• Tidak ada hasil yang ditemukan

ORANG YANG RENDAH HATI MENERIMA ANUGERAH ALLAH

Dalam dokumen Tak kenal Menyerah (JOHN BEVERE) (Halaman 148-152)

SENJATA KERENDAHAN HAT

ORANG YANG RENDAH HATI MENERIMA ANUGERAH ALLAH

Orang Kristen yang sungguh-­sungguh rendah hati percaya, yakin, dan menaati Firman Allah melampaui pemikiran, penalaran, perasaan, atau keinginan mereka sendiri. Mereka, dengan demikian, bergantung sepenuhnya pada kemampuan Allah, bukan pada kemampuan mereka sendiri. Mereka mencari kehendak-­Nya, bukan kehendak pribadi atau orang lain. Mereka memperjuangkan misi-­Nya. Firman Allah menyatakan, “Sesungguhnya, orang yang membusungkan dada, tidak lurus hatinya, tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya” (Habakuk 2:4).

Habakuk menggambarkan kesombongan dan iman sebagai hal yang berlawanan. Ayat ini dapat saja ditulis, “Sesungguhnya, orang yang tidak rendah hati, tidak lurus hatinya, tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh iman-­nya.” Di sini kerendahan hati dan iman berjalan berdampingan. Begitu juga dengan kesombongan dan ketidakpercayaan. Tidak memercayai Allah berarti menyatakan bahwa kita lebih berpengetahuan dari Dia dan kita lebih memercayai penilaian kita sendiri daripada penilaian-­Nya. Ketidakpercayaan itu tidak lain dari kesombongan yang tersamar.

Saya akan memberikan ilustrasi. Sekitar setahun setelah Israel keluar dari Mesir, Tuhan memerintahkan Musa, “Suruhlah beberapa orang mengintai tanah Kanaan, yang akan Kuberikan kepada orang Israel” (Bilangan 13:2). Seperti biasanya, petunjuk Allah itu jelas—tidak ada area abu-­abu atau hal yang meragukan.

Maka Musa pun menyuruh dua belas pemimpin, dari setiap suku masing-­masing satu. Akan tetapi, sepuluh orang sangat “rendah hati” dan dua orang lagi sangat “sombong.” (Jika Anda akrab dengan cerita itu, bertahanlah menyimak paparan saya;; saya memang hendak menekankan suatu maksud tertentu.)

Setelah empat puluh hari di Tanah Perjanjian, para mata-­mata pulang kembali. Sepuluh orang yang “rendah hati” berbicara lebih dahulu, “Kami memata-­matai negeri itu dan negeri itu memang sangat hebat, berlimpah dengan susu dan madu. Lihat saja buah-­buahan yang kami bawa ini. Akan tetapi, ada pasukan sangat kuat yang harus kita hadapi—bahkan para raksasa! Mereka prajurit yang cakap dengan senjata yang jauh lebih besar dari miliki kita;; sedangkan kita ini hanya sekumpulan budak yang baru saja bebas. Kita harus memikirkan istri dan anak-­anak kita! Bagaimana mungkin kita menyerahkan orang-­

orang yang kita kasihi untuk mengalami kekejaman, penyiksaan, pemerkosaan, dan bahkan mungkin kematian yang menunggu mereka di seberang sungai? Kita harus menjadi suami dan ayah yang baik dan bertanggung jawab. Kami memberitahukan kepada kalian semua realitas sebenarnya dari keadaan ini. Tidak mungkin kita mengambil alih negeri itu.” Meskipun bangsa itu rindu memiliki negeri sendiri, keselamatan harus diutamakan. Mereka pun memuji dan menghargai hikmat dan kerendahan hati orang-­orang itu. Saya yakin, sebagian besar ayah dan ibu yang mendengar laporan mereka bersyukur atas sikap lemah-­lembut sepuluh mata-­mata itu. Bangsa Israel menghibur diri mereka dengan berkata satu sama lain, “Beruntung sekali kita karena orang-­orang ini pergi memeriksa lebih dulu. Benar-­benar pemimpin yang luar biasa—mereka tidak dikuasai oleh ego mereka sampai harus membahayakan kita. Apa jadinya kita kalau mereka tidak menggunakan akal sehat?”

