Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologi belum jelas betul, terminologi dan klasifikasi masih bermacam-macam. Mengenai patofisiologinya yang belum jelas tersebut akan dijelaskan secara imunologik. Reaksi imun dapat menguntungkan, tetapi dapat pula merugikan yang disebut reaksi imun patologik, dan reaksi kusta ini tergolong di- dalamnya. Dalam klasifikasi yang bermacam- macam itu, yang tampaknya paling banyak dianut pada akhir-akhir ini, yaitu:
ENL (eritema nodusum leprosum) dan Reaksi reversal atau reaksi upgrading ENL terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada BL, berarti makin tinggi tingkat multibasilarnya makin besar kemungkinan timbul ENL (lihat gambar 11-3).
Bagan
/ / /
TT Ti
/ /
/ ..-
-
BT
/ / /
/ / ENL
I - - - - I
'f ...
Reversal / ' ,
I '
I ' ,
BB BL LL
Li Gambar 11-3. Hubungan antara reaksi reversal
dan enl pada berbagai tipe kusta Secara imunopatologis, ENL termasuk respons imun humoral, berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M.
leprae + antibodi (lgM, lgG) + komplemen ~
kompleks imun.
Tampaknya reaksi ini analog dengan reaksi fenomena unik, tidak dapat disamakan begitu saja dengan penyakit lain. Dengan terbentuknya kompleks imun ini, maka ENL termasuk di dalam golongan penyakit kompleks imun, oleh karena salah satu protein M. leprae bersifat antigenik, maka antibodi dapat terbentuk. Temyata bahwa kadar imunoglobulin penderita kusta lepromatosa lebih tinggi daripada tipe tuberkuloid. Hal ini te~adi
oleh karena pada tipe lepromatosa jumlah kuman jauh lebih banyak daripada tipe tuberkuloid.
ENL lebih banyak terjadi pada pengobatan tahun kedua. Hal ini dapat te~adi karena pada pengobatan, banyak kuman kusta yang mati dan hancur, berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ.
Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti irido- siklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis, dan nefritis akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat
disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik pula.
Perlu ditegaskan bahwa pada ENL tidak terjadi perubahan tipe. Lain halnya dengan reaksi reversal yang hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti), sehingga dapat di- sebut reaksi borderline. Yang memegang peranan utama dalam hal ini adalah SIS, yaitu terjadi peningkatan mendadak SIS. Meskipun faktor pen- cetusnya belum diketahui pasti, diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat- tempat kuman M. leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara mendadak, oleh karena itu memerlukan pengobatan segera yang memadai.
Seperti pemah diterangkan terdahulu bahwa yang menentukan tipe penyakit adalah SIS. Tipe kusta yang termasuk borderline ini dapat bergerak bebas ke arah TI dan LL dengan mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe selalu disertai perubahan SIS pula. Begitu pula reaksi reversal, terjadi perpindahan tipe ke arah TI dengan disertai peningkatan SIS, hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat.
Penggunaan istilah downgrading untuk reaksi kusta, akhir-akhir ini sudah hampir tidak terdengar lagi, tetapi pemakaiannya hanya untuk menunjuk- kan pergeseran ke arah lepromatosa masih tetap berlaku, berarti bergerak secara lambat, tidak secepat reaksi.
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas. Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup.
Adanya gejala neu-ritis akut penting diperhatikan, karena sangat menentukan pemberian pengobatan kortikosteroid, sebab tanpa gejala neuritis akut pemberian kortikosteroid adalah fakultatif.
Kalau diperhatikan kembali reaksi ENL dan reversal secara klinis, ENL dengan lesi eritema nodosum sedangkan reversal tanpa nodus, se- hingga disebut reaksi lepra nodular, sedangkan reaksi reversal adalah reaksi non-nodular. Hal ini penting membantu menegakkan diagnosis reaksi
atas dasar lesi, ada atau tidak adanya nodus.
Kalau ada berarti reaksi nodular atau ENL, jika tidak ada berarti reaksi non-nodular atau reaksi reversal atau reaksi borderline.
