• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANTANGAN PRIBADI KITA

Dalam dokumen Tak kenal Menyerah (JOHN BEVERE) (Halaman 164-169)

MENANGGALKAN BEBAN

TANTANGAN PRIBADI KITA

Saya ingin menceritakan kepada Anda beberapa beban yang harus saya tanggalkan dalam perlombaan pribadi saya. Saat saya beranjak dewasa, saya menyadari pentingnya bagi seorang ayah dan suami memenuhi kebutuhan keluarganya. Ayah saya meneladankan hal ini dengan sangat baik, mengajari kami bahwa setiap sen yang kami tabung itu menunjukkan jumlah uang yang benar-­benar kami miliki. Peran suami dan ayah untuk menyediakan rasa aman dan kestabilan bagi rumah tangganya sudah ditanamkan dalam diri saya sejak kecil.

kita  masing-­masing     harus  memilih  antara    

rasa  aman  dan     tujuan  hidup.

Saya ingin menjadi pilot, namun ayah saya mencegahnya karena pada masa itu menjadi pilot tidak dianggap sebagai pekerjaan yang aman. Ayah mengarahkan saya untuk memilih karier yang lebih stabil. Saya pun mengambil kuliah teknik dan, pada 1981, bekerja di Rockwell International.

Saya memperoleh gaji yang sangat lumayan sebagai insinyur yunior. Sungguh menenteramkan dapat menyediakan kebutuhan istri secara memadai. Saya mengikuti teladan yang ayah saya tunjukkan selagi

VD\D PXGD $NDQ WHWDSL VD\D EHUJXPXO GHQJDQ VXDWX NRQÁLN EDWLQ

saya merasakan panggilan yang menyala-­nyala untuk masuk ke dalam pelayanan. Hal itu sudah berlangsung selama beberapa tahun, namun saya melihat, tidak mungkin saya dapat mencukupi kebutuhan istri saya dan nantinya anak-­anak saya dengan mengandalkan pendapatan dari pelayanan. Maka, Lisa dan saya menyusun suatu rencana.

Saya mendapatkan informasi dari karyawan lain bahwa perusahaan kami memberikan gaji yang amat sangat besar jika seorang karyawan mau bertugas di luar negeri, khususnya di Timur Tengah. Saya pun mendatangi direktur personalia dan mencari tahu cara agar dipindahtugaskan ke Arab Saudi. Lisa dan saya memperkirakan kami akan dapat bertahan hidup di sana selama beberapa tahun, menabung uang ekstra, kembali ke Amerika, membeli tunai sebuah rumah sederhana, kemudian masuk ke dalam pelayanan.

Satu masalah: rencana kami seluruh berdasarkan kemampuan kami sendiri.

Suatu malam seorang hamba Tuhan yang masih muda, yang sudah mengenal Lisa dan saya selama beberapa tahun, mengajak saya duduk dan menegur saya selama dua jam. Pada pokoknya ia berkata, “John, panggilan Allah ada di dalam hidupmu, dan kau tidak melakukan apa-­apa untuk hal itu. Jika kau terus berjalan seperti saat ini, kau akan berakhir sebagai insinyur tua yang kehilangan tujuan hidupnya.”

Saya terguncang oleh perkataannya, tetapi saya tahu ia benar. Saya pulang ke rumah malam itu dan berkata kepada Lisa, “Aku akan menyediakan diriku bagi pelayanan gereja dalam posisi apa pun. Pintu pertama yang terbuka, aku akan memasukinya. Kau mendukungku?”

“Aku mendukungmu,” katanya.

Saya berdoa dengan tekun selama beberapa bulan selanjutnya agar Allah membukakan pintu bagi saya untuk terlibat dalam pelayanan. Sementara itu, saya melakukan apa saya yang dapat saya lakukan di gereja secara sukarela. Saya menjadi usher, bergabung dengan

pelayanan gereja ke penjara setempat, dan bahkan mengajar anak pendeta saya bermain tenis. (Saya pernah menjadi instruktur tenis selama tiga tahun ketika kuliah.)

