• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGALAMAN SAYA DENGAN ANUGERAH

Dalam dokumen Tak kenal Menyerah (JOHN BEVERE) (Halaman 72-77)

bagaimana hidup yesus

PENGALAMAN SAYA DENGAN ANUGERAH

Salah satu mata pelajaran yang paling tidak saya kuasai di sekolah adalah Bahasa Inggris—khususnya penulisan kreatif. Saya mengerut setiap kali diberi tugas yang berhubungan dengan tulis-­menulis. Biasanya saya perlu tiga sampai empat jam untuk menyusun karangan sepanjang satu atau dua halaman. Saya akan duduk memandangi selembar kertas kosong berlama-­lama, memikirkan bagaimana cara mulai menulis. (Ya, saat itu belum ada komputer pribadi dan iPad!) Saya akhirnya menuliskan satu kalimat, memelototinya, merasa kalimat itu buruk, dan membuang kertasnya. Dalam upaya berikutnya, saya mungkin berhasil menulis dua kalimat, lalu kembali menyimpulkan keduanya parah, dan membuang kertasnya. Proses ini berlanjut sampai saya membuang-­buang beberapa lembar kertas dan banyak waktu. Satu jam atau lebih kemudian, saya mungkin berhasil menulis satu atau dua paragraf yang cukup masuk akal. Akhirnya, meskipun hasil akhirnya sudah baik menurut standar saya, tak ayal saya mendapatkan nilai yang sangat rendah untuk tugas itu.

Saya kadang-­kadang bertanya-­tanya apakah guru bahasa Inggris saya menaikkan saya ke kelas berikutnya hanya agar tidak perlu menghadapi saya lagi tahun berikutnya. Anda pikir saya melebih-­ lebihkan? Sesungguhnya, saya meraih skor 370 dari 800 dalam ujian verbal bahasa Inggris. Itu berarti hanya 46 persen, yang dapat dianggap

“nyaris tidak lulus.” Syukurlah, saya pintar dalam matematika dan sains sehingga akhirnya saya diterima di fakultas teknik Universitas Purdue.

Maka pada 1991, ketika Allah berbicara kepada saya dalam doa, Nak, Aku mau kau menulis, saya pikir Dia keliru berbicara. Bisa jadi, pikir saya, Allah punya begitu banyak anak di planet ini sampai Dia keliru menganggapku sebagai orang lain? Saya malu mengakuinya, tapi apa yang Dia minta itu tampak sangat menggelikan sehingga saya tidak melakukan apa-­apa. Pada saat itu saya belum tahu tentang apa yang baru saja saya bagikan kepada Anda tentang anugerah Allah yang luar biasa dan memberdayakan.

Sepuluh bulan kemudian, dan hanya dalam jarak waktu dua minggu, dua orang perempuan dari negara bagian yang berbeda mendekati saya. Yang satu dari Texas, yang lain dari Florida. Masing-­ masing menyampaikan perkataan yang sama pada saya: “John Bevere, jika kamu tidak menuliskan pesan yang Allah berikan kepadamu, Dia akan memberikannya kepada orang lain dan kamu akan dihakimi karena ketidaktaatanmu.”

Ketika saya mendengar perempuan kedua menyampaikan peringatan yang sama dengan yang saya dengar dua minggu sebelumnya, rasa takut akan Allah melanda saya. Lebih baik aku mendengarkan, dan lebih baik aku menulis! Namun saya benar-­benar mengira Allah melakukan kesalahan besar. Saya tidak dapat menyusun makalah setebal sepuluh halaman, apa lagi satu buku! Dalam keputusasaan, saya menulis kontrak dengan Allah pada selembar kertas catatan. Aku perlu anugerah, tulis saya. Aku tidak bisa melakukannya tanpa kemampuan-­ Mu. Saya menandatangani kontrak itu dan membubuhkan tanggal.

Nantinya, saya mulai duduk menulis. Saya tidak memulainya dengan membuat kerangka, karena saya tidak tahu cara membuat kerangka atau bagaimana kiranya hasil akhir dari proses menulis itu. Saya hanya memiliki pokok bahasan yang umum. Tiba-­tiba saya, muncul dalam benak saya pemikiran yang belum pernah saya pikirkan, saya ajarkan, atau saya dengar diajarkan orang lain. Saya hanya menulis dan menulis. Akhirnya, saya menghasilkan manuskrip yang cukup panjang untuk dijadikan buku. Lalu, saya menulis buku kedua, kemudian ketiga. Sampai saat ini, saya sudah menulis lima belas buku yang terjual jutaan eksemplar dan diterbitkan dalam lebih dari enam puluh bahasa di seluruh dunia. Salah satunya, Drawing Near, memenangkan hadiah tahunan Retailer’s Choice pada 2004, dan beberapa buku laris di pasar nasional dan internasional.

