• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fathiyatussa’adah

PENDAHULUAN

Era revolusi industri 4.0 saat ini, pendidikan dihadapkan pada tantangan yang semakin kompleks. Perubahan terjadi begitu cepat dan non linier tanpa bisa diprediksi apa yang akan terjadi. Berbicara pendidikan berarti otomatis orientasinya adalah ke masa depan. Bagi pendidikan ini adalah masa yang penting bukan hanya berfokus pada pelayanan yang optimal dan berkualitas saja namun juga bagaimana menentukan eksistensi pendidikan itu sendiri terhadap mutu lulusan pendidikan. Hanya ada dua pilihan “berubah” atau “mati”. Jika memilih berubah maka pegiat pendidikan harus bisa

cepat beradaptasi terhadap kemajuan zaman dan perubahan era.

Setelah era 4.0 ini, Indonesia akan segera menghadapi era society 5.0 yang baru diluncurkan oleh negara Jepang pada bulan Januari 2019 lalu. Menurut Arief Budiman (2019), era society 5.0 dikenal dengan super- smart society, yaitu tatanan masyarakat yang berpusat pada human centered dan technology oriented, dimana manusia adalah bagian dari teknologi itu sendiri. Ini berarti tantangan pendidikan akan lebih berat apabila sumber daya manusianya tidak dipersiapkan dengan matang. Karena tantangan pendidikan kedepan bukan lagi masalah akses dan pemerataan

Pentingnya Sikap Empati Kepala Sekolah Dalam Memberdayakan

Guru Kreatif Menuju Era Society 5.0

pendidikan, tetapi lebih pada mutu lulusannya atau mutu pendidikan, bagaimana menanamkan karakter siswa agar bisa tumbuh dan sukses bersaing di setiap era perubahan di masa depan.

Sudah terbukti di beberapa negara maju bahwa tingkat kemajuan yang dicapai suatu bangsa ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya. Oleh sebab itu, pendidikan mempunyai peranan penting dalam menciptakan sumber daya manusia yang unggul. Hal ini sesuai dengan salah satu dari lima visi Presiden Jokowi yaitu Pembangunan Sumber Daya Manusia. Oleh sebab itu, dibutuhkan kerjasama para pegiat pendidikan khususnya kepala sekolah dan guru untuk mewujudkan terciptanya SDM Unggul. Sebagai pendidik, Guru juga harus menggali kemampuan siswa, membekali siswa dengan kompetensi seperti ketrampilan tidak hanya ketrampilan untuk bertahan hidup, akan tetapi juga ketrampilan berpikir scientific, kritis dan inovatif. Sebagai penggerak, guru harus mampu berinovasi, melahirkan ide-ide baru, pemikiran yang out of the box, tidak terkecuali kepala sekolah pun harus inovatif agar goal tersebut dapat dikondisikan secara maksimal. Apabila guru memperoleh dukungan dari kepala sekolah. Maka dari itu, sebagai seorang pemimpin, kepala sekolah hendaknya memberikan apresiasi dan juga rasa empatinya.

Mengap demikian? Karena melalui rasa empati, seorang pemimpin akan mampu mengembangkan pemahaman yang mendalam mengenai suatu permasalahan. Menurut Hadmodjosoewita (2010:109), empati adalah kemampuan seseorang untuk menempatkan dirinya pada situasi orang lain. Jika dikaitkan dengan tugas kepala sekolah, maka kepala sekolah yang memiliki empati tinggi akan selalu berusaha untuk memahami pikiran dan perasaan para guru ketika mengalami kesulitan, mengapresiasi kerja keras guru, mendukung sepenuhnya ide-ide dalam berinovasi untuk mendidik siswanya. Dalam membangun inovasi itu penuh dengan resiko kegagalan dan kerugian

serta butuh kesabaran dan keberanian dalam mengambil keputusan (Gamal, 2018). Hal tersebut sangat diperlukan oleh kepala sekolah maupun guru. Karena peran guru tidak dapat tergantikan dengan teaching machine ketika mampu beradaptasi dan berinovasi.

