau sudah siap berangkat.” Lalu ia

berkata, “John, pergilah sebanyak mungkin sepanjang musim gugur ini dan gereja masih akan terus membayar gajimu sampai akhir tahun.

3DGDWDQJJDOVDWX-DQXDULNDPXDNDQPDQGLULVHFDUDÀQDQVLDOµ

Selama beberapa bulan kemudian saya bepergian ke tujuh tempat itu dan berkhotbah dalam kebaktian yang bagus, namun tidak ada undangan lain yang datang. Saya sudah akan dilepaskan untuk mandiri, namun tidak ada tempat yang dapat saya datangi. Pendeta saya memperhatikannya dan, dua bulan sebelum gaji saya dihentikan, ia memberi saya surat rekomendasi yang luar biasa dan alamat enam ratus gereja di Amerika yang pernah dilayaninya. (Ia hamba Tuhan yang sangat terkenal, baik secara nasional maupun internasional.)

Segera saja saya mulai menyiapkan alat tulis dan amplop. Saya berencana memasukkan suratnya beserta surat dari saya dan mengirimkannya ke enam ratus gereja itu. Saya sudah menyelesaikan sekitar empat puluh amplop ketika saya mendengar Roh Kudus berbicara kepada saya, Anak-­Ku, apa yang sedang kaulakukan?

“Aku memberi tahu para pendeta ini bahwa aku siap untuk melayani di gereja mereka,” jawab saya.

Kau akan menyimpang dari kehendak-­Ku.

“Tapi, Tuhan,” kata saya, “tidak ada orang di luar sana yang tahu siapa aku.”

Aku tahu. Percayalah kepada-­Ku.

Pada saat itu saya harus mengambil keputusan. Saya memilih kerendahan hati dengan mematuhi bimbingan Allah yang berbicara dalam hati saya, atau saya dapat berusaha mengamankan diri sendiri melalui upaya pemasaran pribadi. Dengan kata lain, saya akan menyerahkan kekhawatiran saya kepada Dia, atau saya akan menggenggam kekhawatiran itu di tangan saya sendiri. Saya segera mengambil keputusan. Sebelum pikiran atau perasaan saya dapat menahan saya, saya menyobek empat puluh amplop yang sudah beralamat itu. Entah aku ini mendengarkan suara Allah atau aku sudah gila, pikir saya.

Waktu berlalu. Saat itu sudah pertengahan Desember dan saya tinggal punya dua undangan. Yang satu untuk minggu pertama bulan Januari di kota kecil di South Carolina, di sebuah gereja kecil yang beribadah di sebuah rumah duka. Yang lainnya dijadwalkan pada akhir Februari di sebuah gereja kecil di perbukitan Tennessee.

Ia baru saja hendak memulai acara televisi harian, yang nantinya akan disiarkan ke seluruh dunia. Lisa memiliki pengalaman sebagai produser acara televisi, maka pendeta kami menawarinya pekerjaan untuk memproduksi acara baru dengan gaji 45 dolar per jam. Saya sangat lega dan bergairah! Begitu juga dengan Lisa. Pekerjaan itu dapat menghasilkan uang yang sangat kami perlukan selagi pelayanan keliling saya menunggu momentum.

Namun beberapa hari kemudian ketika saya sedang berdoa, Roh Kudus kembali berbicara ke dalam hati saya. Anak-­Ku, kalau Lisa menerima pekerjaan sebagai produser televisi, maka berapa pun yang

LDKDVLONDQVHFDUDÀQDQVLDOVHMXPODKLWXODK\DQJDNDQGLNXUDQJLGDUL

persembahan yang kauterima dalam pelayanan keliling. Aku tidak ingin ia bekerja untuk pendetamu. Aku ingin ia mendampingimu.

Saya kaget. Saya menceritakannya kepada Lisa dan, betapa terkejutnya saya, ia sepakat. Ia menerima pesan yang sama dalam waktu doanya! Kami menolak tawaran pendeta kami, namun ia masih mencemaskan keadaan kami.

Saat itu sudah akhir Desember. Pendapatan saya dari gereja sudah hampir berhenti, dan saya hanya tinggal memiliki dua undangan berkhotbah itu. Sekali lagi pendeta kami mendekati kami. “John, pada Minggu pagi, dalam kebaktian kita yang disiarkan televisi, aku akan memintamu naik ke mimbar dan mengumumkan pada semua pendeta yang menonton di seluruh negara ini bahwa kamu dilepaskan ke dalam pelayanan keliling dan siap melayani di gereja mereka. Lebih jauh lagi, gereja kita akan memberimu dukungan bulanan.”

Kembali, saya sangat bahagia. Hamba Tuhan ini mungkin salah satu pendeta yang paling terkenal di Amerika, dengan jutaan orang biasa menonton acaranya. Saya yakin ini cara Allah untuk mengutus saya ke medan tempur untuk melakukan panggilan-­Nya bagi saya.

Namun beberapa hari kemudian ketika saya sedang berdoa, Roh Kudus berbicara kembali: Anak-­Ku, pendetamu tidak akan memperkenalkanmu melalui kebaktian yang disiarkan di televisi, dan gereja itu tidak akan memberimu dukungan bulanan.

Saya menjadi frustrasi. “Mengapa tidak?” protes saya. “Pendeta kami mengatakan ia akan mengumumkannya!”

