• Tidak ada hasil yang ditemukan

IKLIM DAN GELIAT SASTRA DI JAMBI (SEBUAH PEMBICARAAN AWAL)

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 145-151)

kesadaran seperti ideologi, karakter, kebiasaan, sikap, dan lain sebagainya yang menentukan praktik itu berlangsung.

Di Jambi, iklim dan geliat sastra pernah tumbuh dan kon- dusif. Namun, belakangan ini menunjukkan keredupan dan bukan tidak mungkin malah menghilang. Inilah yang menjadi pertanyaan besar bagi saya: mengapa iklim dan geliat sastra dulu yang pernah ada di Jambi sekarang memperlihatkan fakta sebaliknya?

Kehidupan Sastra di Jambi

Iklim sastra di Jambi mencapai puncaknya pada era 90-an. Meskipun pada tahun 60-an sudah muncul sastrawan Jambi bernama Gazali Burhan Riodja, tetapi pada era Gazali boleh di- katakan tidak ada sastrawan Jambi selain Gazali. Pada era 70- an akhir, ada penyair Kerinci Alimin D.P.T. yang menulis puisi di media massa Padang. Era 80-an sesungguhnya juga sudah ber- munculan sastrawan-sastrawan Jambi seperti Ari Setya Ardi (ASA), Iriani R. Tandi, Iif Ranupane, Acep Syahril, Dimas Arika Mihardja (DAM), dan Maizar Karim Elha. Pada era itu baru ASA yang memiliki kumpulan puisi yang dicetak secara stensilan. Sementara, penulis lain menulis karyanya untuk media-media massa luar dan baru memiliki antologi bersama yang berjudul Riak-riak Batanghari (1988). Di daerah Merangin ada (alm.) Olan S.A. yang pernah menerbitkan kumpulan cerpen dan puisi. Di masa itu kehidupan bersastra lebih berdasar pada individu-individu walaupun beberapa sastrawan seperti DAM sudah membentuk komunitas sastra yang bernama Bengkel Puisi Swadaya Mandiri. Selain itu, Acep dan Iif mendirikan Teater Bohemian yang cuma berumur 2 tahun. Sementara, Asro di Merangin mendirikan Sanggar Sastra Imaji (1982).

Kemunculan geliat sastra pada era 90-an hingga awal 2000- an lebih terlihat dari munculnya karya-karya pada masa itu. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari berbagai faktor yang mendukung- nya. Kemunculan Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas

Jambi (FKIP Unja), Taman Budaya Jambi, dan media massa per- tama di Jambi pada tahun 1995 yaitu Jambi Independent, merupakan faktor penting kemunculan genarasi sastrawan Jambi yang lebih banyak. Hal tersebut ditandai pula dengan kemuncul- an komunitas-komunitas sastra dan munculnya karya-karya (ke- banyakan puisi) yang terbit di koran-koran lokal, serta terbitnya buku-buku antologi yang diterbitkan dan dikelola oleh komu- nitas-komunitas sastra itu.

Dari FKIP Unja muncullah nama-nama seperti Nanang Sunarya, Asro Al Murtawi, E.M. Yogiswara, F. Monthana, Suardiman Malay, Ary Ce’Gu (Muhammad Husyairi), Ide Bagus Putra, Ansori Barata, Yupnical Saketi, Putra Edison, Emen Sling, Jr. Laety, Beri Hermawati, dan Ramayani. Sementara, yang bukan dari FKIP Unja muncul nama-nama seperti Yono D.L. dari Sanggar Sastra Imaji, Firdaus, Indriatno, dan Didin Siroz. Tahun2000-an hingga sekarang muncul nama lain seperti Gita Ramadhona, Eka, Titas Suwanda, Cory Marbawi, Linda Harahap, Berlian Sentosa, Jumardi Putra, Syarifah Lestari, Rini Febriani Hauri, dan beberapa nama lainnya.

