• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEREZ, OH PEREZ Yeni Maulina

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 79-83)

kata-kata ajaib tadi, program-program tayangan televisi juga menggunakan bahasa asing: misalnya “Ring of Fire” (Metro TV), “Eat Bulaga” (SCTV), dan “Mels Update” (Anteve).

Usut punya usut, ternyata kata-kata ajaib itu lahir dari bahasa gaul yang sejak tahun 70-an sudah dipakai oleh kalangan/ke- lompok tertentu. Dalam perkembangannya, karena terus “di- manipulasi”, bahasa gaul pun selalu berubah, seolah-olah me- lahirkan “jenis bahasa baru” yang lain, seperti bahasa alay dan/ atau baby talk ‘celoteh bayi’ yang belakangan ini marak.

Bagi sebagian orang (terutama yang bukan pengguna), ke- beradaan bahasa ini tentu sangat menjengkelkan. Bagaimana tidak? Pemanipulasian terhadapnya dilakukan secara semena- mena. Dalam tulisan, misalnya, bahasa ini mengacaukan peng- gunaan angka dan huruf: 3=E, 7=T, 5=S, 13=B, 12=R. Begitu pun dalam pembentukan dan pemilihan kata. Di samping yang dipleset-plesetkan (seperti kata ciyus ‘serius’, mi apah ‘demi apa’, cemungud ‘semangat’, dan cungguh ‘sungguh’), kosakata bahasa ini juga penuh dengan ketidaklaziman (seperti ala-ala ‘pura-pura’, kepo ‘ingin tahu’, dan unyu-unyu ‘lucu’). Artinya, sekalipun kata kepo,misalnya, dapat diduga merupakan singkatan dari knowing every particular object (Inggris)atau merupakan serapan dari kaypoh (Hokkian), kosakata itu tetap membingungkan karena tidak meng- ikuti kaidah/aturan yang tetap,

Bagaimana dengan kata perez,gengges, kepo, rempong, sekong, sindang, lambreta, dan sapose? Setali tiga uang, sama saja: mem- bingungkan!

Menurut sebagian orang, kata perez diartikan ‘pura-pura, bohong, atau palsu’, sebagian yang lain mengartikannya ‘tidak tulus’. Gengges masih dapat diduga-duga, berasal dari kata ganggu dengan tambahan –es (agar terkesan keinggris-inggrisan). Sementara itu, rempong ‘repot, ribet’, sekong ‘sakit,kelainan seksual’, sindang ‘(ke) sini, ajakan’, lambreta ‘lama’, dan sapose ‘siapa’sulit dijelaskan proses pembentukannya.

Fenomena bahasa gaul, alay, dan/atau baby talk, karena oleh sebagian orang selalu dicurigai dapat merusak tatanan baku ba- hasa Indonesia, perlu disikapi secara arif. Dalam batas-batas ter- tentu (tidak digunakan secara membabi-buta), fenomena itu justru harus dianggap sebagai sebuah kreativitas berbahasa. Artinya, bahasa jenis ini tidak perlu terlalu dirisaukan selama digunakan secara baik, sesuai dengan situasi pemakaiannya. Dalam kenyata- annya, meskipun sudah terjadi sejak lama, fenomena bahasa itu tidak pernah mengancam eksistensi bahasa Indonesia dalam ragam-ragam tertentu (seperti jurnalistik, ilmiah, dan sastra sekalipun).

Mengapa fenomena bahasa gaul, alay, dan/atau baby talk tidak perlu dikhawatirkan? Ya, jawabannya sederhana saja, karena berbahasa sesungguhnya sama dengan berekspresi diri. “Bahasa menunjukkan bangsa,” begitu kata pepatah dalam konteks (ber)bangsa. Dalam korteks pribadi, pepatah itu tentu dapat diubah menjadi, “Bahasa menunjukkan diri.” Nah, kata kuncinya ada pada (menunjukkan) diri. Ilmuwan misalnya, dengan demikian, hanya akan terlihat tingkat keilmuannya ketika berbahasa ilmiah, bukan ketika berbahasa alay. Kalaupun sesekali menggunakan kosakata bahasa alay, bisa jadi, ilmuwan itu hanya bermaksud agar dirinya dianggap “gaul”. Begitu pula sastrawan, agar terlihat tingkat kesastrawanannya, tentu harus berbahasa sastra dalam berkarya.