Beberapa bulan kemudian, pada 1983, ada pintu terbuka untuk melayani sepenuh waktu. Saya meninggalkan Rockwell dan mulai bekerja untuk gereja setempat saya. Pendapatan saya turun drastis, dan ayah saya mengira saya sudah tidak waras (begitu juga dengan bos saya di Rockwell). Teman-­teman lain mempertanyakan keputusan saya, dan saya sendiri juga melawan pikiran tentang bagaimana saya akan mencukupi kebutuhan keluarga saya. Di atas kertas semuanya mustahil;; pendapatan bulanan kami jauh lebih rendah dari total pengeluaran kami.

Namun saya tahu, Tuhan merencanakan agar saya mengambil posisi itu. Maka Lisa dan saya menyerahkan kekhawatiran akan pemenuhan kebutuhan hidup kepada Allah. Kami tidak pernah tidak makan, dan selalu berkecukupan. Berulang-­ulang, tanpa kami memberi tahu siapa-­ siapa tentang kebutuhan kami, kami melihat Allah mencukupinya secara ajaib. Lisa dan saya diam-­diam akan menyampaikan kebutuhan kami kepada Allah, melawan serangan musuh yang mematahkan semangat dengan Firman Allah, dan menyaksikan pemeliharaan Allah yang ajaib dari waktu ke waktu.

Saya teringat suatu ketika harus memilih antara memberikan persepuluhan dan membeli kebutuhan sehari hari. Itu sebenarnya bukan pergumulan yang berat karena kami sudah memutuskan untuk mengutamakan Allah dalam segala sesuatu. Maka kami memberikan 10 persen gaji kami untuk persembahan, yang berarti kami tidak memiliki sisa uang untuk membeli barang kebutuhan harian karena sisa 90 persennya harus digunakan untuk membayar tagihan dan pengeluaran lain yang tidak terduga—salah satunya mobil kami.

Saat itu kami hanya memiliki satu mobil dan alternatornya sudah rusak. Karena terlampau sibuk melayani di gereja, saya tidak punya waktu untuk memperbaikinya. Selain itu, saya mengendarai mobil van gereja, jadi saya memiliki alat transportasi untuk bekerja. Mobil kami dibiarkan menganggur. Kemudian, beberapa hari setelah alternatornya rusak, salah satu roda belakangnya kempes. Makin parah lagi, roda cadangannya tidak dapat dipakai. Kami tinggal di Dallas, Texas, dan terik musim panas sungguh tak tertahankan. Suatu malam kami pulang dari tempat kerja dan menemukan salah satu kaca jendela mobil kami pecah berkeping-­keping. Ternyata bagian dalam mobil sudah menjadi

begitu panas sehingga udaranya mengembang sampai meledakkan salah satu jendela.

Rasa frustrasi saya memuncak. Saya geram. Sekalipun saya bisa membetulkan alternatornya, saya tetap tidak dapat mengendarainya karena bannya kempes. Kami menutup jendelanya dengan tas belanja dan selotip, namun saya tahu kalau hujan deras turun, jendela tambalan itu pasti akan jebol dan air masuk ke dalam mobil. Seiring dengan berjalannya waktu, kelembapan akan membusukkan bagian dalam mobil. Saya tidak tahan lagi keesokan harinya. Saya menelepon beberapa bengkel, namun perkiraan harganya semua di luar jangkauan kami. Kami sama sekali tak punya uang untuk memperbaiki mobil. Dengan gaji sebelumnya sebagai insinyur, masalah ini pasti segera teratasi. Saya harus melawan pikiran-­pikiran mengasihani diri dan bayangan mobil kami akan membusuk di tempat parkir.

Akhirnya, saya angkat tangan. Saya mencari tempat yang sepi untuk bertemu dengan Allah dan berteriak, “Tuhan, Kaukatakan aku harus menyerahkan segala kekhawatiranku kepada-­Mu. Maka saat ini juga, aku menyerahkan kekhawatiranku akan mobil itu ke tangan-­Mu sepenuhnya. Itu bukan lagi kekhawatiranku, tapi kekhawatiran-­Mu. Kalau mobil itu membusuk, itu bukan lagi kesalahanku karena sudah bukan lagi urusanku! Aku mau fokus pada apa yang Kauperintahkan untuk kulakukan. Sekarang aku bersyukur kepada-­Mu karena menyediakan solusinya.”

