• Tidak ada hasil yang ditemukan

MINAT BACA HURUF ARAB-JAWOE, BANGKIT KEMBALI DI ACEH

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 83-88)

Pada acara lomba membaca naskah lama Aceh pertama yang berlangsung tahun 2013 tersebut, saya, Medya Hus, dan Zainun S.Ag. diundang sebagai juri dalam perlombaan itu. Acara lomba diikuti oleh 46 peserta dari berbagai kalangan; mulai dari masya- rakat umum, mahasiswa, dan santri dayah yang datang dari berbagai kampung di Banda Aceh dan Aceh Besar.

Dalam perlombaan itu, para peserta diwajibkan membaca cuplikan “Hikayat Akhbarul Karim” dan “Hikayat Abu Nawah”. Setiap peserta diberi waktu 10 menit untuk membacakan salah satu dari hikayat itu. Acara lomba selesai dengan sukses. Para pemenang lomba yaitu; Tasnim dari Sibreh, Mufazal dari Gue Gajah, Sahimi dari Klieng Meuria, dan Ahmad Fauzi dari Gamp. Sagoe Baru. Kesuksesan lomba baca naskah lama tersebut, me- rupakan tonggak pertama  dalam membangkitkan minat baca masyarakat Aceh terhadap naskah Arab-Melayu alias Jawoe. Upaya melestarikan warisan budaya leluhur ini  mencapai sukses nyaris sempurna.

Banyaknya peserta melebihi perkiraan semula, membuat saya merasa kaget, seakan tidak percaya. Setelah melihat antusias peserta untuk mengikuti perlombaan ini, membuat saya amat bahagia. Sekarang, ternyata minat baca masyarakat Aceh ter- hadap naskah lama mulai bangkit kembali. Dalam upaya men- dukung pengembangan dan pelestarian naskah lama Aceh, sejak 1992 hingga sekarang, saya telah melakukan alih aksara 35 judul naskah lama Aceh. Hasil transliterasinya sekitar tujuh ribu halam- an. Sebagian kecil dari hasil alihaksara itu telah diterbitkan.

Pada 2014, Balai Bahasa Banda Aceh kembali menggelar lomba membaca naskah lama untuk kedua kalinya. Perlombaan ini diikuti oleh 50 orang peserta dari berbagai kalangan yang berasal dari Banda Aceh dan Aceh Besar. Saya, Medya Hus, dan Lukman kembali dipercayakan untuk menjadi juri dalam per- lombaan tersebut. Adapun naskah yang telah dipersiapkan oleh panitia untuk diperlombakan, yaitu “Hikayat Abu Nawah” dan “Nazam Teungku di Cucum”. Pelaksanaan lomba pada tahun

kedua ini lebih meriah dan lebih sukses dari tahun sebelum- nya.

Kesuksesan kegiatan lomba pertama dan kedua, memberi angin segar bagi naskah Aceh untuk kembali diminati masya- rakat. Balai Bahasa Banda Aceh (kini Balai Bahasa Provinsi Aceh) menjadikan kegiatan lomba baca naskah lama Aceh sebagai agenda rutin tahunan. Murhaban, S.Ag., M.A. sebagai koordina- tor kegiatan lomba membaca naskah lama Aceh tahun 2015 menuturkan bahwa lomba baca naskah Aceh dilaksanakan se- lama dua hari,  yakni Senin dan Selasa, 8—9 Juni 2015. Pada hari pertama, acara berlangsung dari pagi sampai sore hari, sedangkan hari kedua acara hanya sampai siang hari. Kegiatan lomba tahun 2015 ini berbeda dari pelaksanaan kegiatan lomba tahun sebelum- nya. Pada tahun lalu, untuk lomba yang bersifat kedaerahan hanya lomba membaca naskah lama, sedangkan pada tahun ke- tiga ini, ada cabang perlombaan lain yaitu; lomba Hiem yang telah diselenggarakan pada tanggal 6 dan 7 Juni 2015.

