C. Penilaian subjektif:
Dilakukan terhadap rasa gatal dan gang- guan tidur. Untuk kedua parameter tersebut pasien diminta menilai dengan menggunakan visual analog scales dari 0 sampai dengan 10. Penilaian berdasarkan kesimpulan analogi derajat rasa gatal dan tidak bisa tidur selama 3 hari atau 3 malam terakhir. Untuk anak usia di bawah 7 tahun pemberian nilai tidak dapat dipercaya, sehingga tidak ikut dinilai.
D. Total nilai indeks SCORAD: ditetapkan dengan menggunakan rumus: A/5+ 78/2 + C
Untuk penilaian derajat sakit dapat dipakai score for atopic dermatitis (SCORAD). Penentuan indeks SCORAD tidak sederhana. Para pakar dermatitis atopik di Europa telah mengadakan rapat kerja dan pelatihan untuk menyusun satu panduan cara menilai derajat sakit DA. Secara klinis lesi DA dinilai dengan menggunakan acuan foto/slides berwarna pasien DA. Untuk akurasi penilaian diperlukan pendapat dari 2 orang penilai, yang menilai masing-masing lesi. Penilaian kedua orang tersebut tidak berbeda makna.
Nilai di do.lam kurung un'tuk anak < 2-tahun
Lokasl yang terkena diarair, luas lesl dalam persentase (o/o)
A: LUAS LESI .................
%1
B. INTENSITAS
(B dinilai pada lesi yang paling representatif)
KRITERIA INTENSITAS t:ritema
tdema/papul Oozing/krutasi Ekskoriasi Likenifikasi Xerosls kulit*
c .
Gejala subyektifI
gatal + gangguan tidur _ _ _ _ _ (Sesuai visual analog scale)
KETERANGAN INTENSITAS LESI O = tidak ada 1 = ringan 2
=
sedang3 = berat
• dinilai pada daerah di luar lesi
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding DA bergantung pada fase atau usia, manifestasi klinis, serta lokasi DA.
Pada fase bayi dapat mirip dermatitis seboroik, psoriasis, dan dermatitis popok. Sedangkan pada fase anak dapat mirip dengan dermatitis numu- laris, dermatitis intertriginosa, dermatitis kontak, dan dermatitis traumatika. Sedangkan pada fase dewasa lebih mirip dengan neurodermatitis atau liken simpleks kronikus.
INFEKSI SEKUNDER
lnfeksi sekunder pada DA meliputi infeksi jamur, bakteri dan virus. lnfeksi tersering pada DA, terutama oleh bakteri kelompok Streptococci 8-hemolytic dan Staphylococcus aureus. Bakteri tersebut berkolonisasi lebih tinggi pada lesi DA dan di nares anterior.
Akibat gangguan fungsi barier epidermis, kelembaban dan maserasi, serta faktor lingkungan yang mendukung, dapat muncul infeksi jamur pada pasien DA. Pytrirosporum ovale merupakan penyebab infeksi jamur yang sering dijumpai.
lnfeksi oleh virus herpes simpleks atau vaccinia dapat memunculkan erupsi Kaposi's varicellifonn, dikenal sebagai eksema herpetikum atau vaksinatum, walaupun jarang terjadi. lnfeksi tersering yang dijumpai di Indonesia ialah moluskum kontagiosum dan varisela.
KOMPLIKASI
DA yang mengalami perluasan dapat menjadi eritroderma. Atrofi kulit (striae atroficans) dapat terjadi akibat pemberian kortikosteroid jangka panjang.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang hanya dilakukan bila ada keraguan klinis. Peningkatan kadar lgE dalam serum juga dapat terjadi pada sekitar 15% orang sehat, demikian pula kadar eosinofil, sehingga tidak patognomonik. Uji kulit dilakukan bila ada dugaan pasien alergik terhadap debu atau makanan tertentu, bukan untuk diagnostik.
TATA LAKSANA
Masalah pada DA sangat kompleks sehingga dalam penatalaksanaannya perlu dipertimbangkan berbagai faktor yang memengaruhi, upaya preventif atau terapi kausal sesuai etiologi dan sebagian patogenesis penyakit yang telah diketahui.
