• Tidak ada hasil yang ditemukan

BANDUNG LAUTAN AKRONIM Nandang R Pamungkas

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 70-74)

Saya pun takkan lupa makanan favorit sewaktu kuliah, internet (indomie telur kornet) dan nasgobing (nasi goreng kambing).

Selain nama-nama makanan, orang Bandung pun gemar me- namai nama jalan dan nama tempat dengan menggunakan akro- nim. Ya, di Bandung ada beberapa nama jalan yang juga dijadikan akronim. Jalan Otto Iskandardinata diakronimkan menjadi Otista, Jalan Laswi (Laskar Wanita), Jalan Gatsu (Gatot Subroto), Jalan Bubat (Buah Batu), Jalan Paskal (Pasir Kaliki), dan Jalan Layang Pasupati (Pasir Kaliki—Surapati).

Nama-nama jalan tol pun selalu menggunakan akronim. Misalnya adalah Tol Cipularang (Cikampek-Purwakarta-Pada- larang) dan Tol Padalenyi (Padalarang-Cileunyi). Bahkan nama jalan tol yang masih dalam proses pembangunan pun dinamai Tol Soroja (Soreang-Pasir Koja). Adapun akronim yang diguna- kan pada nama-nama tempat, di antaranya Gerlong (Geger Kalong), Bubat (Buah Batu), Punclut (Puncak Ciumbuleuit), Ciwalk (Cihampelas Walk), bahkan Kebun Binatang Bandung diakronimkan juga menjadi bonbin (kebon binatang).

Tak hanya nama tempat, nama toko buku pun ada yang menggunakan akronim, contohnya Tobucil (Toko Buku Kecil) dan Wabule (Warung Buku Lesehan). Yang paling umum adalah nama-nama perguruan tinggi. Hampir semua perguruan tinggi terkenal di Bandung menggunakan akronim, ada Unpad, UPI, Unpas, Unpar, Unla, Unisba, Unbar, Akper, dan sebagainya. Jangan lupa, semboyan Kota Bandung “Bermartabat” (bersih, makmur, taat, dan bersahabat), bukankah merupakan akronim juga?

Masalah Penggunaan Akronim

KBBIPusat Bahasa memaknai akronim sebagai ‘kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang wajar, misalnya letkol dari letnan kolonel; rudal dari peluru kendali; pemilu dari pemilihan umum; tilang dari bukti pelanggaran. Perhatikan kata wajar dalam frase ‘yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang

wajar’. Suasana wajar inilah yang nantinya menjadi ciri khas sebuah akronim.

Unsur lafal-mudah, enak-dengar, dan enak-lihat (sehingga cepat-ingat) adalah alasan dari perumusan singkatan dan akro- nim. Singkatan dan akronim berfungsi sebagai sejenis jembatan bagi pendengar/pembaca bahasa untuk dapat dengan (lebih) mudah menyeberang menuju makna. Suatu singkatan biasanya dibentuk dari sebuah kata bersuku-banyak atau frasa yang rumit yang tentunya akan menimbulkan kesulitan dalam proses pen- cerapan dan pengertiannya. Untuk itulah singkatan dan akronim dihadirkan dalam ruang berbahasa.

Akronim merupakan bentuk penggunaan bahasa yang tidak dianjurkan. Pusat Bahasa (sekarang bernama Badan Pengem- bangan dan Pembinaan Bahasa [BPPB]) sebetulnya tidak mem- buat kaidah pembentukan akronim. Seperti kita ketahui, akronim memiliki potensi untuk berkembang karena orang sangat gemar membuat akronim. Penggunaan akronim yang tidak terkendali dapat membingungkan pengguna bahasa sendiri, khususnya bagi pengguna asing atau pengguna bahasa yang berasal dari luar. Misalnya, orang yang berasal dari luar Bandung akan kebingung- an untuk mencari sesuatu yang dimaksud ketika orang yang ditanya menjawabnya dengan menyebutkan nama akronim, bukan nama aslinya.