PENGOBATAN KUSTA
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS {diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin, dan rifampisin. DDS mulai dipakai sejak 1948 dan di Indonesia digunakan pada tahun 1952. Klofazimin dipakai sejak 1962 oleh BROWN dan HOGERZEIL, dan rifampisin sejak tahun 1970. Pada tahun 1998 WHO me- nambahkan 3 obat antibiotik lain untuk peng- obatan alternatif, yaitu ofloksasin, minosiklin dan klaritromisin.
Untuk mencegah resistensi, pengobatan tuberkulosis telah menggunakan multi drug treatment (MDT) sejak 1951, sedangkan untuk kusta baru dimulai pada tahun 1971.
Pada saat ini ada berbagai macam dan cara MDT dan yang dilaksanakan di Indonesia sesuai rekomendasi WHO, dengan obat alternatif sejalan dengan kebutuhan dan kemampuan.
Yang paling dirisaukan ialah resistensi terhadap DDS, karena DDS adalah obat antikusta yang paling banyak dipakai dan paling murah. Obat ini sesuai dengan para penderita yang ada di negara berkembang dengan sosial ekonomi rendah.
MDT digunakan sebagai usaha untuk:
mencegah dan mengobati resistensi memperpendek masa pengobatan
mempercepat pemutusan mata rantai pe- nularan
Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan antara lain:
efek terapeutik obat efek samping obat ketersediaan obat harga obat
kemungkinan penerapannya
DDS
Tentang sejarah pemakaian DDS, pada 20 tahun pertama digunakan sebagai monoterapi.
Pada tahun 1960, Shepard berhasil melakukan inokulasi M. leprae ke dalam telapak kaki mencit.
Pada tahun 1964, pembuktian pertama kali
dengan inokulasi adanya resistensi terhadap DDS oleh Pettit dan Rees, disusul secara beruntun pembuktian adanya resistensi yang meningkat di berbagai negara. Dengan adanya pembuktian resistensi tersebut berubahlah pola berpikir dan tindakan kemoterapi kusta dari monoterapi ke MDT.
Pengertian relaps atau kambuh pada kusta ada 2 kemungkinan, yaitu relaps sensitif (persisten) dan relaps resisten. Pada relaps sensitif penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan se- suai dengan waktu yang ditentukan. Secara klinis, bakterioskopik, histopatologik dapat dinyatakan penyakit tiba-tiba aktif kembali dengan timbulnya lesi baru dan bakterioskopik positif kembali. Tetapi setelah dibuktikan dengan pengobatan dan inokulasi pada mencit, ternyata M. leprae masih sensitif terhadap DDS. M. leprae yang semula dorman, sleeping, atau persisten, bangun dan aktif kembali. Pada pengobatan sebelumnya, kuman dorman sukar dihancurkan dengan obat atau MDT apapun. Pada relaps resisten penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan, tetapi tidak dapat diobati dengan obat yang sama.
Dengan gejala klinis, bakterioskopik, dan histo- patologik yang khas, dapat dibuktikan dengan percobaan pengobatan dan inokulasi pada mencit, bahwa M. leprae resisten terhadap DDS.
Cara pembuktiannya ialah dengan percobaan pengobatan dengan DDS 100 mg sehari selama 3 bulan sampai 6 bulan disertai pengamatan secara klinis, bakterioskopik, dan histopatologik.
Apabila fasilitas mengizinkan, dapat ditentukan gradasi resistensinya dari yang rendah, sedang, sampai yang tinggi. lnokulasi mencit pernah dilaksanakan di Bagian Mikrobiologi FKUI Jakarta.
Resistensi hanya terjadi pada kusta multi- basilar, tetapi tidak pada pausibasilar oleh karena SIS penderita PB tinggi dan pengobatannya relatif singkat. Resistensi terhadap DDS dapat primer maupun sekunder. Resistensi primer, terjadi bila orang ditulari oleh M. leprae yang telah resisten, dan manifestasinya dapat dalam berbagai tipe (TT, BT, BB, BL, LL), bergantung pada SIS penderita. Derajat resistensi yang rendah masih dapat diobati dengan dosis DDS yang lebih tinggi, sedangkan pada derajat resistensi yang tinggi DDS tidak dapat dipakai lagi.