Bapak Murhaban lebih lanjut menuturkan bahwa lomba baca naskah lama Aceh diikuti oleh 50 peserta, dari berbagai kalangan, baik masyarakat umum, mahasiswa, siswa tsanawiyah, dan dayah. Para peserta berasal dari daerah Banda Aceh dan Aceh Besar. Kegiatan ini masih langka dan berskala kecil, makanya bebas diikuti oleh setiap kalangan dan tidak dibatasi umur. Balai Ba- hasa menjadikan kegiatan ini sebagai agenda rutin karena naskah sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Acara ini diharapkan dapat memotivasi masyarakat untuk kembali cinta naskah dan mengambil manfaat dari isi naskah tersebut. “Saya prihatin me- lihat kondisi naskah Aceh yang masih sangat kurang peminat- nya, sedangkan di tempat lain, minat masyarakat sudah sangat tinggi terhadap hal ini. Oleh sebab itu, kegiatan ini dijadikan sebagai pancingan agar masyarakat kembali mau membuka naskah lama”, ungkap Murhaban lagi. Bahan naskah yang diper- lombakan tahun ini juga dua naskah, yakni: cuplikan “Nazam Teungku Di Cucum”, membicarakan tentang perkembangan

zikirullah yang akan semakin semarak di Aceh pada akhir zaman; dan cuplikan “Hikayat Abu Nawah”, mengisahkan keberang- katan Abu Nawah bersama para menteri memancing ikan bersisik merah ke laut lepas. Sementara, dewan juri adalah T.A. Sakti, Zainun, S.Ag., dan Rahmat, S.Ag., M.Hum.

Balai Bahasa Provinsi Aceh berencana, jika kegiatan lomba membaca naskah lama kembali dilaksanakan tahun depan, akan dibuat dengan format yang berbeda. Mutu acara akan ditingkat- kan. Jika selama ini, yang sudah tiga tahun berjalan, pada saat mendaftar peserta diberikan pilihan salah satu naskah yang akan dibaca. Untuk ke depan, tantangan akan lebih besar. Mereka merencanakan peserta akan diberikan beberapa naskah. Ketika tampil di pentas, panitia yang akan menentukan naskah mana yang harus dibacakan. Dengan demikian, akan muncullah sosok- sosok yang memang sangat paham dengan aksara Arab-Melayu/ Jawi atau Jawoe.

Beragam tanggapan para pesarta yang muncul terkait ke- ikutsertaan mereka dalam lomba ini. M. Husen (55 tahun), pem- baca naskah “Teungku di Cucum 1” menjelaskan bahwa ia meng- ikuti lomba ini karena merasa prihatin dengan bahasa Aceh saat ini. Generasi sekarang mulai meninggalkan bahasa sendiri, yaitu bahasa Aceh. Mereka enggan menggunakan bahasa Aceh dalam kehidupan sehari-hari. Jika diberi pertanyaan dengan meng- gunakan bahasa Aceh, mereka tetap menjawab dengan bahasa Indonesia, walaupun mereka sangat mengerti bahasa Aceh ter- sebut. Saat ini, bahasa Aceh banyak dicampur dengan bahasa nasional, seperti saat menyebutkan camca, anak-anak tidak lagi menyebut sesuai aslinya, tetapi lebih mengenal kata sendok sebagai pengganti camca itu. Misalnya, dalam kehidupan sehari- hari, untuk meminta camca maka ia menyebutkan, “Tolong Mak, cok sendok siat!” Dengan demikian, diharapkan dengan adanya perlombaan ini, masyarakat tidak meninggalkan identitas diri dan tidak mencampuradukkan bahasa Aceh sebagai identitas diri dengan bahasa nasional dan lainnya. Acara ini diharapkan

dapat diikuti oleh setiap wilayah di Aceh untuk meningkatkan khazanah budaya Aceh. Bahasa Aceh merupakan salah satu ba- hasa terkaya di dunia dan semoga acara ini terus dapat diseleng- garakan.