Kongres Konsensus lntemasional Dermatitis Atopik ke II (International Consensus Conference on Atopic Dennatitis II /ICCAD II) di New Orleans, 2002, telah menyepakati pedoman terbaru terapi DA, dengan memperhatikan:
1. Efektivitas obat sistemik yang aman, bertujuan untuk mengurangi rasa gatal, reaksi alergik dan inflamasi. Sebagai terapi sistemik dapat diberikan antihistamin (generasi sedatif atau non-sedatif sesuai kebutuhan) dan kortiko- steroid. Pemberian kortikosteroid sistemik bukan merupakan hal yang rutin, digunakan terutama pada kasus yang parah atau rekal- sitrans, dengan memperhatikan efek samping jangka panjang.
2. Jenis terapi topikal, berupa:
• Kortikosteroid (sebagai anti inflamasi, anti- pruritus dan imunosupresif, dipilih yang aman untuk dipakai dalam jangka panjang).
Bahan vehikulum disesuaikan dengan fase dan kondisi kulit.
• Pelembab (digunakan untuk mengatasi gangguan sawar kulit)
• Obat penghambat kalsineurin (pimekro- limus atau takrolimus)
3. Kualitas kehidupan dan tumbuh kembang anak
Secara singkat dapat diikuti alogaritme atau bagan alur konsep terapi mutakhir penatalaksanaan DA pada anak.
Edukasi dan konseling
Perlu diberikan informasi dan edukasi kepada orangtua, para pengasuh, keluarga dan pasien tentang DA, perjalanan penyakit, serta berbagai faktor yang mempengaruhi penyakit. Faktor pen- cetus kekambuhan, di antaranya alergen hirup (tungau dan/atau debu rumah), alergen makanan
pada bayi <1 tahun (susu sapi, telur, kacang- kacangan, bahan pewarna, bahan penyedap rasa, dan aditif lainnya). Namun, perlu dijelaskan bahwa alergi terhadap makanan dapat meng- hilang berangsur-angsur sesuai dengan bertam- bahnya usia. Diet hanya boleh ditentukan oleh dokternya.
Faktor psikologis seringkali berperan sebagai faktor pencetus atau sebaliknya. Bila diperlukan pasien dapat dirujuk ke psikolog atau psikiater.
Komunikasi efektif berguna untuk membangun rasa percaya diri pasien. Walaupun DA sulit disembuhkan, namun dapat dikendalikan.
Pemilihan obat topikal
Obat topikal yang digunakan pada DA bayi dan anak, sama dengan orang dewasa, meliputi pelembab, kortikosteroid, dan obat-obat peng- hambat kalsineurin (misalnya pimekrolimus atau takrolimus).
Pelembab
Pelembab berfungsi memulihkan disfungsi sawar kulit. Beberapa jenis pelembab antara lain berupa humektan (contohnya gliserin dan propilen glikol), natural moisturizing factor (misalnya urea 10% dalam euserin hidrosa), emolien (contohnya lanolin 10%, petrolatum, minyak tumbuhan dan sintetis), protein rejuvenators (misalnya asam amino), bahan lipofilik (di antaranya asam lemak esensiel, fosfolipid, dan seramid).
Pemakaian pelembab dilakukan secara teratur 2 kali sehari, dioleskan segera setelah mandi, walaupun sedang tidak terdapat gejala DA.
Kortikosteroid topikal
Efek samping kortikosteroid sistemik pada anak terutama supresi aksis hipotalamus-pituitri- korteks adrenal (HPA) dan atrofi kulit.
Untuk pengobatan yang aman hendaknya memperhatikan lokasi anatomis (oklusi alamiah dan vaskularisasi), luas area yang diobati, potensi kortikosteroid yang digunakan termasuk jenis dan konsentrasinya, vehikulum, frekuensi pengolesan dan lama pemakaian. Bila penggunaan kortiko- steroid tersebut dilakukan dengan benar, diharap- kan dapat mengurangi kemun9kinan terjadi efek samping.
Untuk bayi dan anak dianjurkan pemilihan kortikosteroid golongan VII-IV. Pada DA fase bayi/
anak yang ringan dapat dimulai dengan kortiko- steroid golongan VII, misalnya hidrokortison krim 1-2% %, metilprednisolon atau flumetason. Pada DA dengan derajat keparahan sedang dapat digunakan kortikosteroid golongan VI, misalnya desonid, triamsinolon asetonid, prednikarbat, hidrokortison butirat, flusinolon asetonid.
