• Tidak ada hasil yang ditemukan

BELAJAR DARI GURU SANG GURU Fatih Muftih

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 137-141)

telur di kantor-kantor bahasa. Ada pula sebagian yang meng- ajarkan sastra. Akan tetapi alpa menulis karya sastra. Agitasi itu kemudian Putu terobos lewat karya-karya bedelau. Bila tak percaya, coba ketikkan “Putu Wijaya” di laman pencarian inter- net. Yang bakal didapati adalah ketakhabisan tentang Putu. Se- olah-olah, laman maya ini tak pernah cukup untuk mencerita- kannya.

Saya tak mencatat sudah berapa kali Sang Teroris Mental ini bertandang ke Tanjungpinang. Akan tetapi, beberapa tahun silam, Putu sudah pernah menggegerkan taman penyair ini dengan membacakan cerpen pada malam pembuka Temu Sastra- wan Indonesia 2010. Itulah awal mula perjumpaan saya dengan mantan wartawan Tempo ini. Adalah benar, sesuatu yang per- tama akan selalu paling berkesan. Dapat berfoto sambil dirangkul Putu tentu menjadi arsip gambaran diri, buat saya pribadi, yang cukup membanggakan. Tapi, apalah arti berfoto bersama tanpa sempat berbicara. Saya kemudian menanyai pelopor Teater Man- diri ini.

Bukan pertanyaan hebat. Namun, sekadar pertanyaan seorang anak muda tentang cara menulis agar bisa menghasilkan karya sastra yang berkilau-kilau dan tak lapuk oleh zaman. Sebelum Putu menjawab, pikiran saya sudah meracau. Jangan-jangan jawaban Putu sama dengan Pramoedya Ananta Toer, yang selalu berpesan, “Untuk menulis bagus, yang diperlukan hanya menulis. Menulislah.” Namun rupanya, Putu punya jawaban berbeda. Pengidola baretta ini mengungkapkan, sebelum menulis karya sastra bagus diperlukan membaca karya-karya sastra bagus. “Bacalah dari guru sang guru,” tegasnya. Sebuah pesan singkat dari maestro itu saya patri lekat dalam benak saya. Tentu saja, saya paham itu pesan berkias. Kalau diterapkan plek-plek, serasa tak mungkin. Misalnya, bila saya menjadikan seorang Putu Wijaya sebagai guru saya, maka saya harus mencari gurunya dan belajar menulis padanya. “Maksud saya bukan begitu. Tapi baca buku yang dibaca oleh penulis-penulis hebat itu,” terang Putu.

Ini maksud kiasan Putu, mencari buku-buku yang dibaca penulis hebat. Kepada saya, Putu membocorkan, bahwasanya selagi muda ia banyak belajar menulis dari Teknik Mengarang karya Mochtar Lubis. Kemudian ia juga banyak membaca karya- karya Guy De Maupassant, Chekov, Dostoyevsky, dan Tolstoy. Saya yakin, bukan itu saja guru-guru Putu. Masih ada banyak lagi seabrek guru Putu yang belum terucapkan. Akan tetapi, itu sudah lebih dari cukup bagi saya untuk belajar dari guru-guru Putu.

Ketika saya menyungkemi satu per satu guru yang Putu sebutkan, saya kembali mengumpat. “Kampret, pantas si Putu bisa nulis cerita dengan akhir yang menjengkelkan. Rupanya ia belajar dari Maupassant. Soal alur yang kurang ajar, rupanya itu pembelajaran dari karya-karya Chekov dan Tolstoy.” Umpat- an bercampur keterpengarahan itu membuat saya makin gila untuk mencari guru-guru dari guru Putu. Namun, hingga kini saya belum menemui mereka.

Perburuan guru sang guru masih terus saya jalani hingga hari ini. Kadang guru-guru itu tak hanya berbentuk jilidan karya saja. Beberapa guru itu justru bicara lewat film. Kegemaran saya lainnya adalah membaca film tentang kepenulisan. Saya menye- butnya sebagai kegemaran sinting. Karena, film tentang kepe- nulisan bukan film yang mejeng di papan iklan bioskop. Otomatis perburuan ini menjadi kian menantang. Satu di antara yang paling berkesan adalah “Finding Forrester”. Sekilas, judul ini mirip dengan film animasi tentang ikan badut di laut yang men- cari anaknya hingga ke belantara kota. Akan tetapi, film yang dirilis tahun 2000 ini berbanding terbalik dengan cerita “Finding Nemo”.