Resistensi sekunder terjadi oleh karena:
monoterapi DDS
dosis terlalu rendah minum obat tidak teratur
minum obat tidak adekuat, baik dosis maupun lama pemberiannya
pengobatan terlalu lama, setelah 4-24 tahun Efek samping DDS antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS, nekro- lisis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, dan methemoglobinemia.
Rifampisin
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS dengan dosis 10 mg/kg berat badan; diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya.
Ditemukan dan dipakai sebagai obat anti- tuberkulosis pada tahun 1965 dan sebagai obat kusta pada tahun 1970 oleh Rees dkk., serta Leiker dan Kamp. Resistensi pertama terhadap M. leprae dibuktikan pada tahun 1976 oleh Jacobson dan Hastings.
Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi kulit.
Klofazimin (lampren)
Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh Brown dan Hoogerzeil.
Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari, atau 3 x 100 mg setiap minggu. Juga bersifat antinflamasi sehingga dapat dipakai pada penanggulangan ENL dengan dosis lebih yaitu 200 mg-300 mg/
hari namun awitan kerja baru timbul setelah 2-3 minggu. Resistensi pertama pada satu kasus dibuktikan pada tahun 1982.
Efek sampingnya ialah warna merah ke- coklatan pada kulit, dan warna kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus, apalagi pada dosis tinggi, yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita. Hal tersebut disebabkan karena klofazimin adalah zat warna dan dideposit terutama pada sel sistem retikulo- endotelial, mukosa dan kulit. Pigmentasi bersifat
reversibel, meskipun menghilangnya lambat sejak obat dihentikan. Efek samping lain yang hanya terjadi dalam dosis tinggi, yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan.
Protionamid
Dosis diberikan 5-10 mg/kg berat badan setiap hari, dan untuk Indonesia obat ini tidak atau jarang dipakai. Distribusi protionamid dalam jaringan tidak merata, sehingga kadar hambat minimalnya sukar ditentukan.
Obat alternatif Ofloksasin
Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg.
Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium leprae hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cema lainnya, ber- bagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang ditemukan dan biasanya tidak membutuhkan penghentian pemakaian obat.
Penggunaan pada anak, remaja, ibu hamil dan menyusui harus hati-hati, karena pada hewan muda, kuinolon menyebabkan artropati.
Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar harian 100 mg. Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang- kadang menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simtom saluran cema dan susunan saraf pusat, termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan. Klaritromisin
Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap Myca-bacterium leprae pada tikus dan manusia.
Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek
sampingnya adalah nausea, vomitus dan diare yang terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg.
Cara pemberian MDT
1. MDT untuk multibasilar (BB, BL, LL, atau semua tipe dengan BTA positif) adalah:
- Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pe- ngawasan
- DDS 100 mg setiap hari
- Klofazimin: 300 mg setiap bulan, dalam pe- ngawasan, diteruskan 50 mg sehari atau 100 mg selama sehari atau 3 kali 100 mg setiap minggu
Awalnya kombinasi obat ini diberikan 24 dosis dalam 24 sampai 36 bulan dengan syarat bakte- rioskopis harus negatif. Apabila bakterioskopis masih positif, pengobatan harus dilanjutkan sampai bakterioskopis negatif. Selama pengobatan dilaku- kan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan. Jadi besar kemungkinan pengobatan kusta multi- basilar ini hanya selama 2 sampai 3 tahun. Hal ini adalah waktu yang relatif sangat singkat dan dengan batasan waktu yang tegas, jika dibanding- kan dengan cara sebelumnya yang memerlukan waktu minimal 10 tahun sampai seumur hidup.
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah RFT dilakukan tindak lanjut (tanpa pengobatan) secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Kalau bakterioskopis tetap negatif dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut Release From Control (RFC).
Saat ini, apabila secara klinis sudah terjadi penyembuhan, pemberian obat dapat dihentikan, tanpa memperhatikan bakterioskopis.
2. MDT untuk pausibasilar (I, TT, BT, dengan BTA negatif) adalah:
- Rifampisin 600 mg setiap bulan, dengan pengawasan
- DDS 100 mg setiap hari.
Keduanya diberikan dalam 6 dosis selama 6 bulan sampai 9 bulan, berarti RFT setelah 6-9 bulan. Selama pengobatan, pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak ada
keaktifan baru secara klinis dan bakterioskopis tetap negatif, maka dinyatakan RFC.