Kesulitan itu sangat terasa khususnya pada penggunaan nama tempat dan jalan. Pengalaman ini pernah saya alami sendiri. Teman saya mengajak janji bertemu di “Monju”. Saya kebingung- an, di manakah Monju itu, serasa di negara Korea saja. Eh, ter- nyata yang dimaksud Monju itu adalah “Monumen Perjuangan” rakyat Jawa Barat. Begitu juga ketika kawan saya yang berasal dari luar provinsi kebingungan setengah mati ketika mencari- cari alamat Jalan Otista yang juga tak ia temukan di lembar peta sekali pun.

Meskipun demikian, jika ternyata kita sangat perlu untuk membuat akronim, BPPB memberikan rambu-rambu untuk

diperhatikan. Pertama, jumlah suku kata akronim jangan me- lebihi jumlah suku kata yang lazim pada kata Indonesia. Misalnya, akronim ipoleksosbudhankam tidak memenuhi kriteria ini karena bersuku kata terlalu banyak. Kedua, akronim dibentuk dengan mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata Indonesia yang lazim. Misalnya, akronim Pangkopkamtib tidak mudah untuk dilafal- kan untuk kelaziman pelafalan kata bahasa Indonesia. Ketiga, akronim tidak berkonotasi negatif dan menyamai kata yang sudah ada. Misalnya, akronim markus (makelar kasus) yang ber- nilai negatif sangat menyinggung umat Kristen karena nama Markus dalam agama Kristen merupakan salah satu sahabat nabi. Kegiatan mengakronimkan nama atau semboyan secara berlebih akan menjadi kurang bermanfaat. Bahkan hal itu cen- derung merugikan karena tingkat pemahaman orang terhadap bentuk suatu akronim tidaklah sama. Oleh karena itu, peng- akroniman dalam bahasa Indonesia lebih baik dihindari atau setidak-tidaknya dibatasi untuk keperluan tertentu saja, misalnya hanya untuk hubungan kedinasan intern.

Tak elok rasanya jika membahas seksualitas tanpa melibatkan Foucault, karena dalam sebuah bukunya yang terkenal The History of Sexuality (1979) ia membongkar sejarah seksualitas dan berbagai perubahan pandangan terhadap objek ini. Menurut Foucault, pada awal abad XVII, kegiatan yang mengarah kepada seksualitas masih sangat terbuka. Pada masa itu masih dijumpai kegiatan seksual yang tidak ditutup-tutupi. Kata-kata bernada seks dilontarkan dengan bebasnya dan berbagai hal yang me- nyangkut seks tidak disamarkan. Ketika itu yang harap dianggap halal. Ukuran untuk tingkah laku vulgar, jorok, dan tidak santun sangat longgar. Kita masih bisa menemukan berbagai kial yang menjurus, kata-kata polos, pelanggaran norma yang terang-terang- an, aurat yang dipertontonkan, anak-anak bugil yang lalu-lalang tanpa rasa malu ataupun menimbulkan reaksi orang dewasa: tubuh-tubuh, pada waktu itu, tenggelam dalam keasyikan.

Perubahan pandangan terhadap seksualitas kemudian terjadi di masa ratu Victoria berkuasa. Pada masa tersebut, kaum-kaum borjuis sangat berperan dalam masyarakat. Golongan mereka mulai mengatur perilaku masyarakat golongannya sendiri dan berimbas pula kepada masyarakat umum. Dalam bahasa Foucault, pada zaman itu seksualitas dipingit rapi dan dirumahtanggakan. Dia menulis seksualitas menjadi jumud. Suami-istri menyitanya dan membenamkan seluruhnya dalam fungsi reproduksi yang hakiki. Orang tidak berani lagi berkata apa pun mengenai seks. Pasangan, yang sah dan pemberi keturunan, menentukan segala- nya. Pasangan muncul sebagai model, mengutamakan norma, memegang kebenaran, mempunyai hak untuk berbicara dengan

SEKSUALITAS:

DARI RUANG PRIVAT KE RUANG PUBLIK

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 70-74)