• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHASA BONAI: RIWAYATMU KINI Zainal Abidin

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 88-94)

duduk desa yang masih mayoritas suku Bonai hanya di Desa Ulakpatian karena lokasi desa cukup jauh ke pedalaman dengan kondisi perhubungan masih cukup sulit hingga beberapa tahun terakhir. Sementara itu, Desa Kasangpadang dan Desa Bonai berada sangat dekat dengan wilayah permukiman masyarakat Melayu. Kondisi ini menyebabkan masyarakat Bonai sudah berinteraksi cukup luas dengan masyarakat suku Melayu dan suku-suku lain yang berdampak pada akulturasi budaya dan bahasa serta perkawinan campur dengan suku-suku lain yang menetap di desa tersebut.

Masyarakat Bonai sudah hidup dan tinggal di desa-desa tertentu dan membuka lahan perkebunan secara tetap, tidak ber- pindah-pindah seperti kelompok suku Sakai yang disebut-sebut memiliki hubungan nenek moyang dengan mereka. Rata-rata masyarakat Bonai sudah beragama Islam meskipun sebagian besar masih menerapkan ritual-ritual adat dan mistis yang biasa dilakukan oleh nenek moyang mereka, seperti ritual pengobatan dengan meminta bantuan pada makhluk-makhluk halus (dewa- dewa). Di samping itu, mereka juga masih melaksanakan ritual- ritual persembahan kepada dewa-dewa yang disebut dengan istilah upacara bedewo atau mondeo.

Sebagian besar desa yang didiami suku Bonai sudah mulai terbuka dengan adanya pembukaan jalan raya, meskipun kon- disinya masih belum terlalu baik. Hampir semua desa itu sudah dapat dicapai dengan kendaraan bermotor, setidaknya dengan sepeda motor melalui jalan setapak yang sebagiannya sudah di- semen. Kondisi ini menyebabkan kehidupan tradisional masya- rakat Bonai yang dulu terpelihara, berangsur-angsur mulai ber- ubah mengikuti gaya hidup masyarakat modern dengan sentuh- an berbagai bentuk perkembangan teknologi dan informasi. Hal tersebut berdampak pada perubahan yang sangat besar dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat Bonai, apalagi ditunjang oleh keberadaan aliran listrik yang memungkinkan perkembangan jenis-jenis usaha baru seperti toko-toko bahan makanan modern, toko pakaian, hingga gerai penjualan pulsa telepon seluler.

Masyarakat Bonai pun sudah mengikuti tata cara dan gaya hidup modern dan sudah banyak yang menggunakan berbagai peralatan berteknologi tinggi, seperti televisi, kulkas, penanak nasi listrik, setrika listrik, dan telepon seluler. Generasi muda suku Bonai juga sudah banyak yang mendapat pendidikan se- kolah dasar dan menengah, dan sebagian kecil sudah sampai ke perguruan tinggi. Kondisi tempat tinggal masyarakat Bonai juga sudah semakin baik. Mereka tidak lagi tinggal di pondok-pon- dok kayu di tepi sungai. Mata pencaharian utama mereka juga tidak semata mencari ikan di sepanjang Sungai Rokan Kiri dan Rokan Kanan, tetapi sudah banyak yang jadi pedagang, buruh tani di perkebunan kelapa sawit, dan beberapa di antaranya sudah men- jadi guru, serta menjadi pegawai di instansi pemerintahan.

b. Asal Usul Suku Bonai

Menurut salah satu versi cerita yang berkembang dalam masyarakat Bonai (Abidin, 2013:23), nenek moyang suku tersebut memiliki hubungan dengan orang dari Barunai (Brunei/Borneo). Diceritakan oleh salah seorang batin suku Bonai bahwa dulu ada dua orang kakak-beradik dari Negeri Candi yang bernama Sultan Harimau dan Sultan Janggut. Mereka pergi berkelana hingga ke wilayah Barunai dan pulang membawa pengikut yang terdiri atas enam orang laki-laki dan enam orang perempuan. Ketika Sultan Harimau dan Sultan Janggut berpisah di kuala pertemuan sungai Rokan Kiri dan Rokan Kanan, keenam pasang orang Barunai tersebut ikut bersama Sultan Janggut memudiki Sungai Rokan Kanan. Sultan Harimau dan Sultan Janggut membagi barang-barang perbekalan termasuk benda-benda pusaka yang mereka bawa. Ketika terdapat satu barang yang tidak dapat dibagi, yaitu sebuah meriam pendek, benda itu kemudian dijatuh- kan ke dalam kuala sungai tersebut. Daerah sekitar kuala ini kemudian menjadi sebuah perkampungan yang dinamai Kuala Sako (kuala tempat membuang barang pusaka).