Bila kondisi DA lebih parah dapat digunakan kortikosteroid golongan V, misalnya flutikason, betametason 17 valerat, atau !lOlongan IV, yaitu mometason furoat (MF), atau aklometason.
Walaupun MF tergolong kortikosteroid potensi sedang, namun hasil penelitian klinis membukti- kan bahwa MF tidak mengakibatkan efek atrofo- genik atau hanya minimal. Dalam keadaan tertentu kortikosteroid topikal potensi kuat dapat digunakan secara singkat (1-2 minggu). Bila DA sudah teratasi segera diganti dengan potensi se:dang atau lemah.
Tabel 20.5. Pemilihan Kortikosteroid Berdasarkan Stadium DA Stadium DA
1. Stadium akut:
fase infantil
2. Stadium subakut:
fase anak 3. Stadium kronis:
fase dewasa
Morfologi klinis
• Eritem, vesikel, erosi, ekskoriasi (tampak eksudatif).
• Eritem ringan, erosi, skuama, dan krusta
• Hiperpigmentasi Hiperkeratosis dan likenifikasi
Kortikosteroid Bahan vohikulum
• Potensi ringan (VII -VI) krim o/w
• Potensi sedang (V-IV)
• Potensi kuat atau sangat kuat (111,11,1)
• krim o/w atau w/o
• salap, salap berlemak, atau gel, propilen glikol, asam salisilat
>3%
Obat penghambat kalsineurin {pimekrolimus dan takrolimus)
Kortikosteroid topikal merupakan obat pilihan utama DA, namun terdapat keterbatasan terutama efek samping yang timbul jika digunakan untuk jangka panjang. Sesuai dengan konsep terapi pada ICCAD II, pelembab senantiasa diberikan walaupun tanpa gejala DA. Untuk mengatasi pruritus dan inflamasi dapat diberikan antihistamin sistemik (sedatif atau non-sedatif), kortikosteroid topikal dan inhibitor kalsineurin, di antaranya pimekrolimus dan takrolimus.
Takrolimus adalah golongan penghambat kalsineurin bekerja pada sel T, sel Langerhans, sel mas, dan sel keratinosit. Takrolimus menunjukkan mekanisme kerja yang sama dengan cyclosporin A, yaitu mampu menghambat degranulasi sel mas dan mensupresi pengeluaran TNFa. Krim takrolimus (protopicf®) 0,03% dan 0, 1 % aman digunakan pada anak 2-15 tahun dalam jangka pendek atau panjang secara bergantian. Krim takrolimus tidak menimbulkan efek atrofi kulit. Efek samping yang pemah dilaporkan berupa nefrotoksik dan hipertensi.
Pimekrolimus termasuk golongan askomisin makrolaktam, sebagai penghambat sitokin inflamasi dari sel mas yang teraktivasi, misalnya IL-2, 11-3, 11-4, IL-8, IL-10, INFy, TNFa, yang bekerja selektif terutama pada sel T yang berperan pada lesi DA.
Selain itu, pimekrolimus juga mencegah pelepasan mediator inflamasi (histamin, triptase, heksosami- nidase) dari sel mas yang teraktivasi. Takrolimus, pimekrolimus tidak mempunyai efek antiproliferasi dan tidak mengganggu immunosurveillance. Peng- obatan jangka panjang dengan pimekrolimus lebih aman dibandingkan dengan pengobatan konvensional.
Pengobatan sistemik
Kadang diperlukan terapi sistemik pada DA anak. Antihistamin sistemik mampu mengurangi rasa gatal sehingga mengurangi frekuensi garukan yang dapat memperburuk penyakit. Rasa gatal tidak hanya disebabkan oleh histamin, namun masih dapat diakibatkan oleh mediator lain. Anti- histamin yang bersifat sedatif (misalnya klorfeni- ramin maleat, hidroksisin) lebih efektif dalam mengurangi rasa gatal dibandingkan dengan anti- histamin nonsedatif (misalnya loratadin, ceterizin, terfenadin, feksofenadin). Meskipun demikian,
antihistamin nonsedatif memiliki keunggulan, yaitu dapat mencegah migrasi sel inflamasi.
Pemberian seterizin pada bayi atopik selama 18 bulan mampu mencegah bayi dengan DA berkembang jadi pengidap asma (allergic march).