Anda mengerti bahwa, berdasarkan kemampuan “alamiah” yang saya miliki, saya tidak dapat membanggakan diri atas hal itu? Itu semua anugerah Allah!

Saya pernah berdiri di lapangan hoki di Eropa di depan lebih dari delapan ribu hadirin, banyak di antaranya pemimpin Kristen, dan bertanya berapa banyak yang sudah membaca salah satu buku saya. Dengan tercengang saya melihat hampir setiap orang mengangkat tangan mereka. Pada konferensi internasional di Eropa Timur, tuan rumah bertanya pada enam ribu pemimpin dari lebih dari enam puluh negara, apakah mereka pernah membaca paling tidak satu buku saya yang diterbitkan dalam bahasa mereka. Sungguh membesarkan hati saya melihat sekitar 90 persen peserta mengangkat tangan mereka. Saya diberi tahu oleh penerbit Iran (pada saat ini tujuh judul buku saya terbit dalam bahasa Farsi, bahasa resmi Iran), “Anda salah satu penulis Kristen yang bukunya paling banyak dibaca di seluruh Iran.” Laporan semacam itu terus berdatangan. Namun intinya adalah: Sungguh anugerah yang luar biasa!

Ini salah satu impian saya: Saya ingin menemui guru bahasa Inggris SMA saya dan menunjukkan kepada mereka lima belas buku yang telah saya tulis oleh anugerah Allah, melihat mereka pingsan, lalu menyadarkan mereka kembali, dan memimpin mereka kepada Kristus. Buah itu akan membuat saya unggul di mata mereka dan secara jelas memperlihatkan anugerah yang mengagumkan dari Tuhan kita Yesus Kristus!

Karena alasan itulah Paulus dengan berani menyatakan, “Karena anugerah Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang” (1 Korintus 15:10). Dengarkan saya, pembaca yang baik: Anda sebagaimana Anda ada sekarang bukan karena keluarga tempat Anda dilahirkan, lingkungan pergaulan tempat Anda bertumbuh, kelompok etnis tempat Anda bergaul, jenis kelamin Anda, atau tempat pendidikan Anda. Anda sebagaimana Anda ada sekarang karena anugerah Allah!

Pada awalnya saya juga pengkhotbah yang buruk. Setelah Lisa dan saya menikah, pada waktu-­waktu pertama ia mendengar saya memberitakan Injil, ia sudah tertidur nyenyak dalam waktu sepuluh menit. Teman baiknya, Amy, duduk di sampingnya dan juga tidur begitu nyenyak sampai saya dapat melihat air liur meleleh dari mulutnya yang terbuka lebar! Mereka berdua tetap tertidur sampai akhir khotbah saya.

1984. Ia memutarnya dan dalam beberapa detik saya berteriak, “Lisa, buang itu!” Ia merenggut video itu, mendekapnya erat-­erat, dan tertawa histeris. “Tidak,” katanya. “Ini bisa untuk memeras kamu!”

Saat ini, dan hanya karena anugerah Allah yang memberikan kemampuan, saya pernah berbicara di depan lima ribu, sepuluh ribu, dan bahkan dua puluh ribu orang di lapangan di seluruh dunia. Orang bertanya pada saya, “Apakah Anda gelisah sebelum berkhotbah?”

“Tidak, sama sekali tidak,” jawab saya.

Mereka biasanya bingung mendengar jawaban itu. “Bagaimana mungkin Anda menghadapi begitu banyak orang dan tidak gelisah?”

Saya tertawa dan berkata, “Saya tahu betapa buruknya kemampuan saya, dan jika anugerah tidak muncul, kita semua menghadapi masalah besar.” Sekarang setelah saya mengenal anugerah Allah, anugerah itu tidak pernah gagal. Anugerah senantiasa ada dan siap sedia!

Itulah sebabnya Paulus berkata, “Menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang” (1 Korintus 1:26). Mengapa? Karena orang yang bijak, orang yang berpengaruh, dan orang yang terpandang akan mengandalkan kemampuan mereka sendiri, bukan mengandalkan anugerah Allah.