Segera saya saya mendengar dalam hati saya, Karena Aku tidak akan membiarkannya melakukannya, dan ia orang yang mau mendengarkan suara-­Ku.

“Mengapa Engkau tidak membiarkannya melakukan apa yang dijanjikannya kepadaku?”

Kemudian Tuhan mengatakan kepada saya sesuatu yang tidak akan pernah saya lupakan: Karena kalau begitu, ketika kamu nanti menghadapi masa-­masa yang sulit, kamu akan berlari kepadanya, bukan kepada-­Ku.

Betul saja, pendeta kami tidak jadi mengundang saya maju ke panggung di depan para penonton televisi. Nyatanya, ia tidak pernah menyebut-­nyebut pelayanan baru saya sama sekali, dan ia tidak memberi saya dukungan bulanan. Dan saya sangat bersukacita ia tidak melakukan keduanya. Hal itu memaksa saya untuk mempercayakan kekhawatiran saya pada Allah, untuk berdoa dan berjuang, bukannya meminta bantuan dari orang yang memiliki uang atau pengaruh yang kita miliki.

Januari pun datang dan, betul saja, gereja menghentikan gaji kami. Lisa dan saya tinggal memiliki 300 dolar. Kami saat itu sudah memiliki dua anak kecil—Addison, tiga setengah tahun, dan Austin, sembilan bulan. Pengeluaran bulanan kami 1.000 dolar untuk hipotek rumah dan 200 dolar untuk mobil kami. Saya tidak tahu akan mendapatkan uang dari mana lagi. Saya berdoa habis-­habisan, dan hal itu mendorong saya semakin dekat dengan dan mengandalkan Roh Kudus.

Kami melihat pintu-­pintu terbuka secara amat unik. Undangan khotbah pertama saya, di gereja yang beribadah di rumah duka, berupa serangkaian kebaktian yang dahsyat. Kebaktian itu berlanjut sampai minggu berikutnya. Berita menyebar dan ada pendeta lain yang datang dari Columbia, South Carolina. Pada kebaktian terakhir, ia meminta maukah saya datang ke gerejanya. Lisa dan saya pergi, dan gerejanya membawa kami ke gereja lain. Begitu seterusnya.

Sekian bulan berlalu dan sekali lagi jadwal saya kosong. Kami

VDQJDW WHUWHNDQ VHFDUD ÀQDQVLDO QDPXQ NDPL WLGDN VDPSDL WHODW

membayar tagihan. Pagi-­pagi suatu hari saya keluar untuk berdoa. “Allah, Bapaku, aku melakukan perintah-­Mu,” teriakku. “Jika Engkau tidak menyediakan kebaktian dan keuangan untuk keluargaku, maka aku akan bekerja menjadi tukang bungkus barang di toko, dan aku akan memberi tahu orang-­orang bahwa Engkau tidak dapat memeliharaku. Bapa, aku tidak mau menjual diriku. Kalau Engkau memang memanggilku, Engkau akan membukakan pintu. Aku menyerahkan kekhawatiran ini sepenuhnya kepada-­Mu.”

Kemudian saya menghadap ke selatan, ke timur, dan akhirnya ke barat, setiap kali memerintahkan pintu-­pintu terbuka. Kemudian saya memerintahkan agar musuh mundur, mengatakan pada Iblis bahwa ia tidak dapat menghambat langkah-­langkah yang telah Allah tetapkan untuk kami tempuh.

Tidak lama sesudah itu, sebuah gereja di Michigan mengundang saya untuk melayani dalam kebaktian selama empat hari. Pegerakan Allah sungguh-­sungguh terjadi. Kebaktian empat hari itu berubah menjadi kebaktian berminggu-­minggu. Orang berdatangan ke kebaktian dari tempat sejauh sembilan puluh mil, membuat gereja penuh sesak setiap malam. Saya menelepon Lisa, yang bersama anak kami ke telepon umum di dekat rumah orangtua saya di Florida. Saya menceritakan kepadanya tentang kebaktian itu, yang belum jelas kapan akan berakhirnya, dan bahwa saya mengirimkan tiket untuknya dan anak-­anak agar bergabung dengan saya di Michigan.

Seorang pendeta yang sedang berlibur duduk di dekat Lisa dan mendengar pembicaraan telepon kami. Ia mendekati Lisa dan berkata, “Maafkan saya, tadi saya mendengar percakapan teleponmu dengan suamimu. Saya gembala gereja beranggota seribu lima ratus orang di New York. Saya sangat lapar akan pergerakan Allah di tengah umat-­Nya. Saya merasa Tuhan menyuruh saya untuk mengundang suamimu.”

Maka, setelah kebaktian di Michigan, kami pergi ke New York. Ternyata juga terjadi kebaktian yang penuh kuasa. Kami berulang-­ ulang kembali ke gereja itu. Hal semacam ini berlanjut minggu demi minggu. Nyatanya, selama empat tahun pertama pelayanan keliling saya tidak pernah menulis satu surat atau menelepon ke gereja meminta diundang. Setiap pertemuan terbuka begitu saja seperti yang saya ceritakan atau berlangsung dalam cara lain yang ganjil.

Dalam dokumen Tak kenal Menyerah (JOHN BEVERE) (Halaman 169-173)