METODE

Metode pada penulisan artikel ini menggunakan metode deskriptif yaitu memberikan gambaran tentang fenomena tertentu pada kondisi masyarakat berdasarkan teori-teori yang relevan dengan topik pembahasan. Adapun teknik pengambilan data adalah dengan kajian pustaka atau studi kepustakaan yaitu data didapat dari buku-buku, jurnal yang relevan dengan topik yang akan dibahas. Studi kepustakaan berfungsi untuk membangun konsep dan teori yang menjadi dasar dalam permasalahan (Wiratna, 2014 : 57).

PEMBAHASAN

Kepemimpinan Inovatif dalam Memberdayakan Guru Kreatif

Pemimpin pada hakikatnya adalah seorang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan.

(Nanang Fattah, 2006). Stephen Robbins (2003), kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok guna mencapai serangkaian tujuan. Kepemimpinan juga dimaknai sebagai proses mempengaruhi tidak hanya dari pemimpin kepada pengikut atau satu arah melainkan dua arah atau timbal balik.

Pengikut yang baik dapat saja memunculkan kepemimpinan dengan mengikuti kepemimpinan yang ada dan pada derajat tertentu memberikan feedback kepada pemimpin. Bahkan kepemimpinan bisa diartikan sebagai proses untuk mempengaruhi orang lain agar mampu memahami serta menyetujui apa yang harus dilakukan sekaligus bagaimana melakukannya, termasuk pula proses memfasilitasi upaya individu atau kelompok dalam memenuhi tujuan bersama (Yulk, 2009).

Dengan demikian, jika dikaitkan dengan kepemimpinan kepala sekolah, setiap kepala sekolah harus bisa mempengaruhi dan memberikan pengaruh positif kepada semua guru dan stafnya dengan segala usaha terbaiknya untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan. Definisi pengaruh adalah proses pemimpin mengkomunikasikan gagasan, memperoleh penerimaan atas gagasan dan memotivasi pengikut untuk mendukung serta melaksanakan gagasan tersebut lewat

“perubahan”. (Robert Lussier dalam Sohiron dkk, 2019)

Perilaku kepemimpinan yang ditampilkan secara konsisten disebut gaya kepemimpinan.

Gaya kepemimpinan seseorang sangat bervariasi. Setiap pemimpin dapat melakukan berbagai cara dalam kegiatan mempengaruhi atau memberi motivasi orang lain atau bawahannya. Termasuk mempengaruhi untuk melakukan “perubahan” bersama. Perubahan berkaitan erat dengan inovasi. Inovasi adalah proses menghasilkan sesuatu yang baru.

Sedangkan kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru disebut inovatf. Jika dikaitkan dengan kepemimpinan, kepemimpinan inovatif adalah kemampuan seseorang dalam mempengaruhi, menggerakkan, memotivasi orang lain dalam melakukan pembaharuan atau perubahan ke arah yang lebih baik dalam mencapai tujuan bersama. Menurut Gamal (2018), seorang pemimpin yang inovatif adalah seorang yang mempunyai kemampuan untuk mengkombinasikan gaya kepemimpinan yang berbeda untuk mempengaruhi bawahan dan menciptakan ekosistem di dalam organisasi sehingga dapat memproduksi ide, gagasan, program dan layanan yang produktif. Dalam sebuah penelitian yang berjudul “10 Trait of Innovatif Leaders” oleh Jack Zenger dan Folkman menyimpulkan sepuluh sifat kepemimpinan inovatif, antara lain:

(1) Menampilkan visi strategis yang unggul (2) Memiliki fokus yang kuat pada n-user (3) Menciptakan iklim saling percaya (mutual trust)

(4) Menunjukkan kesetiaan dalam melakukan sesuatu yang benar bagi organisasi dan n-user (5) Mendengar inovasi dari level bawah (6) Persuasif

(7) Mengatur jangkauan tujuan dengan sangat baik

(8) Menekankan pada speed (9) Terbuka dalam komunikasi

(10) Menginspirasi dan memotivasi melalui tindakan.