Pada awal masa hidupnya, Paulus termasuk orang yang bijak dan terpandang. “Seandainya orang lain dapat selamat dengan kemampuan sendiri, pastilah saya juga dapat!” katanya di Filipi 3:4 (FAYH). Tetapi Paulus memilih untuk bergantung pada anugerah: “Tetapi semua [hikmat, kekuatan, kehormatan] yang dahulu saya junjung tinggi, sekarang sudah saya buang” (Filipi 3:7). Mengapa atribut tersebut tidak berharga? Karena Paulus ingin hidup bukan berdasarkan kemampuan alamiahnya, melainkan dalam anugerah kebangkitan yang diperolehnya bukan karena kebaikannya: “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-­Nya” (ayat 10). Ini bukan berarti Paulus hanya duduk-­duduk santai. Ia belajar dengan tekun untuk menunjukkan dirinya layak dipercaya, dan ia dengan penuh hasrat berdoa agar dirinya dipenuhi dengan pengenalan akan kehendak Allah dalam segala hikmat dan pengertian rohani. Paulus bertekun seperti seharusnya kita semua, tetapi ia percaya Allah memberinya anugerah sehingga upayanya itu diperlengkapi secara ilahi.

Jika Anda pelajar, Anda harus belajar dengan giat, namun Anda juga perlu percaya bahwa anugerah Allah akan mengangkat taraf pemikiran dan pencapaian Anda melampaui apa yang Anda pikirkan. Jika Anda

seorang dokter, Anda harus tetap mengikuti penemuan medis modern, namun Anda tidak mengandalkan kemampuan atau pendidikan Anda. Anda harus mengandalkan hikmat dan kreativitas anugerah Allah yang adikodrati untuk menolong Anda melampaui kemampuan manusia biasa. Jika Anda atlet profesional, Anda perlu berlatih dengan tekun, tetapi Anda harus berpegang teguh pada anugerah Allah untuk mengungguli atlet lain yang tidak percaya.

Ingatlah bagaimana, di bab satu, kita menemukan bahwa Allah

3HQFLSWD\DQJSHQXKNDVLKVXGDKPHQXOLVELRJUDÀNLWDPDVLQJPDVLQJ

sebelum kita lahir? Kita membahas perkataan pujian Daud, “Mata-­Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-­Mu semuanya tertulis hari-­hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya” (Mazmur 139:16).

6D\D LQJLQ PHQJDWDNDQ VHVXDWX WHQWDQJ ELRJUDÀ $QGD 0XVWDKLO EDJL $QGD PHPHQXKL ELRJUDÀ \DQJ GLUDQFDQJNDQ $OODK LWX

dengan kemampuan Anda sendiri. Anda sama sekali tidak mampu

PHODNXNDQQ\D-LND$OODKPHUDQFDQJELRJUDÀ\DQJGDSDW$QGDSHQXKL

dengan kemampuan Anda sendiri, maka Dia harus membagikan kemuliaan-­Nya dengan Anda. Dan Allah tidak melakukan hal itu! Dia dengan jelas menyatakan, “Aku tidak akan memberikan kemuliaan-­ Ku kepada yang lain” (Yesaya 42:8). Maka, Allah dengan sengaja

PHQXOLV ELRJUDÀ $QGD VHGHPLNLDQ UXSD VHKLQJJD WLGDN PXQJNLQ

dipenuhi dengan kemampuan Anda sendiri, agar Anda bersandar pada anugerah-­Nya untuk memenuhi-­Nya. Dengan demikian, Dia mendapatkan seluruh kemuliaan!

Itulah yang saya katakan pada orang-­orang yang bertanya tentang buku yang saya tulis. Tidak ada orang yang lebih paham dari saya sendiri siapa sebenarnya yang menulis buku-­buku ini. Mereka tidak digarap menurut kemampuan saya sendiri. Saya tahu bahwa saya menjadi sebagaimana saya ada sekarang karena kemampuan-­Nya, anugerah-­Nya, dan bukan karena kemampuan saya. Itu karunia cuma-­ cuma dari Allah.

Akan tetapi, sungguh mencemaskan, hanya 2 persen orang percaya Amerika yang menyadari bahwa pemberdayaan anugerah akan

PHPDPSXNDQPHUHNDXQWXNPHPHQXKLELRJUDÀ\DQJWHODKGLWHWDSNDQ

bagi mereka. Bagaimana mungkin 98 persen memenuhi panggilan mereka hanya dengan kemampuan mereka sendiri? Faktanya adalah, mereka tidak mampu. Mungkin ini yang menyebabkan kita tidak melihat dampak yang dahsyat di tengah masyarakat kita?

Dalam dokumen Tak kenal Menyerah (JOHN BEVERE) (Halaman 72-77)