• Tidak ada hasil yang ditemukan

YANG BERAKAR BUDAYA Dediesputra Siregar

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 187-192)

Jika musikalisasi puisi dipertunjukkan atau dipentaskan, langkah kerja musikalisasi puisi membutuhkan kemampuan untuk mengolah unsur-unsur teater dan visual sebagai bahasa ekspresi dan media reflektif yang menyarankan tafsir kreatif atas teks puisi tersebut. Hal itu mesti menyeluruh menjadi teks- tur, meliputi audio-visual dengan karakter pencitraannya sendiri, yang sesuai dengan pencitraaan yang dimiliki puisi, yaitu; diksi, majas, rima, metrum, matra, tipografi dst., menjadi semacam struktur, sekaligus membentuk tekstur estetis puisi. Struktur estetis inilah yang mendasari bentuk dan gaya penulisan, sekali- gus merepresentasikan kebudayaan, ideologi, dan zamannya.

Demikian pengertian apresiasi sastra yang perlu dikemuka- kan dan harus dijaga, karena merupakan pengertian vital, sekali- gus strategis dan intelek, untuk menyusun pola kerja kreativitas musikalisasi puisi dalam memasyarakatkan sastra puisi. Hal itu berkesesuaian dengan sejarah musikalisasi puisi mulai digalang di lingkungan siswa sekolah dan yang sederajat oleh Pusat Bahasa sejak 1990 di Jakarta. Maka, ukuran kualitatif capaian musikalisasi puisi mengutamakan kualitas apresiasi sastra puisi yang dilakukan. Tidak terbatas enak didengar dan bagus dilihat, tetapi musikalisasi puisi memiliki tekstur yang tersusun dan mampu dikenali (terbaca) sebagai tekstur yang berlandaskan potensi normatif karya yang diapresiasi, yaitu puisi.

Musikalisasi puisi juga melakukan semacam remediasi pada unsur-unsur puisi, sastra, musik, teater, dan visual. Hal tersebut juga dianggap strategis, signifikan, urgen, dan vital untuk menyu- sun kembali kebudayaan dalam era postmodern saat ini. Tujuan- nya adalah untuk menghasilkan produksi kreatif berakar budaya dan berani merangkum tidak sedikit disiplin ilmu pengetahuan. Ia menjadi kerja kolaborasi dan multikultural dalam satu model kreativitas seni, yang dapat menyampaikan pesan secara ekpre- sif–reflektif dari individu, komunitas, bangsa, generasi, budaya, dan zamannya. Musikalisasi puisi dapat membentuk kepribadian generasi yang kritis, seiring isu krisis identitas di kalangan generasi saat ini.

Remediasi yang dimaksud adalah pencarian dan penggalian untuk menemukan media ungkap yang dianggap mampu meng- artikulasikan kembali unsur-unsur yang terkandung, walau zaman- nya sudah terlewati, seperti “Pada-Mu Jua” karya Amir Hamzah, atau karya karya di era awal abad ke-20. Media sebagai komponen potensial dari disiplin ilmu lain yang strategis. Akan tetapi, ini harus sesuai dengan argumentasi logika objektif (ilmiah) dari nilai yang terkandung dalam karya yang akan diartikulasikan, yaitu puisi.

Puisi dari bahasa Yunani kuno, poiéo/poi I create’, adalah seni tertulis yang menggunakan bahasa untuk kualitas estetiknya. Penekanan pada segi estetik suatu bahasa dan penggunaan peng- ulangan dengan sengaja dengan rima sebagai pembeda puisi dari prosa. Puisi lebih singkat dan padat, sedangkan prosa lebih mengalir dalam mengutarakan cerita. Beberapa ahli modern memiliki pendekatan dengan mendefinisikan puisi tidak sebagai jenis literatur, tetapi sebagai perwujudan imajinasi manusia yang menjadi sumber segala kreativitas. Selain itu, puisi juga merupa- kan curahan isi hati seseorang yang membawa orang lain ke dalam keadaan hatinya.

Baris-baris pada puisi dapat berbentuk apa saja (melingkar, zigzag, dan lain-lain). Hal tersebut merupakan salah satu cara penulis untuk menunjukkan pemikirannnya. Puisi juga kadang hanya berisi satu kata/suku kata yang terus diulang-ulang. Akan tetapi, beberapa kasus pada puisi modern atau puisi cyber belakangan ini makin memprihatinkan, jika ditilik dari pokok dan kaidah puisi itu yaitu “pemadatan kata”. Hal itu seperti ditinggalkan dan lebih mementingkan gaya bahasa.

Dalam puisi juga biasa menggunakann majas yang membuat puisi itu semakin indah. Banyak ragam majas, salah satunya ada- lah sarkasme, yaitu sindiran langsung dengan kasar. Menelaah puisi tentu tidak dapat dipisahkan dari struktur fisik dan struktur batin.