Dengan demikian, seorang kepala sekolah masa kini disamping melaksanakan tugas dan fungsinya, juga dituntut untuk bertindak sebagai inovator, dimana harus memikirkan dan menciptakan adanya pembaharuan di sekolah.

Sehingga melahirkan terobosan-terobosan baru (bahan ajar baru, kompetensi baru, dan motivasi baru) yang dapat memperbaiki kualitas pendidikan dan mempertahankan eksistensi dari sekolah itu sendiri. Ada dua dimensi yang mendasari inovasi yaitu kreativitas dan pengambilan resiko. Kreativitas mencakup tiga aspek yaitu kemampuan imajinasi, keahlian dan motivasi internal. Dan pengambilan resiko ini dibutuhkan agar terciptanya dorongan dalam ide baru untuk menghadapi rintangan yang ada sehingga pengambilan resiko merupakan cara untuk mewujudkan ide yang kreatif. Dalam tugas dan peran kepala sekolah sebagai inovator, pembaruan yang dapat dilakukan antara lain, sebagai berikut:

a. Meningkatkan kemampuan dan kreativitas guru dengan memfasilitasi kebutuhannya b. Membuka komunikasi agar muncul

pemikiran baru dengan guru

c. Meningkatkan program pelatihan pelayanan yang lebih komprehensif

d. Memberi intensif, apresiasi atau reward bagi guru

e. Menciptakan lingkungan kerja yang nyaman yang penuh dengan nilai pendidikan sehingga pelaksanaan KBM senantiasa kondusif

Kepala sekolah yang inovatif tidak sekedar meminta guru untuk berkreasi melakukan inovasi di dalam ruang kelas, akan tetapi juga mempraktikannya dalam pengelolaan kelas dan sekolah secara umum. Selain inovatif, seorang pemimpin juga dituntut untuk memiliki rasa empati.

Sikap Empati Pemimpin

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 13 tahun 2007 tentang Standar Kepala

Sekolah/Madrasah dijelaskan bahwa Standar Kompetensi Kepala sekolah terdiri dari: (1) kepribadian; (2) manajer; (3) kewirausahaan; (4) supervisor; (5) sosial. Dengan demikian, sebagai

kepala sekolah harus dapat

mengimplementasikan dalam kepemimpinannya untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Perwujudan prilaku kepala sekolah sebagai seorang yang memiliki kompetensi sosial adalah berempati kepada guru dan seluruh komponen sekolah dalam pelaksanaan kepemimpinannya.

Empati merupakan sikap dari seorang individu untuk memahami orang lain dari sudut pandangnya (Sohiron dkk, 2019).

Menurut Umar dan Ahmadi Ali (1992), empati adalah suatu kecenderungan yang dirasakan seseorang untuk merasakan sesuatu yang dilakukan orang lain andaikan ia berada dalam situasi orang lain tersebut. Sedangkan Goleman (2007) berpendapat bahwa empati adalah kemampuan untuk memahami perasaan dan masalah orang lain, berpikir dengan sudut pandang mereka serta menghargai perbedaan perasaan orang lain tentang berbagai hal. Jadi, empati adalah sebuah sikap dimana seorang pemimpin mampu memahami dan merasakan apa yang sedang dialami oleh orang lain.

Memang tidak semua orang bisa melakukannya, akan tetapi sikap empati ini sangat perlu dilakukan oleh seorang kepala sekolah untuk menciptakan komunikasi dan hubungan yang baik pada guru dan seluruh staf dalam kepemimpinannya.

Menurut Asri Budiningsih, empati berasal dari kata pathos (dalam bahasa Yunani) yang berarti perasaan mendalam.Sedangkan menurut Carkhuff dalam Asri Budiningsih mengartikan empati sebagai kemampuan untuk mengenal, mengerti dan merasakan perasaan orang lain dengan ungkapan verbal dan perilaku, dan mengkomunikasikan pemahaman tersebut kepada orang lain.Brammer dalam Pangaribuan (1993) mengartikan empati sebagai cara seseorang untuk memahami persepsi orang lain dari kerangka internalnya. Sedangkan menurut Rogers dalam Pangaribuan empati merupakan

cara mempersepsi kerangka internal dari referensi orang lain dengan keakuratan dan komponen emosional, seolah-olah seseorang menjadi orang lain.