Dalam perjalanan memudiki Sungai Rokan Kanan, Sultan Janggut meninggalkan sepasang orang Barunai di tempat ter-

tentu yang diperkirakan baik untuk dijadikan daerah permukim- an. Mereka dibekali bibit tanaman, peralatan pertanian, dan sen- jata untuk berburu. Keenam daerah tempat bermukim pasangan- pasangan tersebut kemudian menjadi enam kampung, yaitu Kam- pung Bonai, Kampung Sontang, Kampung Titigading, Kampung Kasangmungkal, Kampung Sungaimurai, dan Kampung Muara- dilam. Enam kampung tersebut kemudian disebut dengan kam- pung nonom (kampung nan enam) dan menjadi kampung asal orang Bonai. Setelah terjadi perkembangan jumlah penduduk di kampung-kampung asal, terbentukah lagi tiga kampung baru, yaitu Kampung Ulakpatian, Kampung Kasangpadang, dan Kampung Toluksono. Masyarakat kampung-kampung tersebut beragama Islam mengikuti ajaran Sultan Janggut.

Sementara itu, Sultan Harimau memudiki Sungai Rokan Kiri sendirian karena beliau lebih berani dan berwatak keras (bengis) sehingga ditakuti oleh para pengikut dari Barunai. Di samping itu, di wilayah sungai Rokan Kiri, diperkirakan sudah terdapat manusia karena ditemukan sebuah tunggul jagung yang hanyut dari arah hulu. Daerah sepanjang Rokan Kiri kemudian juga men- jadi perkampungan yang dipimpin oleh Sultan Harimau. Orang- orang yang ditemui oleh Sultan Harimau di sepanjang sungai menjadi pengikutnya yang memiliki watak hampir sama dengan Sultan Harimau. Mereka tidak taat beragama Islam karena pe- mimpin mereka tidak melaksanakan ajaran Islam dengan baik sehingga keturunan mereka pun hanya mengenal Islam sebagai agama yang mereka anut, tetapi mereka tidak melaksanakan ajaran Islam sebagaimana mestinya. Keturunan orang-orang yang dipimpin oleh Sultan Harimau ini yang kemudian dikenal sebagai masyarakat suku Sakai.

Terdapat beberapa cerita lain yang berkembang dalam masya- rakat Bonai yang masih menyebut Sultan Harimau dan Sultan Janggut sebagai nenek moyang mereka, tetapi dengan versi yang berbeda-beda. Namun, salah satu versi lain menyebutkan bahwa asal-usul orang Bonai berhubungan dengan Datuk Perpatih nan

Sebatang, tokoh sakti dari Minangkabau yang menghiliri Sungai Rokan dengan rakit yang terbuat dari kayu kulim, sejenis kayu yang sangat berat dan keras. Dengan kesaktiannya, rakit kayu kulim tersebut dapat mengapung di sungai. Dengan kesaktiannya juga, sang Datuk diceritakan dapat menimba air dengan lako, wadah yang terbuat dari anyaman lidi pohon enau atau rotan halus. Dalam perjalanan menghiliri sungai Rokan, Datuk Perpatih nan Sebatang dan rombongan yang berasal dari Minangkabau berhenti dan membuat teratak di beberapa tempat. Beberapa pengikutnya kemudian tinggal dan menetap di teratak-teratak tersebut hingga kemudian menjadi kampung-kampung yang ramai.

