Oleh
Siti Aisah dan Ronny P. Handoko
PENDAHULUAN
Di Indonesia dan negara tropis lainnya, morbi- ditas varisela masih tinggi, terutama pada masa anak dan dewasa muda (pubertas). Varisela tidak menyebabkan kematian. Sejak lama dise- pakati bahwa varisela dapat sembuh sendiri (swasima). Namun, varisela termasuk penyakit yang kontagius (menular) dan penularan te~adi
dengan cepat secara airbom infection, terutama pada orang serumah dan pada orang dengan imunokompremais. Pada orang dengan imuno-
kompremais (misalnya pasien dengan HIV) dan kelompok tertentu (ibu hamil, neonatus) biasanya gejala lebih berat dan mudah mengalami komplikasi.
Berbagai jenis obat antivirus berguna meng- hambat replikasi virus varisela-zoster, misalnya asiklovir, valasiklovir, famsiklovir, dan foskarnet.
Obat antivirus bermanfaat bila diberikan dalam waktu 24 jam setelah muncul erupsi kulit. lmuni- sasi vaksin varisela di Indonesia tidak termasuk imunisasi yang diharuskan.
•
I
SINONIM
Cacar air, chicken pox.
DEFINISI
lnfeksi akut primer oleh virus varisela-zoster yang menyerang kulit dan mukosa, manifestasi klinis didahului gejala konstitusi, kelainan kulit polimorf, terutama berlokasi di bagian sentral tubuh.
EPIDEMIOLOGI
Varisela tersebar kosmopolit, menyerang terutama anak-anak (90%), tetapi dapat juga me- nyerang orang dewasa (2%), sisanya menyerang kelompok tertentu. Transmisi penyakit ini secara aerogen. Masa penularannya lebih kurang 7 hari dihitung dari timbulnya gejala kulit.
Berbeda dengan varisela, meskipun virusnya sama WZ, namun, herpes zoster jarang (hanya 3%) mengenai anak-anak. Morbiditas meningkat seiring bertambahnya usia. Bila ditemukan herpes zoster pada anak, sebaiknya dicurigai kemungkinan pasien tersebut imunokompremais.
ETIOPATOGENESIS
Penyebab varisela adalah virus varisela-zoster (WZ). Penamaan tersebut memberi pengertian bahwa infeksi primer virus ini menyebabkan penyakit varisela, sedangkan reaktivasi menyebabkan herpes zoster. WZ merupakan anggota famili herpes virus. Virion WZ berbentuk bulat, berdiameter 150-200 nm, DNA terletak di antara nukleokapsid, dan dikelilingi oleh selaput membran luar dengan sedikitnya terdapat tiga tonjolan glikoprotein mayor. Glikoprotein ini yang merupakan target imunitas humoral dan seluler.
WZ masuk ke dalam tubuh melalui mukosa saluran napas atas dan orofaring. Virus bermulti- plikasi di tempat masuk (port d'entry), menyebar melalui pembuluh darah dan limfe, mengakibat- kan viremia primer. Tubuh mencoba mengeliminasi virus terutama melalui sistem pertahanan tubuh non spesifik, dan imunitas spesifik terhadap WZ.
Apabila pertahanan tubuh tersebut gaga! meng- eliminasi virus terjadi viremia sekunder kurang lebih dua minggu setelah infeksi. Viremia ini ditandai oleh timbulnya erupsi varisela, terutama di bagian sentral tubuh dan di bagian perifer lebih ringan. Pemahaman baru menyatakan bahwa erupsi
kulit sudah dapat terjadi setelah viremi primer.
Setelah erupsi kulit dan mukosa, virus masuk ke ujung saraf sensorik kemudian menjadi laten di ganglion dorsalis posterior. Pada suatu saat, bila terjadi reaktivasi WZ, dapat terjadi manifestasi herpes zoster, sesuai dermatom yang terkena.
GEJALA KUNIS
Masa inkubasi penyakit ini berlangsung 14 sampai 21 hari. Gejala klinis dimulai dengan gejala prodromal, yakni demam yang tidak terlalu tinggi, malese dan nyeri kepala, kemudian disusul timbulnya erupsi kulit berupa papul eritematosa yang dalam waktu beberapa jam berubah menjadi vesikel. Bentuk vesikel ini khas mirip tetesan embun (tear drops) di atas dasar yang eritematosa.
Vesikel akan berubah menjadi keruh menyerupai pustul dan kemudian menjadi krusta. Sementara proses ini berlangsung, timbul lagi vesikel-vesikel baru sehingga pada satu saat tampak gambaran polimorfi.
Penyebaran terutama di daerah badan kemudian menyebar secara sentrifugal ke wajah dan ekstremitas, serta dapat menyerang selaput lendir mata, mulut, dan saluran napas bagian atas.
Jika terdapat infeksi sekunder terdapat pembesaran kelenjar getah bening regional. Penyakit ini biasanya disertai rasa gatal.
Komplikasi pada anak-anak umumnya jarang timbul dan lebih sering pada orang dewasa berupa ensefalitis, pneumonia, glomerulonefritis, karditis, hepatitis, keratitis, konjungtivitis, otitis, arteritis, dan kelainan darah (beberapa macam purpura).
lnfeksi yang timbul pada trimester pertama kehamilan dapat menimbulkan kelainan kongenital, sedangkan infeksi yang terjadi beberapa hari menjelang kelahiran dapat menyebabkan varisela kongenital pada neonatus.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada umumnya tidak diperlukan pada varisela tanpa komplikasi, pada sediaan darah tepi dapat ditemukan penurunan leukosit, dan peningkatan enzim hepatik. Dapat dilakukan percobaan Tzanck dengan cara membuat sediaan hapus yang diwamai dengan Giemsa. Bahan diambil dari kerokan dasar vesikel dan akan didapati sel datia berinti banyak. Namun, hasil ini tidak spesifik untuk varisela.