Sejak tahun 1995 WHO tidak lagi meng- anjurkan pelaksanaan RFC. Apabila RFT telah tercapai, tanpa memperhatikan hasil bakterioskopis, penderita tidak lagi diawasi sampai RFC, walaupun akhir-akhir ini banyak yang menganjurkan diberlakukan kembali antara lain untuk mengawasi adanya reaksi dan relaps.
Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan, penderita kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasilar dengan lesi tunggal, pausibasilar dengan lesi 2-5 buah, dan penderita multibasilar dengan lesi lebih dari 5 buah.
Sebagai standar pengobatan, WHO Expert Committee pada tahun 1998 telah memperpendek masa pengobatan untuk kasus MB menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus PB dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan. Bagi kasus PB dengan lesi tunggal pengobatan adalah Rifampisin 600 mg ditambah dengan Ofloksasin 400 mg dan Minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.
Kalau susunan MDT tersebut tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, WHO Expert Committee pada tahun 1998 mempunyai rejimen untuk situasi khusus.
Penderita MB yang resisten dengan rifam- pisin biasanya akan resisten pula dengan DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Dal am hal ini rejimen pengobatan menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan, diteruskan klofazimin 50 mg ditambah ofloksasin 400 mg atau minosiklin 100 mg setiap hari selama 18 bu Ian.
Bagi penderita MB yang menolak klofazimin, dapat diberikan ofloksasin 400 mg/hari atau mino- siklin 100 mg/hari selama 12 bu Ian. Alternatif lain ialah diberikan rifampisin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal setiap bulan selama 24 bulan.
Pengobatan ENL
Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosteroid, antara lain prednison. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai
berhenti sama sekali. Perhatikan kontraindikasi pemakaian kortikosteroid. Dapat ditambahkan obat analgetik-antipiretik dan sedativa atau bila berat, penderita dapat menjalani rawat- inap. Ada kemungkinan timbul ketergantungan terhadap kortikosteroid, ENL akan timbul kalau obat tersebut dihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu, sehingga penderita ini harus mendapatkan kortikosteroid terus menerus.
Obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama adalah talidomid, tetapi harus berhati- hati karena mempunyai efek teratogenik. Jadi tidak boleh diberikan kepada orang hamil atau masa subur. Di Indonesia obat ini sudah tidak did a pat.
Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-reaksi ENL, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat ringannya reaksi, makin berat makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200- 300 mg sehari. Khasiatnya lebih lambat daripada kortikosteroid. Juga dosisnya diturunkan secara bertahap disesuaikan dengan perbaikan ENL.
Keuntungan lain klofazimin dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek samping yang tidak dikendaki oleh banyak penderita ialah bahwa kulit menjadi berwarna merah kecoklatan, apalagi pada dosis tinggi. Tapi masih bersifat reversible, meskipun menghilangnya lambat sejak obatnya dihentikan.
Masih ada obat-obat lain, tetapi tidak begitu lazim dipakai. Selama penanggulangan ENL ini, obat-obat antikusta yang sedang diberikan di- teruskan tanpa dikurangi dosisnya.
Pengobatan reaksi reversal
Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan berat ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednison 40 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-cepatnya dan dengan dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara mendadak. Jarang te~adi
ketergantungan terhadap kortikosteroid. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahat- kan. Analgetik dan sedativa kalau diperlukan dapat
diberikan. Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh karena itu tidak pernah dipakai, begitu juga talidomid tidak efektif terhadap reaksi reversal.
Jadwal pengobatan reaksi kusta yang dianjur- kan Sub Direktorat Kusta-Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Ling- kungan (PP & PL) Departemen Kesehatan Indonesia dapat dilihat skema di bawah ini.
Skema pemberian prednison dan lampren 1. Pemberian prednison
Minggu pemberian Dosis harian yang dianjurkan
Minggu 1-2 40 mg
Minggu 3-4 30 mg
Minggu 5-6 20 mg
Minggu 7-8 15 mg
Minggu 9-10 10 mg
Minggu 11-12 5 mg
2. Pemberian lampren
ENL yang berat dan berkepanjangan dan ter- dapat ketergantungan pada steroid (pemberian prednison tidak dapat diturunkan sampai 0), perlu ditambahkan lampren, untuk dewasa 300 mg/hari selama 2-3 bulan. Bila ada perbaikan turunkan menjadi 200 mg/hari selama 2-3 bulan.