Berdasarkan unsur-unsur puisi tersebut, musikalisasi puisi melakukan apresiasi sastra yang objektif untuk memulai krea- tivitasnya. Banyak hal lain sebagai referensi yang bisa didapat dari buku buku sastra mengenai seluk beluk sastra puisi, baik angkatan kepenyairan atau gaya estetis para penyair di dalam puisi puisinya. Hal itu memberikan tanggungjawab apresiasi sastra yang cukup besar dan berguna dalam perencanaan konsep dan metode bermusikalisasi puisi.

Musikalisasi puisi memiliki kemampuan menjadikan puisi menjadi lebih “hidup” dengan daya ungkap yang lebih menye- luruh, berdasarkan kata, bentuk, dimensi, dan sifatnya. Dina- mika melodi dan bunyi yang disusun menjadi semacam penegas- an makna puisi yang telah ditafsirkan. Musikalisasi puisi harus dapat dibedakan dengan bentuk-bentuk apresiasi sastra lainnya seperti teaterikalisasi, dramatisasi, dan seterusnya yang merupa- kan bentuk-bentuk apresiasi yang telah banyak berkembang.

Musikalisasi puisi bertujuan 1. Meningkatkan apresiasi sastra 2. Memasyarakatkan sastra puisi

3. Menunjang ide dan kreativitas kesenian

4. Mengembangkan minat-bakat kesusastraan pertunjukan

5. Menumbuhkan kepribadian

Pesan-pesan puisi yang dirasakan berat dan melingkar dapat dapat mencapai nurani masyarakat, sekaligus menjadi media alternatif dalam pengembangan kreativitas dalam hidup dan kesenian

Ada pun kriteria musikalisasi puisi yang dirumuskan Bidang Penelitian dan Pengembangan Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia adalah berikut ini.

1. Penafsiran 30 %

2. Komposisi Musikal 30 % 3. Harmonisasi 20 % 4. Vokal 10 %

Bahasa menunjukkan bangsa. Bahasa melahirkan hidup bersama. Sastra merupakan pencitraan kemampuan berbahasa. Segala sesuatu yang bergerak cepat dan apa pun bisa kehidupan saat ini. Maka, Indonesia harus menjaga dan terus merumuskan nilai-nilai kebudayaannya. Hal itu merepresentasikan kemanu- siaan, hubungan antarpribadi, alam, lingkungan hidup, dan penge- tahuan menjadi hubungan dialektis antargenerasi yang bisa ter- baca. Setiap generasi harus dapat merumuskan konsepsi dan pola untuk mampu menyuarakan zaman, memberi sidik jari pada karyanya sebagai entitas suatu keberadaan. Hal itu membutuh- kan kemampuan menggali dan merumuskan “bahasa-ungkap”, menjadi kreativitas seni sebagai hasil budaya yang organik dan mengakar. Hal ini menjadikan pola kreatif dan beragam karya sebagai kekayaan hidup bersama. Itulah kekayaan kebudayaan sebagai bangsa dari entitas yang utuh.

Jiwa adalah cermin bening; tubuh adalah debu di atasnya…,” begitulah pesan Jalaluddin Rumi ketika kita berhasrat hendak memperoleh pencerahan dari Sang Maha Pencerah. Bersihkanlah debu atas tubuh, maka cermin bening itu akan memancarkan cahaya-Nya. Sebuah pesan spiritual simbolik. Rumi secara meta- foris sekadar menorehkan risalah sufistiknya, semata-mata agar kita, makhluk manusia dapat memperoleh kesadaran untuk selalu dapat mengendalikan hawa nafsu yang berkaitan dengan ke- puasan dan kenikmatan segala sesuatu yang fisikal, yang badani, atau yang bersifat duniawi. Hanya dengan pengendalian hawa nafsu itulah manusia akan dapat menangkap pantulan cermin bening itu: cahaya Ilahi.

Banyak risalah sufistik Jalaluddin Rumi atau para penyair sufi lain yang sebenarnya dapat menjadi bahan perenungan kita. Maka, tidak perlu heran, ketika kita berjumpa dengan pesan- pesan sejenis, kita seperti tidak dapat menghindar untuk tidak menghubungkannya dengan buah pikiran Rumi. Meskipun begitu, boleh jadi Rumi sendiri sebenarnya tidak meniatkan ekspresi kesadaran apokaliptiknya sebagai puisi. Ia sekadar mewartakan gejolak jiwanya yang paling dalam sebagai bentuk pengagungannya pada Tuhan. Atau, itulah ekspresi kerinduan dan cintanya pada Sang Khalik.

Dalam banyak kasus, ketika seseorang berhadapan dengan suatu benda atau peristiwa atau apa pun yang membuatnya takjub, bergetar, terpesona, atau bahkan sangat menakutkan, tanpa disadarinya, akan muncul begitu saja, ekspresi puja-puji,

RELIGIOSITAS ROSMIATY SHAARI

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 187-192)