Mereka yang berasal dari dunia akademis banyak mem- bentuk komunitas sastra seperti Teater Komsat Cindaku dan Teater Oranye. Di tahun 80-an akhir, Iif dan Acep Syahrir mem- bentuk Teater Bohemian dan ASA juga tergabung di dalamnya. Beberapa kelompok teater ini juga bergerak di bidang penerbit- an. Teater Oranye di bawah kepemimpinan Ary Ce’Gu mem- bentuk Oranye Sastra Terbitan Indonesia. Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, DAM, juga melakukan penerbitan buku antologi puisi. Beberapa karya berupa puisi dan cerpen rata-rata diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jambi. Komunitas-komunitas sastra lain yang juga muncul di Jambi adalah Teater Air besutan E.M. Yogiswara dan Teater Tonggak besutan Didin Siroz. Ada juga Forum Lingkar Pena (FLP) Jambi dan sanggar sekolah seperti Teater Q (SMA Attaufiq) dan Teater Kerlip (SMAN 1).

Namun, kemunculan penulis-penulis era 90-an hingga 2000- an awal serta komunitas-komunitas yang ada tidak menunjukan geliat dan iklim bersastra yang kondusif hari ini. Bahkan, be- berapa nama yang dulu aktif menulis sekarang tidak pernah terlihat lagi karyanya. Komunitas-komunitas dulu yang menjadi tempat dan ruang pertarungan eksistensi para penulis Jambi sudah tidak terdengar lagi aktivitasnya. Jika dulu beberapa kelompok sastra ini sering membuat festival-festival baik menulis puisi, baca puisi, teater remaja, lomba monolog, dan lain sebagai- nya, sekarang sudah jarang terdengar lagi. Paling hanya be- berapa pentas yang digelar oleh kelompok teater di Jambi seperti Air dan Tonggak.

Perubahan Arena Sosial: Perubahan Strategi Sastrawan Jambi

Modal-modal budaya dan sosial yang dimiliki para sastra- wan dari pengalaman bersastra di Jambi sepertinya mengalami kesulitan untuk masuk dalam arena sastra yang lebih luas. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh kekalahan-kekalahan para agen untuk masuk dalam habitus arena sastra yang lebih luas, seperti tidak menang dalam mengikuti sayembara-sayembara yang diadakan atau kesulitan untuk masuk ke arena sastra yang lebih luas, se- perti mengirimkan karyanya di media-media nasional, seperti Majalah Horison, Kompas, MediaIndonesia, Tempo, dan lain seba- gainya.

Selain itu, perubahan posisi agen-agen sastra di Jambi juga tidak bisa dilepaskan dari perubahan arena sosial di dalamnya terdapat struktur-struktur sebagai variabel pembentuknya. Arena sosial yang memiliki habitus tertentu mendorong beberapa penulis mengubah strategi sosialnya. Jika dulu iklim bersastra begitu kondusif, para agen sastra ini lebih mengejar pada aku- mulasi modal-modal budaya dan sosial, ingin dikenal dan men- dapat pengakuan di arena sosialnya. Akan tetapi, ketika terjadi perubahan arena sosial, dengan berbagai struktur-struktur ter- tentu yang mendominasi seperti keluarga, sekolah, dan ling-

kungan yang menuntut para agen harus memiliki modal eko- nomi, membuat strategi agen menukar sedemikian modal yang dimilikinya. Beberapa penulis bekerja menjadi wartawan, seperti ASA, E.M. Yogiswara, Yupnical Saketi, Monas Junior, Beri Hermawati, Putra Edison, Ari Ce’gu, dan lain sebagainya. Se- mentara, beberapa penulis lain mendapatkan pekerjaan men- jadi dosen, guru, maupun PNS, seperti DAM, Maizar Karim, Nanang Sunarya, Suardiman Malay, F. Monthana, Ramayani, Titas, Didin Siroz, dan lainnya. Perubahan strategi ini kemungkin- an adalah ingin menaikkan status sosial. Kesibukan-kesibukan di ranah yang baru bagi penulis-penulis Jambi ini membuat aktivitasnya di ranah sastra (kelompok-kelompok sastra) kian redup atau bahkan menghilang.