c. Situasi dan Kondisi Kebahasaan

Perubahan gaya hidup, peningkatan pendidikan, serta sekat informasi yang mulai terbuka terhadap dunia luar berpengaruh pada penggunaan bahasa masyarakat Bonai. Penggunaan bahasa dan istilah-istilah tradisional yang masih digunakan secara luas, pada umumnya, berkaitan dengan istilah-istilah pengobatan dan kesenian tradisional, serta istilah-istilah dalam ritual terhadap dewa-dewa. Sementara itu, istilah-istilah umum dalam kehidup- an sehari-hari sudah banyak bergeser mengikuti bahasa Melayu atau bahasa Indonesia. Para generasi muda, terutama sekali yang sudah sering pergi ke luar desa, ke ibu kota kabupaten atau bah- kan ke ibu kota provinsi, sudah mulai meninggalkan penggunaan bahasa dan logat asli. Di samping itu, siaran televisi juga banyak memperkenalkan bahasa atau logat masyarakat suku lain yang dianggap oleh para generasi muda suku Bonai sebagai bahasa yang lebih modern sehingga mulai ditiru dan digunakan dalam kehidupan sehari. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Grimes (2002) dalam Arivina da Costa dan Falantino (2012:715) bahwa faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa antara lain, (i) orang tua yang memaksa anak-anaknya untuk mempe- lajari bahasa yang dianggap bergengsi, dengan pemikiran bahwa

anak hanya mampu belajar satu bahasa dengan baik; (ii) peng- gunaan bahasa kedua sebagai bahasa pengantar di sekolah-seko- lah; (iii) kebijakan nasional yang cenderung menyebabkan se- bagian penutur memilih menggunakan bahasa nasional sebagai bahasa ibu; (iv) industrialisasi, perubahan, ekonomi, dan peme- rintahan.

Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Bonai masih dalam rumpun yang sama dengan bahasa Melayu. Sejumlah perbedaan yang terlihat cukup gamblang, misalnya bunyi nasal [n] dan [K] yang tidak terdapat pada akhir kata dan digantikan oleh bunyi- bunyi dental [t] atau [þ] dan bunyi velar [g] dan glotal stop [À]. Contohnya, kata “berjalan” memiliki realisasi [bYjalat] di desa Kasangpadang dan Bonai dan [bajalaþ] di Ulakpatian serta kata “datang” memiliki realisasi [dataÀ] di Kasangpadang dan Bonai serta [datag] di Ulakpatian. Penggunaan bentuk realisasi tersebut sudah mulai ditinggalkan oleh generasi muda suku Bonai karena dianggap menunjukkan “keudikan” mereka. Sementara itu, se- jumlah kosakata asli juga sudah tidak digunakan dan diganti dengan kosakata bahasa Melayu atau bahasa Indonesia.

Tidak ada tetapi sudah ada, Tidak berarti ada,

Tidak untuk menemukan iya.

Tidak! Jika membacanya, bentuk abstraksi yang muncul adalah sebuah penolakan terhadap kesepakatan, kesepemaham- an, kompromi, atau bentuk-bentuk yang bersifat bertentangan dengan sebuah nilai maupun konsep yang telah ada. Tentu tidak salah jika letupan bila yang mungkin muncul selanjutnya adalah sebuah pertanyaan, “Mengapa tidak?” Kemungkinan dari pertanyaan tersebut akan berkesinambungan dengan pertanya- an dan pernyataan yang lain, sehingga bisakah ”tidak” menuju sebuah kata “iya” atau ia tetap bertahan dalam ke”tidak”-annya? Itulah sebuah gema. Gema kata ”tidak” yang dipantulkan. Menggaung di daerah tempat kami bernaung, baik itu di pedalam- an, di lembah, maupun di pesisir wilayah Provinsi Sulawesi Tengah. Ledo, Rai, Tara, Unde, Da’a, Inde, Ende, Doi, Tado, Ado, Ija, Uma, Moma, Ndepu, dsb. adalah bagian subsuku dari Bang- sa Kaili—suku bangsa yang masyarakatnya paling banyak men- diami wilayah Sulteng ini. Ya, kami menyebut diri dengan kata “to” yang berarti orang, sehingga ”to Kaili” adalah panggilan yang melekat bagi kami, ”orang Kaili”. ”To Kaili”, sebuah identitas yang sangat kuat ketika kami harus hidup berdampingan dengan etnis yang lain (Bugis, Toraja, Mandar, Bali, Jawa, dll).

Dengan 19 subsuku yang kami miliki, banyak tersebar di wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten Parigi, dan Kabupaten Sigi. Ledo ‘tidak’, Tara ‘tidak’, Rai ‘tidak’, Da’a ‘tidak’, dan Unde ‘tidak’nama-nama subsuku yang ada—semuanya diambil

“TIDAK” SPIRIT DAN

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 88-94)