Diet makanan pada anak dengan dermatitis atopik
Khususnya pada bayi atau anak kurang dari 1 tahun, alergen makanan lebih berpengaruh daripada alergen debu rumah. Perlu bukti korelasi riwayat alergi makanan dengan kekambuhan lesi. Uji kulit, di antaranya soft allergen fast test (SAFT), pricked test (uji tusuk), atau double blind allergen placebo-controlled food chalenge test (DBPFCT), perlu dilakukan sebelum memberi diet makanan. Uji kulit tersebut harus dilakukan oleh ahlinya dan diinterpretasikan dengan baik dan benar, serta diinformasikan kepada pasien/
orangtuanya secara hati-hati.
Alergen makanan yang sering dilaporkan berupa telur, susu sapi, ikan, kacang-kacangan, gandum, soya, tomat dan jeruk, bahan pewarna, bahan penyedap dan aditif lainnya. Bila ber- dasarkan anamnesis, uji kulit, dan peningkatan lgE RAST, pasien terbukti alergi terhadap makanan tertentu, maka dapat dilakukan beberapa cara penanggulangan. Pemberian makanan tersebut ditunda, dihentikan, dilakukan dietterpimpin, atau ditukar dengan makanan pengganti, misalnya susu sapi diganti dengan susu kedele (soya). Perlu dimonitor korelasi antara diet dengan perbaikan lesi klinis. Air susu ibu (ASI) eksklusif dan keter- lambatan pemberian makanan padat pada bayi DA dapat mencegah alergi terhadap makanan.
Obat imunosupresi pada DA anak
Obat imunosupresi sistemik pada DA, me- rupakan obat pilihan terakhir. Penggunaan korti- kosteroid jangka panjang umumnya menyebab- kan efek ketergantungan obat dan penekanan siklus HPA.
Penggunaan kortikosteroid sistemik dibatasi penggunaannya pada kasus akut dan berat, serta diberikan untuk jangka waktu singkat.
Pemberian siklosporin A pada DA anak rekalsitrans pernah diteliti. Pengobatan dengan dosis 5 mg/kg/hari memberikan hasil pengobatan yang dinilai baik, namun DAdapat kembali kambuh bila dosis obat diturunkan.
PENUTUP
Patogenesis DA sangat kompleks, melibat- kan unsur alergi-imunologik dan non-imunologik.
Faktor endogen berupa disfungsi sawar kulit sangat berperan penting karena memungkinkan penetrasi alergen maupun iritan. Pola pewarisan genetik multifaktor menunjukkan banyak gen yang terlibat dan berperan pada DA. Alel pada regio gen tertentu berkaitan erat dengan fenotip sel dan atau produk (sitokin atau mediator) yang dihasilkan. Faktor psikologis merupakan faktor yang dapat memicu atau sebagai dampak perjalanan penyakit DA yang kronik residif serta mengganggu estetika. Pasien umumnya agresif
disertai stres ringan sampai berat. Patogenesis penting dipahami agar dapat menangani DA secara lebih tepat.
I
Pengobatan holistik dan komprehensif me- liputi medikamentosa dan nonmedikamentosa, antara lain menghindari penyebab, memperbaiki sawar kulit, pruritus dan inflamasi. Konseling perlu dilakukan pada DA yang rekalsitran guna meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik.
Algoritme Tatalaksana DA Sesuai Konsensus lnternasional Dermatitis Atopik (ICCAD II) (dikutip dengan perubahan)
Penilaian awal riwayat penyakit, luas dan derajat penyakit
I
Termasuk penilaian efek psikologis, pengaruh pada keluarga
J
I
Pelembab, edukasir 1
Remisi penyakit
r----+
Mengatasi pruritus dan inflamasi akut (tidak ada tanda & ~ - Kortikosteroid topikal ataugejala) - Inhibitor kalsineurin topikal
l
Terapi pemeliharaan
Untuk penyakit persisten dan atau sering kambuh - Pada tanda dini rekurensi gunakan inhibitor
kalsineurin topikal untuk mencegah progresivitas penyakit/mengurangi terjadinya flare
-Penggunaan inhibitor kalsineurin topikal jangka waktu lama untuk pemeliharaan
- Kortikosteroid topikal secara intermiten Penyakit berat & refrakter
l
- F ototerapi
- Kortikosteroid topikal paten - Siklosporin
-Metotreksat - Kortikosteroid oral - Azatioprin - Psikoterapi
_,
Te rapi ajuvan ri faktor etus - Hinda
penc
- lnfek si bakterial:
antibi otik oral/topikal si viral: antiviral ensi psikologis stamin - lnfek -lnterv -Antihi
Gambar 20.6. Algoritme penatalaksanaan dermatitis atopik (ICCAD 11)2
DAFTAR PUSTAKA
1. Saeki H, Furue M, Furukawa F, Hide M, Ohtsuki M, Katagara I, Suto H, Takihan K. Guidelines for management of atopic dermatitis part 2. Japanese Dermatol Assc. 2009;36:567-77.