Menurut Hansen mengemukakan empati mengandung makna bahwa seseorang mencoba untuk mengerti keadaan orang lain sebagai mana orang tersebut mengertinya dan menyampaikan pengertian itu kepadanya.Dalam sumber lain, Pangaribuan menyebutkan empati berarti masuk ke dalam diri seseorang dan melihat keadaan dari sisi orang tersebut, seolah- olah ia adalah orang itu. Seseorang dapat di katakan memiliki empati jika ia dapat menghayati keadaan perasaan orang lain serta dapat melihat keadaan luar menurut pola acuan orang tersebut, dan mengomunikasikan penghayatan bahwa dirinya memahami perasaan, tingkah laku dan pengalaman orang tersebut secara pribadi.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sifat empati pemimpin adalah kemampuan pemimpin untuk mengenali, mempersepsi, serta merasakan perasaan bawahan yang disertai dengan ungkapan dan tindakan.

Berempati tidak hanya dilakukan dalam bentuk memahami perasaan orang lain semata, tetapi harus dinyatakan secara verbal dan dalam bentuk tingkah laku. Tiga ciri dalam berempati menurut Gazda dalam Asri Budiningsih adalah:

1)Mendengarkan dengan seksama apa yang di ceritakan orang lain, bagaimana perasaannya, apa yang terjadi pada dirinya; 2) Menyusun kata-kata yang sesuai untuk menggambarkan perasaan dan situasi orang tersebut; 3) Menggunakan susunan kata-kata tersebut untuk mengenali orang lain dan berusaha memahami perasaan serta situasinya. Daniel Goleman mengemukakan tiga ciri kemampuan empati yang harus dimiliki, antara lain: 1) Mendengarkan pembicaraan orang lain

dengan baik, artinya individu mampu memberi perhatian dan menjadi pendengar yang baik dari segala permasalahan yang di ungkapkan orang lain kepadanya; 2) Menerima sudut mampu memandang permasalahan dari titik pandang orang lain sehingga akan menimbulkan toleransi dan kemampuan menerima perbedaan; 3) Peka terhadap perasaan orang lain, artinya individu

mampu membaca perasaan orang lain dari isyarat verbal dan non verbal seperti nada bicara, ekspresi wajah, gerak-gerik dan bahasa tubuh lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa indikator sifat empati seseorang pimpinan yaitu: 1) Mendengarkan pembicaraan bawahan dengan baik, artinya individu mampu memberi perhatian dan menjadi pendengar yang baik dari segala permasalahan yang diungkapkan bawahan kepadanya; 2) Menerima sudut pandang bawahan, artinya pimpinan mampu memandang permasalahan dari titik pandang bawahan sehingga pemimpin memiliki sifat toleransi dan menerima perbedaan; 3) Peka terhadap perasaan bawahan, artinya pimpinan mampu membaca perasaan bawahan dari isyarat verbal dan non verbal seperti nada bicara, ekspresi wajah, gerak-gerik dan bahasatubuh lainnya. Jadi sikap empati ini tentulah harus ada pada seorang kepala sekolah. Disini seorang kepala sekolah harus selalu berada di garda terdepan dalam memberikan perhatian dan dukungan penuh, mendengarkan dengan seksama apa yang menjadi keluhan guru, membantu guru dan seluruh bawahannya dalam menyelesaikan permasalahan atau kesulitan yang dihadapinya dan juga memfasilitas apa yang menjadi kebutuhan guru dalam berkreasi menciptakan lingkungan belajar yang nyaman.