Namun kemudian dua pemimpin yang “sombong,” Kaleb dan Yosua, menyela dan berseru, “Tunggu sebentar! Apa yang kita lakukan di sini? Kita perlu pergi dan mengambil alih negeri itu sekarang juga! Kita bisa melakukannya! Tuhan Allah sudah menjanjikannya kepada kita. Firman-­Nya meneguhkan hal itu! Kita akan membinasakan bangsa itu. Mari segera bergerak!”

Setiap orang tertegun mendengar hal itu. Mereka berpandangan dengan diliputi rasa tak percaya. Dapatkah Anda membayangkan reaksi sepuluh mata-­mata lain terhadap seruan Kaleb dan Yosua yang gegabah dan sembrono itu? Saya membayangkan, setelah terkejut beberapa saat, mereka semua menanggapinya kira-­kira begini: “Apa yang kalian berdua ini omongkan? Kalian sudah tidak waras ya? Kita semua melihat hal yang sama—kita menyaksikan kekuatan, senjata, dan kota-­kota berkubu mereka. Mereka prajurit yang besar-­besar dan terampil, dan kita ini cuma sekumpulan budak. Kita sama sekali tak sebanding dengan mereka! Kalian tidak memikirkan istri dan anak-­anak kita, kesejahteraan bangsa kita. Kalian angkuh, bebal, dan idealistis! Tutup mulut kalian!”

Saya membayangkan orang banyak itu mendesah dengan lega. “Heh, syukurlah orang-­orang yang bijaksana itu tidak berdiam diri. Kita sangat beruntung karena mayoritas mata-­mata bersikap rendah hati dan arif. Bisakah kalian bayangkan apa jadinya kita kalau mereka semua sesombong dan seangkuh Kaleb dan Yosua?”

Namun, seperti biasanya, Allah sendirilah yang menentukan keputusan akhir. “Berapa lama lagi bangsa ini menista Aku,” seru-­Nya

kepada Musa, “dan berapa lama lagi mereka tidak mau percaya kepada-­ Ku?” (Bilangan 14:11). Allah tidak senang dengan mentalitas orang banyak itu. Apa yang mereka anggap sebagai kerendahan hati ternyata sama sekali bukan kerendahan hati. Sesungguhnya, ketidakpercayaan mereka tidak lain adalah kesombongan. Seluruh perhitungan mereka berdasarkan pada hikmat, kemampuan, dan kekuatan mereka sendiri.

Nantinya dalam Perjanjian Lama Allah menyatakan, “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia.... Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN” (Yeremia 17:5, 7). Sepuluh mata-­mata lain melihat betapa besarnya para raksasa itu dan membayangkan prospek yang menakutkan berdasarkan kekuatan mereka sendiri. Tetapi Kaleb dan Yosua melihat betapa besarnya Allah dibandingkan dengan musuh dan membuat perhitungan sepenuhnya berdasarkan anugerah Allah. Kedua orang ini, Kaleb dan Yosua, berakhir sebagai orang yang diberkati;; sepuluh mata-­mata dan semua orang lain yang tidak percaya ditimpa kutuk.

Jadi, mata-­mata manakah yang sungguh-­sungguh rendah hati dan manakah yang sungguh-­sungguh sombong? Di mata Tuhan, sepuluh mata-­mata itu sombong dan hanya dua yang rendah hati.

Kita perlu sungguh-­sungguh rendah hati untuk memiliki iman, karena ketika Anda rendah hati Anda sungguh-­sungguh mengandalkan dan yakin pada kemampuan (anugerah) Allah untuk menyelesaikan masalah Anda—bukan mengandalkan kemampuan Anda sendiri. Jika sepuluh mata-­mata itu dengan rendah hati mengandalkan janji Allah, mereka tentu sudah pergi dan menaklukkan negeri itu. Mereka tentu sudah menundukkan diri pada Firman Tuhan, bukannya pada kekuatan dan penalaran manusiawi mereka yang terbatas, dan dengan demikian mereka merendahkan diri satu sama lain—dalam misi yang sama.