Saya berteriak dengan kuat dan lantang dan bersungguh-­sungguh. Dan untuk pertama kalinya sejak alternator itu rusak, saya mulai merasakan damai sejahtera lagi. Persis seperti yang dijanjikan Firman Allah:

Janganlah khawatir akan suatu apa pun, melainkan bawalah segala sesuatu dalam doa. Sampaikan kebutuhan Saudara kepada Allah dan jangan lupa bersyukur atas jawaban-­Nya. Bila Saudara melakukan hal-­hal ini, Saudara akan mengalami damai Allah yang jauh melebihi pengertian akal manusia. Damai-­Nya akan menjadikan pikiran dan hati Saudara tenang dan tenteram, sementara Saudara memercayakan diri kepada Kristus Yesus. (Filipi 4:6-­7, FAYH)

Kemudian saya mulai menghadapi musuh. Saya berbicara dengan keras dan sungguh-­sungguh, “Iblis, dengarkan aku ya. Allahku, Bapaku, memenuhi segala kebutuhanku menurut kekayaan kemuliaan-­

Nya. Aku takkan kekurangan, karena aku mencari dahulu kerajaan-­ Nya dan semua yang kubutuhkan ditambahkan kepadaku. Maka, aku melawanmu di dalam nama Yesus dan memerintahkan engkau untuk menjauhkan tangan kotormu dari keuangan kami dan mobil kami.”

Rasanya ada sesuatu yang lepas. Tak lama kemudian saya mulai tertawa. Pikir saya, Jangan-­jangan aku sudah tidak waras. Namun sukacita itu memancar dari sebuah sumur yang sangat dalam di dalam diri saya. Saya tahu itu sukacita Tuhan, yang akan menjadi kekuatan yang saya perlukan. Dengan kekuatan itu saya tahu saya dapat terus berlari dalam perlombaan dengan tak kenal menyerah. Kekhawatiran saya sekarang berada di dalam tangan Allah yang kuat dan musuh sudah diikat. Saya menanti-­nantikan persediaan Allah.

Keesokan harinya, seorang teman Lisa berkunjung dan melihat mobil kami yang rusak di tempat parkir apartemen kami. Benar-­benar tidak sedap dipandang. Ia berkata, “Lisa, aku punya teman mekanik. Bisa kuhubungi dia untuk melihat apa yang bisa dilakukannya untukmu dan John?” Temannya akhirnya memperbaiki semua kerusakan dengan biaya jauh lebih kecil dari yang diminta bengkel lain. Kami melihat Allah mencukupi kebutuhan kami secara menakjubkan, dan hal itu menguatkan kami.

Namun, karena sudah memberikan persepuluhan, kami masih belum punya uang untuk berbelanja kebutuhan sehari-­hari, dan saya masih belum akan mendapat gaji sampai dua belas hari lagi. Suatu malam kami duduk di mobil dan menangis bersama. Air mata kami meleleh bukan karena tidak percaya, melainkan karena frustrasi. Kami tidak paham mengapa kami harus berjuang untuk mendapatkan segala sesuatu, sedangkan orang lain dapat hidup dengan tenang. Sama seperti rasul Paulus, kami belum memahami apa yang berlangsung di balik pencobaan yang kami alami. Kami memandang pencobaan itu sebagai perkara yang merepotkan, menjengkelkan, dan membuang-­buang waktu kami. Kami tidak menyadari bahwa kami sedang dikuatkan di dalam anugerah Allah, agar nantinya kami dapat menghadapi tantangan yang lebih besar untuk mendatangkan kemuliaan yang lebih besar bagi Allah. Setelah menangis beberapa saat, Lisa dan saya meneguhkan kepercayaan kami kepada Firman Allah dan terus melanjutkan misi ilahi kami.

Dua hari kemudian, ada suami-­istri dari San Antonio yang datang berkunjung, yang baru pertama kali kami jumpai, dan mereka mendekati saya. Mereka berkata, “John, kami tidak tahu mengapa, tetapi Allah terus berbicara kepada kami untuk memberikan kepadamu

ini.” Mereka menyerahkan kepada saya amplop berisi cek senilai 200 dolar. Lisa dan saya takjub. Tidak ada orang lain kecuali Allah yang mengetahui keadaan kami, dan Dia mencukupi kebutuhan kami sekali lagi.

Dalam dokumen Tak kenal Menyerah (JOHN BEVERE) (Halaman 164-169)