Dengan melakukan pemberdayaan ini, tentu akan sangat berpengaruh kepada guru. Guru juga mempunyai kesempatan besar untuk mengubah suatu kondisi atau atmosfir pembelajaran menjadi lebih baik. Diharapkan dengan kreativitas dan inovasi guru yang langsung berhadapan dengan siswa, guru mampu menanamkan karakter, menggali ketrampilan, kompetensi peserta didik secara lebih maksimal dalam mencetak sdm unggul sehingga peserta didik akan mampu bertahan dan bersaing pada setiap era perubahan.

Pemimpin yang inovatif dan memiliki empati yang tinggi ini yang sangat dibutuhkan oleh dunia pendidikan pada era revolusi industri 4.0 menuju era society 5.0.

c. Pendidikan di Era Society 5.0

Industri 4.0 adalah buzzword terkenal yang diusung oleh Jerman. Industri 4.0 adalah

transformasi digital dari pasar – pasar industri dengan sistem smart manufacturing sebagai pusatnya. (Faturrahman, 2019) Tidak mau kalah oleh Jerman, Jepang memperkenalkan Society 5.0. Secara mengejutkan Kantor Perdana Menteri Jepang meluncurkan roadmap yang lebih humanis atau dikenal dengan supersmart society 5.0. Yang merupakan tatanan masyarakt yang berpusat pada manusia dan berbasis teknologi. Society 5.0 merupakan sebuah penyempurnaan dari era berburu (society 1.0), era pertanian (society 2.0), industri (society 3.0) dan teknologi informasi (society 4.0).

Munculnya gagasan Society 5.0 berangkat dari kekhawatiran Pemerintah Jepang terhadap kondisi masyarakatnya yang semakin menua (aging society). Sekitar 26,3 persen penduduk Jepang berusia di atas 65 tahun, sementara pertumbuhan penduduk relatif rendah. Melalui Society 5.0 warga lanjut usia Jepang diharapkan menggunakan teknologi artificial intellegent (AI), Internet of Things (IoT), imachine learning, big data dan sebagainya untuk membantu kehidupannya.

Melalui 5.0, kecerdasan buatan yang memperhatikan sisi kemanusiaan akan mentransformasi jutaan data (big data) yang dikumpulkan melalui internet pada segala bidang kehidupan. Tentu saja diharapkan akan menjadi suatu kearifan baru dalam tatanan masyarakat. Era Society 5.0 ini akan menjadi PR bagi setiap praktisi atau pegiat pendidikan untuk membekali peserta didik dengan ketrampilan, tidak hanya meliputi ketrampilan bertahan hidup, akan tetapi juga ketrampilan berpikir kritis dan inovatif. Peserta didik tidak hanya berpusar pada transfer of knowledge tetapi juga diorientasikan pada tarnsfer of attitude, yakni selain transfer ilmu pengetahuan juga pengembangan karakter, ditumbuhkan kemampuan dalam menumbuhkan rasa ingin tahu yang tinggi, semangat belajar, meningkatkan kreativitas dalam dirinya, dan memilki motivasi yang tinggi untuk mengembangkan diri (Mulyasa, 2012).

Society 5.0. merupakan gerakan yang merespon revolusi industri 4.0. dengan menekankan unsur manusia dan masyarakat, bahwa teknologi diciptakan manusia bukan untuk menggeser dan mengganti multi peran manusia bahkan mengancam, melainkan teknologi digunakan untuk kepentingan bersama masyarakat. Sehingga gerakan society 5.0.

menekankan pada a technology based human centered society. Pada bidang pendidikan, terjadinya perubahan paradigma dan mind set bahwa kemajuan teknologi tidak menggantikan posisi manusia (teachers) melainkan memabntu dan mempermudah menjalani kehidupan bagi manusia dan masyarakat.

Guru atau dosen tidak tergantikan dengan teaching machine karena manusia memiliki mind, heart, conscience, and love, yang tidak dimiliki robot atau machine.