Lalu, bagaimana dengan beberapa judul program tayangan televisi yang berbahasa alay dan asing? Mungkin, judul-judul itu pun hanya dimaksudkan agar dirinya (stasiun televisi) dianggap “gaul” sekaligus bermaksud menarik penonton dari kalangan yang senang berbahasa gaul atau asing. Yang pasti, perlu dilakukan penelitian keterkaitan antara judul program dan tingkat/rating- nya agar ada kejelasan. Selama ini pihak stasiun televisi selalu mengklaim bahwa judul program (berbahasa alay dan asing) itulah yang mendongkrak rating-nya. Sungguh mengherankan! Padahal, animo masyarakat pada program-program tayangan

televisi dapat saja disebabkan oleh ketertarikan pada isi dan/ atau pengelolaannya yang baik, bukan pada judulnya.

Kasus yang sama dapat dilihat pada penamaan rupa bumi, terutama perumahan. Nama-nama yang berasal dari bahasa asing terutama bahasa Inggris seolah menjadi pesona kemahalan dan kemewahan, sebut saja: KedoyaGarden, Agung Podomoro Land, Casajardin—The Garden Residence. Di Pekanbaru misalnya, ada Citra Land, Maton House, Nirvana Residence, Citra Garden, dan lain- lain. Padahal, belum tentu penamaan dengan bahasa Indonesia menunjukkan hal sebaliknya. Pondok Indah atau Pantai Indah Kapuk misalnya, tetap merupakan permukiman bergengsi di Jakarta meskipun berbahasa Indonesia. Hal itu membuktikan bahwa Pondok Indah atau Pantai Indah Kapuk bukanlah pe- rumahan yang perez atau palsu. Salam.

Aceh merupakan salah satu gudang naskah (manuskrip) Nu- santara. Berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti agama, hukum adat, sejarah, kesehatan, astronomi,  sosial-budaya, politik, dan ekonomi tercakup dalam naskah itu. Sebelum diperkenalkan dengan huruf Latin oleh penjajah Belanda, huruf Arab-Melayu atau Jawi alias harah Jawoe merupakan satu-satunya media pencari ilmu bagi orang Aceh. Akan tetapi, akibat perkembangan zaman, yaitu dengan tingginya penggunaan huruf Latin, membuat huruf Arab-Melayu mulai ditinggalkan. Peralihan penggunaan huruf Jawi ke aksara Latin membuat masyarakat Aceh pada umum- nya tidak mampu lagi membaca hikayat, nazam, dan tambeh.  Pa- dahal, tradisi membaca ketiga jenis naskah itu merupakan ”san- tapan” sehari-hari masyarakat Aceh tempo dulu sepanjang tahun. Suatu sore, pada Februari 2013, Drs. Teguh Santoso, S.S., M. Hum. sebagai Kepala Balai Bahasa Banda Aceh, menghubungi saya (T.A. Sakti) untuk tukar pendapat terkait dengan ide beliau yang berencana mengadakan lomba naskah lama Aceh. Saya sangat mendukung gagasan itu. Akan tetapi, dari pengalaman saya yang pernah menjadi juri pada kegiatan lomba membaca naskah lama yang diadakan oleh Museum Aceh, Banda Aceh tahun 2003, saya menjadi sedikit prihatin dan sedih. Lomba di Museum Aceh itu hanya diikuti oleh 6 (enam) orang peserta lomba dan seluruh pesertanya perempuan. Sementara yang laki-laki tidak seorang pun ikut mendaftar. Mendengar jawaban saya, Bapak Teguh tidak menyerah, sekaligus mencari solusinya. Akhirnya, acara lomba membaca naskah lama Aceh pertama di Balai Bahasa Banda Aceh, berlangsung dengan meriah.

MINAT BACA HURUF ARAB-JAWOE,

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 79-83)