• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHASA IBU: MEMBERIKAN KETEDUHAN JIWA

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 110-114)

masuk provinsi Jawa Tengah seperti Kabupaten Cilacap dan Brebes, sebagian masyarakatnya mempergunakan bahasa Sunda. Sastrawan dwi bahasa (Indonesia dan Sunda) itu menambahkan bahwa di Jakarta dan kota-kota lain bahasa Sunda juga diper- gunakan sebagai alat komunikasi. Sebaliknya di daerah-daerah itu tidak hanya terdapat bahasa yang bersangkutan saja, karena selain bahasa Jawa, di Jawa Tengah dan Jawa Timur juga ada bahasa Madura, bahasa Osing, dan bahasa Sunda. Di Jawa Barat, selain bahasa Sunda, juga ada bahasa Jawa dan Bahasa Betawi. Dengan adanya kenyataan itu, Ajip Rosidi tidak sependapat dengan istilah “bahasa daerah”, bahkan istilah itu terasa tidak tepat karena penggunaan bahasa-bahasa itu tidak terbatas di daerah-daerah tertentu. Menut hemat Ketua Yayasan Racage itu, istilah “bahasa ibu” lebih tepat (daripada bahasa daerah) karena memang dipergunakan oleh para ibu dengan anaknya, lagi pula istilah sesuai dengan istilah yang digunakan Unesco: mother tongue. Hasil penelitian dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendik- bud) pada tahun 2012, dengan mengambil sampel di 70 lokai wilayah Maluku dan Papua ditemukan jumlah bahasa dan sub bahasa di seluruh Indonesia mencapai 546 bahasa. Tahun beri- kutnya, kemungkinan, jumlahnya akan menembus 600 jenis kare- na penelitian kembali dilakukan dengan mengambil sampel di 109 wilayah.

Dari sekian banyak bahasa ibu, ada yang sudah tertulis/aksara tetapi juga ada yang masih dalam bentuk bahasa lisan. Pandji R Hadinoto dari “Gerakan Kebudayaan Nusantara demi Ketahanan Sosial Budaya Indonesia” menyatakan bahwa Aksara Nusantara yang kini sudah mengglobal adalah Aksara-Aksara tradisi dari (1) Bugis/Lontara, (2) Bali, (3) Rejang, (4) Sunda, (5) Jawa, dan (6) Batak, karena memang sudah diakui dan terdaftar di Unicode/ Unesco Consortium. Untuk itu, ia berpendapat bahwa sudah saat- nya kini Aksara-Aksara Nusantara tersebut di atas kembali diper- kenalkan untuk dipergunakan dan dimasyarakatkan wujudnya

di Nusantara. Kiprah Aksara-Aksara Nusantara merupakan pe- nyanding huruf Latin yang mengekspresikan nama-nama diri, rumah, jalan dan jembatan, kampung atau desa, kelurahan, kecamatan, kota, kabupaten, provinsi, warung, toko, gedung, kawasan perumahan dan industri, judul lagu atau tembang, dan lain sebagainya. Pemakaian Aksara Nusantara itu pada hakikat- nya juga memperteguh jati diri (eksistensi) bangsa. Bangsa Thai- land, China, Vietnam, Kamboja, Jepang, Korea, Arab, dsb adalah contoh-contoh konkret bangsa-bangsa yang memiliki karakter. Mereka dapat menunjukkan kepada dunia bahwa keberadaannya sebagai bangsa dapat disemak dari lambang-lambang gagasan- nya (aksara) yang dimilikinya.

Menghargai

Namun, gambaran seperti itu hendaknya kita refleksikan kembali ke dalam kenyataan serhari-hari, khususnya terhadap bahasa ibu. Walau bahasa ibu itu dipergunakan oleh puluhan Juta orang (Jawa dan Sunda) sebagai alat komunikasi oleh mereka, paling tidak dalam acara-acara nonresmi (noperkantoran). Suasa- nanya semakin “murung” setelah bahasa ibu tidak (akan) lagi sebagai mata pelajaran mandiri, tetapi hanya akan disubordinasi- kan dengan mata pelajaran lainnya. Mendikbud M. Nuh mengata- kan bahwa bahasa daerah tetap ada yakni di kolom kurikulum seni budaya dan prakarya. Daerah-daerah yang dipersilahkan memasukkan bahasa ibunya dalam kurikulum.