Dengan demikian, peran dan usaha keras para pegiat pendidikan ini sangatlah penting, khususnya kepala sekolah yang inovatif, terutama guru kreatif yang bersentuhan langsung dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang unggul, yang dalam hal ini adalah siswa agar mampu bertahan, beradaptasi, bersaing menuju era society 5.0. Hal ini dikarenakan proses pembentukan pola pikir siswa sangat bergantung pada pola interaksi yang diciptakan oleh guru dalam ruang kelas.

Inilah yang harus diupayakan untuk semua kelas di seluruh Indonesia pada umumnya. Ini bukan siap atau tidak siap. Sepaling tidak mengambil ancang-ancang mempersiapkan era society 5.0 sebagai tuntutan zaman.

KESIMPULAN

Mempunyai rasa empati adalah keharusan setiap individu, apalagi seorang pemimpin.

Melalui empati, pemimpin akan mampu mengembangkan pemahaman yang mendalam mengenai suatu permasalahan. Karena empati merupakan kunci pengembangan kepemimpinan inovatif. Kepemimpinan inovatif adalah kemampuan untuk mengkombinasikan gaya kepemimpinan yang berbeda untuk dalam mempengaruhi bawahan dan menciptakan ekosistem di sebuah organisasi sehingga dapat melahirkan ide, program dan layanan yang inovatif. Pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang inovatif. Pemimpin inovatif yang memiliki rasa empati yang tinggi sangat dibutuhkan dalam dunia Pendidikan untuk menyongsong era Society yang memperkenalkan konsep bahwa manusia adalah bagian dari teknologi itu sendiri. Sehingga sumber daya manusia harus dipersiapkan

dengan matang untuk menghadapi era society 5.0 ini.

DAFTAR PUSTAKA

Asri Budiningsih. 2004. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta : Rineka Cipta Budiman, Arief. 2019. Industri 4.0 vs Society

5.0. Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada

Arifin, Muhammad. 2010. Kepemimpinan dan Motivasi kerja. Yogya . teras

Djamaludin, Ancok. 2012. Psikologi Kepemimpinan dan Inovasi. Jakarta : Erlangga

Goleman, Daniel. 2007. Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Hansen, Membantu Mencegah Masalah Orang Lain dengan Teknik Konseling.

Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1982.

Nanang Fattah. 2006. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung : Rosdakarya

Umar dan Ahmadi ali. 1992. Psikologi Umum.

Surabaya : Bina Ilmu.

Pangaribuan. 1993. Mengembangkan Empati Anak. Jakarta : Bumi Aksara

Sohiron dkk. 2010. Sikap Empati Pemimpin dalam Jurnal Manajemen Pendidikan Islam. Universitas Islam Negeri Sultan Syarif.

PENDAHULUAN

Persepsi karyawan tentang kualitas yang mereka harapkan dari para pemimpin mereka telah mengalami perubahan yang signifikan, menurut temuan penelitian dalam beberapa tahun terakhir. Satu dekade yang lalu, karisma, kefasihan, dan ekstroversi adalah umumnya dipuji sebagai ciri utama seorang pemimpin.

Perubahan sekarang melihat pergeseran dalam paradigma karyawan tentang konstitusi para pemimpin yang dipilih, dimana keterampilan yang lebih lunak yang sebelumnya dianggap kurang menonjol tidak lagi bisa diabaikan.

Model soft leadership saat ini berlabuh di dorongan manusia untuk terikat dengan orang

lain dan berkontribusi pada perbaikan masyarakat. Penekanan pada motivasi layanan seperti yang ditunjukkan dengan memberdayakan dan mengembangkan orang dengan empati dan kerendahan hati membedakan model kepemimpinan ini dari kerangka bekerja kepemimpinan lainnya.

Bidang pendidikan membutuhkan model kepemimpinan seperti ini karena objek dan subjeknya adalah manusia. Dibutuhkan model kepemimpinan pendidikan yang memiliki empati, mampu berkolaborasi dan bernegosiasi, memiliki ketegasan dan mampu menciptakan inovasi-inovasi untuk menghadapi perubahan

Soft Leadership: Kepemimpinan Inovatif yang Dibutuhkan

Pendidikan Menuju Masyarakat 5.0