Film itu bercerita tentang Jamal Wallace, 16 tahun, pemuda berkulit hitam yang mencintai aktivitas menulis. Namun, kecinta- annya itu hanya ia simpan rapi-rapi dalam buku catatan harian- nya. Hingga ia bersua dengan seorang tua yang tinggal di lantai atas sebuah apartemen sebatang kara. Rupanya orang tua itu

adalah William Forrester, penulis peraih penghargaan Pulitzer. Kepada James, Forrester punya pesan, yang saya kira cukup sungsang di kepala, tetapi benar adanya. “Tulislah draf per- tamamu dengan hati dan tulis-ulanglah dengan kepala. Aturan pertama dalam kepenulisan adalah menulis. Bukan berpikir.”

Menulis tanpa berpikir? Gila? Iya! Karena berpikir itu urusan kepala. Sementara, kesenangan adalah urusan hati. Tak heran, bila James akhirnya sanggup menulis sebuah karya apik yang dibacakan Forrester di hadapan seorang profesor sastra yang mengira tulisan itu karya Forrester. Mengapa menulis dengan hati? Karena urusan hati adalah tentang kebahagiaan. Sementara, urusan pikiran adalah menuntaskan kerumitan. Lantas, bagai- mana akan menulis karya bagus bila penulis lebih banyak ber- kutat pada kerumitan dengan mencintai tombol backspace di mesin ketiknya. A.S. Laksana, sastrawan Indonesia, pernah me- nuliskan, “Menulislah secepat-cepatnya. Mengeditlah seketat- ketatnya.” Ini pesan yang sejalan dengan petuah Forrester yang bernama asli J.D. Salinger.

Dengan cara itu, menulis akan menjadi kegiatan yang me- nyenangkan. Bukan sesuatu yang gelap sebagaimana paradigma masyarakat selama ini. Kesuksesan James menulis sebening itu, saya rasa, juga karena ia belajar kepada seorang yang tepat, penulis semoncer Forrester. Ia menemukan guru yang tepat untuk mengajarinya menulis. Agaknya, karena tak mungkin lagi men- jumpai Tolstoy atau Maupassant secara fisik, Putu pun memilih berguru melalui karya-karyanya. Toh, karya-karya sang guru itu dituliskan berlandaskan kebahagian. Kebahagian itu, Anda tahu, adalah hak hakiki manusia sebelum Adam dan Hawa me- nelan buah kuldi. Kemudian, dengan bermodalkan kebahagiaan dan pelajaran-pelajaran dari guru sang guru, langkah selanjutnya adalah menunaikan petuah Pramoedya. “Menulislah!”

Tanggal 15 Oktober 2010, saya menerima penghargaan sastra dari Balai Bahasa Yogyakarta. Novel saya, Jejak Kala, dianggap layak disemati julukan sebagai yang “terbaik” dari puluhan karya sastra yang ditulis oleh para penulis Yogyakarta dan diterbitkan oleh penerbit Yogyakarta. Tentu saja saya senang: ada karya saya yang mendapatkan penghargaan.

Namun, sebuah ironi lantas menyeruak bersamaan dengan malam “upacara” penerimaan penghargaan tersebut yang ber- tempat di arena Jogja Book Fair 2010. Seorang teman berbisik, novel Jejak Kala sudah masuk jajaran novel yang diobral. Dengan kata lain, novel tersebut tidak laku di pasaran.

Memilih menjadi penulis sastra setidaknya membutuhkan dua lapis ketabahan. Lapis pertama, ketabahan ditolak penerbit karena karyanya termasuk dalam kategori “tidak membawa hoki”. Kedua, jika pun diterima dan diterbitkan, harus bersiap- siap menerima laporan royalti penjualan yang angkanya lebih sering berada di bawah standar upah pekerja minimum, akibat tidak laku di pasaran. Memang, ada beberapa novel yang pen- jualannya mampu menghebohkan pasar, tetapi itu hanyalah “ke- beruntungan” yang terjadi pada segelintir penulis. Keberuntung- an yang mengundang para penulis lain untuk bergegas meniru- nya secara berjemaah dengan harapan ingin mencecap nasib se- rupa; hidup kaya dan terkenal pada akhirnya. Tak pelak lagi, rak- rak toko buku pun disesaki berbagai karya epigon. Inilah ironi yang lain.

Karya sastra memang unik. Sastrawan asal Jerman, Günter Grass, dalam satu wawancara berpendapat bahwa karya sastra

PENULIS SASTRA DAN

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 137-141)