Pergulatan bahasa ibu untuk dapat tetap bertahan memang tidak ringan. Orang-orang dengan bahasa ibu mayoritas di Indo- nesia (Jawa dan Sunda) banyak yang tidak lagi mau dengan se- tulus hati menggunakannya. Orang-orang itu merasa lebih “per- caya diri” apabila dalam menyampaikan pendapatnya dengan bahasa Indonesia. Barangkali untuk acara resmi, kita masih dapat memahaminya. Akan tetapi, dalam komunikasi sehari-hari di tengah keluarga atau dalam acara yang tidak resmi, keinginan menggunakan bahasa Indonesia lebih besar daripada dengan bahasa Ibu.

Bahasa ibu Jawa, misalnya, di samping sebagai media pe- nyampai gagasan, juga mengajarkan bagi si pemakai untuk dapat bertakrama. Dalam pandangan pragmatisme, undha-usuk ‘tingkat tutur’ menjadi sangat tidak efektif sebagai sarana ide/pikiran. Ada yang mengatakan rumit, feodal, dan tidak familiar. Bahasa Jawa memang mengandung sebuah ajaran bagi mereka yang memakai untuk dapat mengendalikan dirinya (emosinya). Ketika ia berbicara dengan orang lain dengan undha-usukkrama, maka ia akan sangat sulit untuk mengeluarkan kemarahannya. Si pe- nutur pasti akan berusaha untuk menahan kemarahannya karena tingkat tutur itu memang tidak efektif untuk ekspresi marah.

Itu baru sebuah contoh, masih banyak “pendidikan” yang dapat diserap dari bahasa ibu. Seperti seorang ibu, bahasa ibu selalu mengajarkan kearifan pada anak-anaknya. Ibu tidak akan pernah mendidik anaknya menjadi seorang berandalan, demi- kian pula dengan bahasa ibu. Bahasa ibu, misalnya Jawa, meng- ajak anak-anaknya untuk dapat menghargai bukan hanya hanya perasaan tetapi juga perilaku orang lain. Jika sekarang banyak perilaku menyimpang dari anak-anak keluarga Jawa, pertama- tama bukan karena mereka tidak suka, tetapi karena mereka tidak pernah diperkenalkan dengan bijaksana terhadap bahasa ibunya (yang memberikan keteduhan jiwa). Kalau anak-anak dari keluar- ga Jawa tidak lagi dapat berperilaku sopan kepada mereka yang lebih tua (ayah, ibu, saudara, dsb), jangan terus mereka dikam- binghitamkan. Pertanyaannya: apakah anak-anak kita telah kita beri ruang yang cukup untuk mengenal bahasa ibu mereka di tengah keluarganya? Barangkali pertanyaan ini sulit untuk dijawab pada saat ini oleh keluarga Jawa yang berbahasa ibu Jawa, kare- na mereka tidak memahami apa sebenarnya yang mereka alami. Benarkah?

****

Sebuah informasi dapat diperoleh, salah satunya, dengan membaca dan membaca. Untuk memperoleh informasi kajian buku dapat diperoleh melalui bedah buku atau sering disebut launching buku. Namun, jika Anda ingin memperoleh kajian atau perimbangan ringkas sebuah buku, terutama buku baru, dapat diperoleh dengan membaca resensi. Dapat dikatakan bahwa resensi sebetulnya sangat penting dihadirkan dalam rangka pe- ningkatan sumber daya manusia.

Produksi resensi di media cetak dirasa kurang atau tidak seimbang dengan munculnya buku-buku baru. Hal itu meng- akibatkan kurang tersosialisasinya produk buku di masyarakat. Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan kurangnya tulisan yang berupa resensi, yaitu belum diajarkan di sekolah, tidak tertarik menulis resensi, dan mungkin merasa kesulitan untuk membuat resensi. Untuk itu, sebagai bahan pancing, se- kelumit kiat meresensi ini akan bisa membangkitkan pembaca untuk mencoba menulis resensi.

Menurut Natawidjaja (1986) resensi atau ulasan buku adalah pertimbangan kualitas buku, yang dalam pembicaraannya lebih ditekankan pada evaluasi dengan mengemukakan argumentasi yang cendekia, bersifat penilaian, deskriptif, dan mencari infor- masi tepat guna. Diutarakan Alwasilah (2005) tentang substansi resensi atau hal-hal yang perlu dicermati, dideskripsikan, di- kritisi, yaitu mencakup hal-hal berikut.

Judul (dari membaca judulnya, kira-kira apa yang dijanjikan buku itu bagi khalayak pembaca). Wajah/penampilan buku (sam- pul, tebal buku, jumlah halaman, ukuran). Penulis (siapa, spesifi-

KIAT MERESENSI

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 110-114)