Perubahan arena sosial ini tidak saja menghilangkan berba- gai kelompok sastra yang pernah ada, tetap juga membawa dam- pak pada arena pendidikan di Jambi. Pendidikan menjadi pabrik dalam memproduksi para pekerja. Keberhasilan atau kesuksesan ditentukan oleh percepatan yang mendatangkan modal ekonomi, sehingga arena sastra bukan menjadi pilihan yang tepat sebagai profesi karena sifatnya yang menunda modal ekonomi. Belum lagi arena sosial dengan kemunculan internet yang membawa akses-akses pertukaran modal secara cepat, membuat agen-agen sosial (mahasiswa) lebih tertarik pada arena bisnis. Sekarang ini banyak kita temui para pebisnis muda yang sukses dan mun- culnya para motivator. Seminar dan diskusi yang ada lebih banyak tentang kiat sukses tanpa modal dari pada diskusi membahas karya sastra atau pertunjukan-pertujukan teater.

Lalu, mengapa seperti DAM dan Asro masih terus menulis sastra dan menerbitkannya sendiri atau rela membayar untuk karyanya bisa diterbitkan? Didin Siroz yang masih sesekali meng- garap pentas teater, dan E.M. Yogiswara yang beberapa tahun belakangan ini mengeluarkan karya dan menerbitkannya? Per- tama, karena mereka telah memiliki modal ekonomi. DAM sendiri telah memiliki modal simbolik dengan gelar dan status-

nya sebagai dosen. Begitu pun dengan E.M. Yogiswara yang menjadi redaktur media massa serta Didin yang menjadi pe- gawai. Kedua, karena menulis bagi mereka bukan lagi untuk mendapatkan modal ekonomi, tetapi ingin mengakumulasi modal-modal lain seperti modal budaya dan modal sosial. Hal ini disebabkan dalam arena sastra, modal budaya dan modal sosial lebih dihargai daripada bentuk modal yang lain.

Jika iklim dan geliat sastra di Jambi hari ini menunjukkan kondisi yang kurang kondusif, saran untuk menumbuhkan minat baca, membentuk komunitas-komunitas sastra, menyarankan untuk menulis karya sastra sebanyak-banyaknya belumlah cukup jika belum mendekonstruksi habitus yang membentuk arena sosial hari ini, mulai dari keluarga, sekolah, lingkungan tempat tinggal, lingkungan ibadah, dan lain sebagainya.

****

Publikasi karya sastra melalui koran sudah sangat lama ter- jadi di Indonesia. Hampir semua sastrawan Indonesia meman- faatkan koran sebagai media untuk “mengiklankan” karya (dan nama) mereka kepada publik. Sebut saja Seno Gumira Ajidarma, Yanusa Nugroho, Taufik Ikram Jamil, Nurzain Hae, Raudal Tanjung Banua, Marhalim Zaini, dan Fakhrunnas M.A. Jabbar (tentu masih ada sederetan nama lainnya). Berkat karya-karya korannya, nama mereka pun menjulang cakrawala.

Melalui salah satu tulisannya, “Evolusi, ‘Genre’ dan Realitas Sastra Koran”, Ahmadun Yosi Herfanda menengarai bahwa sastra koran di Indonesia menemukan oasenya pada dekade ’70-an dan ’80-an. Ketika itu, karena rubrik-rubrik sastra menjamur di hampir semua surat kabar (seperti Suara Karya, Berita Buana, Kompas, Sinar Harapan, Kedaulatan Rakyat, dan Media Indonesia), lahirlah nama-nama besar, seperti Sutardji Calzuom Bachri, Abdul Hadi W.M., Emha Ainun Najib, Korrie Layun Rampan, dan Linus Suryadi A.G.

Harus diakui bahwa sastra koran memiliki keterbatasan- keterbatasan. Di samping keterbatasan ruang dan waktu (karena sifat koran: terbatas dan sementara), sastra koran juga memiliki keterbatasan ide (karena harus menyesuaikan dengan selera redaktur, yang bisa jadi tidak berlatar belakang sastra). Mungkin hal seperti itulah yang membuat Katrin Bandel (pengamat sastra Indonesia di Universitas Hamburg, Jerman itu) terheran-heran atas fenomena sastra koran di Indonesia. Menurutnya, fungsi halaman sastra di Indonesia agak “luar biasa” karena menye- leweng dari peran koran pada umumnya: sebagai media infor-

SASTRA KORAN

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 145-151)