Peserta lain, Muhammad Nur dari Tibang yang membacakan naskah “Teungku Di Cucum 2” menuturkan bahwa ketika ia kecil sering bergaul dengan orang tua yang gemar membaca hikayat. Saat itu, ia senang belajar membaca hikayat karena isinya sangat bagus, mulai dari nasihat dan petuah ulama. Ia memiliki harapan agar setiap tahun kegiatan seperti ini dapat dilaksanakan.

Berdasarkan hasil pantauan terhadap tiga lomba membaca naskah lama Aceh yang sudah berlangsung dalam masa tiga tahun ini, ternyata para peserta lomba lebih banyak memilih membaca naskah yang berunsur agama dibandingkan dengan naskah cerita. Pada 2013, mayoritas peserta membaca naskah “Hikayat Akhbarul Karim” yang mengandung ajaran Islam ten- tang kehidupan sehari-hari. Pada 2014 dan 2015, kebanyakan peserta memilih membaca naskah “Nazam Teungku Di Cucum” yang berisi “ilmu batin” membersihkan hati. Pada 2015, dari peserta yang berjumlah lima puluh orang, hanya satu orang saja yang melantunkan “Hikayat Abu Nawah”.

Kegiatan lomba ditutup dengan pembagian hadiah kepada para pemenang lomba. Mereka yang terpilih sebagai juara per- tama sampai dengan keenam pada 2015 adalah Jamaluddin dari Mureu Baro, Sakdiah dari Jeulingke, Qudusisara dari Rukoh, M. Amiruddin dari Lam Beusoe, M. Khaled dari Kajhu, dan Husni Marzan dari Lampineung. Acara diakhiri dengan foto bersama antara para pemenang lomba dengan panitia, serta dewan juri. Sebagai bingkisan dan kenang-kenangan, seluruh peserta diberi- kan sertifikat dan kaos warna abu-abu bertuliskan “Balai Bahasa Provinsi Aceh, Lomba Membaca Naskah Lama Tahun 2015.”

Kecenderungan ke arah keterpinggirkannya bahasa daerah bahkan terancam punah di Indonesia menjadi latar belakang penulisan artikel ini. Tulisan ini merupakan deskripsi langsung dari masyarakat suku Bonai di Provinsi Riau ketika penulis me- lakukan penelitian bahasa di wilayah suku tersebut tahun 2013. Sebelum membicarakan keadaan bahasa Bonai di masyarakatnya, ada baiknya kita membicarakan wilayah permukiman, tatanan sosial, dan asal-usul suku Bonai.

a. Wilayah Permukiman dan Tatanan Sosial

Suku Bonai adalah salah satu dari beberapa suku asli yang tergabung dalam komunitas adat terpencil di Provinsi Riau selain Sakai, Talang Mamak, Akit, dan Duanu. Suku Bonai pada umum- nya bertempat tinggal di sekitar wilayah Sungai Rokan Kiri dan Sungai Rokan Kanan yang mencakup wilayah dua kabupaten di Provinsi Riau, yaitu Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Rokan Hilir. Sebelum tahun 2000, Kabupaten Rokan Hulu termasuk dalam wilayah Kabupaten Kampar, sedangkan Kabupaten Rokan Hilir termasuk dalam wilayah Kabupaten Bengkalis. Daerah-daerah permukiman orang Bonai berjarak sekitar 150—200 km dari ibu kota Provinsi Riau, Pekanbaru.

Saat ini, penduduk desa suku Bonai tidak hanya terdiri atas masyarakat Bonai karena sudah banyak pendatang yang ber- mukim di sana, seperti suku Melayu, Minang, Jawa, Batak, Man- dailing, dan Nias. Rata-rata pendatang yang menetap di wilayah permukiman suku Bonai bekerja sebagai pedagang, buruh perkebunan kelapa sawit, guru, atau membuka usaha jasa seperti bengkel sepeda motor, tukang ojek, atau kuli bangunan. Pen-

BAHASA BONAI: RIWAYATMU KINI

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 83-88)