2. Ring J, AJomar A, Seiber T, Deuleurean M, Wagner AF, Gelemti C, Gieler U, Lipozencic J, Luger T, Oranje AP, et al. European Guideline Management of AE must consider the individual; symptomatic variability of the disease. J Aeur Acad Dermatol Venerol 2012;26:1045-60.
3. Rubel D, Thirumoorthy T, Soebaryo RW, Weng Steven CK, Gabriel TM, Villafuerte LL, Chu CY, Dhar S, Parikh R, Wong LC, Lo K. Consensus guidelines for the management of atopic dermatitis: an Asia- Pacific perspective. Journal of Dermatology 2013;
40: 160-71.
4. Seiber T. Atopic and contact dermatitis. In: Rich RR, Fleisher TA, Shearer WT, Shearer WT, Schroeder HW, Frew AF, Wieyand CM. Clinical Immunology, principle and practice. 3ro ed. China: Mosby Elsevier;
2008. p 667-77.
5. Boediardja SA. Faktor genetik pada dermatitis atopik.
Dalam: Boediardja SA, Sugito TL, Rihatmadja R. Dermatitis pada Bayi dan Anak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004. h 96-105. ISBN 979-496-321-6 6. Elliott K, Forrest S. Genetics of atopic dermatitis. In:
Beiber T, Leung DYM. Atopic Dermatitis. New York:
Marcel Dekker, Inc; 2002. p 81-111.
7. Ellis C, LugerT. International Consensus Conference on Atopic Dermatitis II/ ICCAD II. Br J Dermatol.
2003;148 (suppl 63): 1-2.
8. Ellis C, LugerT. International Consensus Conference on Atopic Dermatitis II/ ICCAD II. Clinical update abd current strategies. Br J Dermatol. 2003;148 (suppl 63): 3-6.
9. Farida Tabri. Aspek imunogenetik dermatitis atopik pada anak: kontribusi gen CTLA-4, kecacingan dan IL-10. Makasar, 2011.
10. Grunther LA, Sampson HA. Atopic dermatitis and food. In: Seiber T, Leung DYM. Atopic Dermatitis.
New York: Marcel Dekker, Inc; 2002. p 375-400.
11. Klobenzer CS. Psychological aspects of atopic dermatitis. In: Seiber T, Leung DYM. Atopic Dermatitis. New York: Marcel Dekker, Inc; 2002 .p 519-40.
12. Kluken H, Weiner T, Beiber T. Atopic eczema/
dermatitis syndrome- a genetic complex disease.
New advances in discovering the genetic contribution. Allergy. 2003;58:5-12.
13. Krol A, Krafchic B. Differential diagnosis of atopic dermatitis in childhood. Dermatology Therapy. 2006;
19:73-82
14. Leung DYM, Eichenfield LF, Boguniewicz. Atopic dermatitis (atopic eczema). In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ.
Fitzptrick's Dermatology in Genenal Medicine, 8111 ed.
New York: McGrawHill Medical; 2012. p 165-81. 15. Lever R. Microbiology of atopic dermatitis. In:
Harper J, Oranje A, Prose N. Textboook of Pediatric Dermatology. 3ro ed. Massachusetts: Blackwell Publishing limited; 2011. p 26.1-9.
16. Moffat M, Cookson W, Harper J. Genetics of atopic dermatitis. In: Harper J, OranjeA, Prose N. Textboook of Pediatric Dermatology, 3ro ed. Massachusetts:
Blackwell Publishing limited; 2011. p 23.1-14.
17. Paller AS, Mancini AJ. Eczematous Eruptions in Childhood. In: Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology.
A Textbook of skin disorders of Childhod and Adolescence. 4111 ed. Chicago:Elsevier Inc; 2011. p 37-70.