Seandainya mereka berada di dalam pertempuran, seorang penonton mungkin menganggap para keturunan Abraham itu sedang bergerak menurut

kekuatan mereka sendiri, namun

sebenarnya anugerah Allahlah—kuasa supernatural-­Nya—yang bekerja melalui mereka. Ketika kita diperlengkapi dengan anugerah Allah, kadang-­kadang pencapaian kita tampak seperti hasil dari kemampuan kita sendiri. Pada waktu lain, hal itu jelas-­jelas memperlihatkan kemampuan Allah. Namun, bagaimanapun tampaknya hal itu bagi orang luar, kita dapat mengetahui dan memercayai sepenuhnya kuasa-­

Kita  perlu  sungguh-­   sungguh  rendah  hati    

Nya dan melangkah maju berdasarkan keyakinan kita akan Firman-­ Nya.

Itulah, pembaca yang baik, iman yang tak kenal menyerah itu. Semuanya itu dimulai dari roh yang rendah hati di hadapan Allah dan satu sama lain.

Mengenakan kerendahan hati berarti mengenakan senjata-­Nya, bukan senjata kita. Dalam 1 Petrus 5:5-­6 diperintahkan, “Kenakanlah kerendahan hati.... Karena itu, rendahkanlah dirimu di bawah tangan Tuhan yang kuat” (KJV). Dalam Kitab Suci, tangan Allah selalu berbicara tentang kemampuan, kekuasaan, keperkasaan, atau kekuatan Allah;; dengan kata lain: senjata-­Nya.

Bagaimana hal ini berlaku secara praktis? Kita harus merendahkan diri di bawah keperkasaan dan kekuatan Allah. Kita tidak membiarkan ide dan pengalaman manusia (kita atau orang lain) bangkit melampaui Firman Allah. Sebaliknya, kita percaya, tanpa memperitungkan penalaran atau logika alamiah kita, dan membiarkan Firman-­Nya menentukan tindakan kita.

Empat ratus tahun dalam perbudakan Mesir mengajarkan pada bangsa Israel bahwa mereka tidak dapat membela diri terhadap pasukan yang lebih kuat dan yang memiliki senjata yang lebih hebat. Mesir telah mendominasi mereka. Mereka mampu melakukan apa-­apa untuk membebaskan diri;; Allah sendirilah yang harus melakukannya. Dia dengan penuh kemuliaan membebaskan mereka dengan tangan-­ Nya yang kuat. Seperti diingat oleh Musa, “Sebab dengan tangan yang kuat TUHAN telah membawa engkau keluar dari Mesir” (Keluaran 13:9). Namun kita juga mengetahui bahwa “segera mereka melupakan perbuatan-­perbuatan-­Nya” (Mazmur 106:13). Mereka berpaut pada pengalaman sekian lama diperbudak, bukannya pada tangan Allah yang membebaskan mereka. Tangan kuat yang telah mengalahkan Mesir itu juga akan mampu mengalahkan pasukan Kanaan, yang nyatanya jauh lebih lemah dari pasukan Mesir.

Namun sebelum Anda dan saya bersikap terlalu keras terhadap bangsa Israel yang lemah iman itu, kita perlu melihat ke dalam cermin. Betapa sering kita bertindak seperti itu? Sebelum kita menjadi bagian dari keluarga Allah, kita berada di bawah pemerintahan Iblis yang tiran. Kita memiliki kodratnya dan tidak memiliki harapan untuk dapat meloloskan diri. Namun Allah dengan penuh keperkasaan “sudah melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam kerajaan Anak-­Nya yang dikasihi-­Nya” (Kolose 1:13, BIS).

Jika Dia telah melakukan tindakan yang mustahil ini, betapa jauh lebih mampu Dia menangani keadaan yang jauh lebih sederhana dan mudah dalam kehidupan kita? Keadaan seperti menyembuhkan penyakit dan kelemahan, memenuhi kebutuhan apa pun, memberikan hikmat, dan memampukan kita untuk menjadi unggul dan mengatasi hambatan yang tampak “mustahil.” Janganlah kita mengulangi kebodohan bangsa Israel dan “segera melupakan perbuatan-­perbuatan-­Nya.” Marilah kita tetap mengenakan senjata kerendahan hati seperti Kaleb dan Yosua.

KESALAHPAHAMAN  TERHADAP    

Dalam dokumen Tak kenal Menyerah (JOHN BEVERE) (Halaman 148-152)