Bila keadaan laboratorium memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan cairan vesikel dengan PCR guna membuktikan infeksi DNA WZ, atau serologik untuk f/uoresent-antibody to membrane antigen of VVZ dan atau dengan menggunakan tes aglutinasi lateks.
DIAGNOSIS
Diagnosis varisela ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala prodromal, rasa gatal, dan manifestasi klinis sesuai tempat predileksi dan morfologi yang khas varisela.
DIAGNOSIS BANDING
Harus dibedakan dengan variola (walaupun saat ini sudah sangat jarang). Variola secara klinis lebih berat dan memberi gambaran monomorf, penyebaran dimulai dari bagian akral tubuh, yakni telapak tangan dan telapak kaki.
Beberapa penyakit lain yang mirip adalah reaksi hipersensitivitas gigitan serangga (insects bite), Hand, foot and mouth disease, serta Pityriasis lichenoides et variolifonnis acuta (PLEVA), skabies impetigenisata.
TATA LAKSANA
Pengobatan bersifat simtomatik dengan anti- piretik dan analgesik, untuk menghilangkan rasa gatal dapat diberikan sedatif, atau antihistamin yang mempunyai efek sedatif. Antipiretik antara lain parasetamol, hindari salisilat atau aspirin karena dapat menimbulkan sindrom Reye.
Terapi lokal ditujukan mencegah agar vesikel tidak pecah terlalu dini, karena itu diberikan bedak yang ditambah dengan zat anti gatal (mental, kamfora). Jika timbul infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik oral atau salap. Dapat pula diberikan obat-obat antivirus (lihat pengobatan herpes zoster). Varicel/a zoster immunog/obu/ine (V.1.Z.l.G.) dapat mencegah atau meringankan varisela dan diberikan secara intramuskular dalam 4 hari setelah terpajan.
lndikasi pemberian antivirus adalah bila sebelumnya telah ada anggota keluarga serumah yang menderita varisela, atau pada pasien
imunokompremais, antara lain pasien dengan keganasan, infeksi HIV/AIDS, atau yang sedang mendapat pengobatan imunosupresan, misalnya kortikosteroid jangka panjang, atau sitostatik dan pada kehamilan. Pemberian dosis asiklovir sebagai berikut:
Tabel 14.1. Dosis asiklovir Status
Bayi/anak
Dewasa
Oasis Asiklovir:
10-20 mg/KgBB/hari; dosis terbagi 4 -5 x 20 mg/kg BB/kali (maks. 800 mg/kali) selama 7 hari
Asiklovir 5 x 800 mg/hari selama 7 hari atau
Valasiklovir untuk dewasa 3 x 1 gram/hari selama 7 hari Famsiklovir untuk dewasa: 3 x 250 mg/hari selama 7 hari.
lmmunokompremais Asiklovir: 10 mg/kgBB, intravena atau iv drip, 3 x sehari, minimal 10 hari atau,
Asiklovir 5 x 800 mg/hari/oral minimal 10 hari atau, Valasiklovir:
3 x 1 gram/hari minimal 10 hari atau
Famsiklovir : 3 x 500 mgr/hari selama minimal 10 hari.
PENCEGAHAN DENGAN VAKSINASI
Vaksin varisela berasal dari galur yang telah dilemahkan. Angka serokonversi mencapai 97%-99%. Diberikan pada yang berumur 12 bulan atau lebih. Lama proteksi belum diketahui pasti.
Meskipun demikian, vaksinasi ulangan dapat diberikan setelah 4-6 tahun.
Pemberian secara subkutan sebesar 0,5 ml pada anak berusia 12 bulan sampai 12 tahun. Pada usia di atas 12 tahun, juga diberikan 0,5 ml, setelah 4-8 minggu diulangi dengan dosis yang sama.
Bila terpajan kurang dari 3 hari, pelindungan vaksin yang diberikan masih terjadi, sedangkan antibodi yang cukup sudah timbul antara 3-6 hari setelah vaksinasi.
PROGNOSIS
Perawatan yang teliti dan memperhatikan higiene memberi prognosis yang baik dan dapat mencegah timbulnya jaringan parut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Breuer J. In: Zuckerman A J, Banatyala JE, Schoub BD, GriffithsPD, Mortiner P. Principles and practice of clinical virology. 6th ed. London UK: Health Protection Agency John Wiley & Sons Ltd; 2009. p 133-60.
2. Durdu M, Baba M, Seckin D. The value ofTzanck smear test in diagnosis of erosive, vesicular, bullous, and pustular lesions. JAmAcad Dematol.
2008;59(6):958-64.
3. Kroger AT, Atkinson WL, Marcuse EK, Pickering LK. General recommendation on immunization,
recommendation of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), CDC. Available
from: http//:www.cdc.gov/nip
4. Straus SE, Oxman MN, Schmader KE. Varicella and Herpes Zoster. In: Wolff K, Goldsmith LA, katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor.
Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.
8'h ed. New York: Mcgraw-Hill; 2012. p 2383-401.
5. Wood SM, Shah SS, Steenhoff AP, Rutstein RM.
Primary Varicella and Herpes Zoster Among HIV- Infected Children From 1989 to 2006. Pediatric.
2007; 121:150-6.
6. Zerboni L, Arvin AM. The pathogenesis of caricella-zoster virus neurotropism and infection.
In: Reiss CS. Neurotropic viral infection.
Cambridge: Cambride University Pres; 2008. p:
225-50.