Bila ada perbaikan turunkan menjadi 100 mg/
hari selama 2-3 bulan, dan selanjutnya kembali ke dosis lampren semula, 50 mg/hari, bila penderita masih dalam pengobatan MDT, atau stop bila penderita sudah dinyatakan RFT. Pada saat yang sama, dosis prednison diturunkan secara bertahap.
Pencegahan cacat
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT mempunyai risiko tinggi untuk te~adinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita dengan reaksi kusta, terutama reaksi
reversal, lesi kulit multipel dan dengan saraf yang membesar atau nyeri juga memiliki risiko tersebut.
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot. Penderitalah yang mula-mula menyadari adanya perubahan sensibilitas atau kekuatan otot.
Keluhan berbentuk nyeri saraf atau Iuka yang tidak sakit, lepuh kulit atau hanya ber- bentuk daerah yang kehilangan sensibilitas- nya saja. Juga ditemukan keluhan sukarnya melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya memasang kancing baju, memegang pulpen atau mengambil benda kecil, atau kesukaran berjalan. Semua keluhan tersebut harus diperiksa dengan teliti dengan anamnesis yang baik tentang bentuk dan lamanya keluhan, sebab pengobatan dini dapat mengobati, sekurangnya mencegah kerusakan menjadi berlanjut.
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas, dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, Iuka, atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan dimi-nyaki agar tidak kering dan pecah.
WHO Expert Committee on Leprosy (1977) membuat klasifikasi cacat bagi penderita kusta. Pada pertemuan yang ketujuh dibuat amandemen khusus untuk mata. Hal ini dapat dilihat pada tabel 11-6.
Tabel 11-6. Klasifikasi cacat
Cacal pada tangan dan kaki
lingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau defonnitas yang terlihat.
lingkat 1 : ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat.
Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas.
Cacal pada mata
Tingkat 0 : tidak ada kelainan/kerusakan pada mata (termasuk visus)
Tingkat 1 : ada kelainan/kerusakan pada mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit berkurang
Tingkat 2 : ada kelainan mata yang terlihat dan atau visus sangat terganggu
Catalan: Kerusakan atau deformitas pada tangan dan kaki ter- masuk ulserasi, absorbsi, mutilasi, kontraktur; sedangkan pada mata termasuk anestesi kornea, iridosiklitis dan lagoftalmos.
Rehabilitasi
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilaku- kan untuk cacat tubuh ialah antara lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempuma kembali ke asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki.
Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu mem- beri lapangan pekerjaan yang sesuai cacat tubuh- nya, sehingga dapat berprestasi dan dapat mening-
katkan rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan terapi psikologik (kejiwaan).
DAFTAR PUSTAKA
1. Agusni I, Menaldi SL. Beberapa prosedur diagnosis baru pada penyakit kusta. Dalam: Syamsoe Daili ES, Menaldi SL, lsmiarto SP, Nilasari H, editor. Kusta.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003. h. 59-65.
2. BrycesonA, PfaltzgraffRE. Leprosy. 31<1 ed. Edinburg:
Chruchill Livingstone; 1990.
3. Hastings RC. Leprosy. Edinburg: Churchill Living- stone; 1985.
4. World Health Organization. A guide to eliminating leprosy as a public health problem. 1•1 ed. Geneva:
WHO; 1995.
5. World Health Organization. WHO model pre- scribing infonnation. Drug used in leprosy. Geneva:
WHO; 1998.
6. Kumar H, Kumar B. IAL Textbook of Leprosy. 1•1 ed.
New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers Ltd;
2010.
7. Elston OM, Berger TG, James WO. Hansen;s Disease. In: Andrew's diseases of the skin. Clinical Dennatology. 10., ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 2006. p. 343-52.
8. Modlin RL, Rea TH, Lee DJ, Weinberg AN. Leprosy.
In: Fitzpatrick TB, Eisen AZ., Wolff K, Freedberg IM, Austen KF. Dennatology in General Medicine. 8., ed.
New York: McGraw-Hill Book Company; 2012. p.
2253-62.