• Tidak ada hasil yang ditemukan

DARI RUANG PRIVAT KE RUANG PUBLIK Moh Syarif Hidayat

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 74-79)

tetap memelihara asas kerahasiaan. Di masyarakat, sebagaimana di setiap rumah tangga, satu-satunya tempat yang dihalalkan bagi seksualitas—bahkan yang dikhususkan untuk itu dan amat subur—adalah kamar orang tua. Segi-segi lain dari seksualitas hanya merupakan jejak kabur. Kesantunan menghindari pengacu- an badaniah, percakapan sehari-hari dibersihkan dari kata-kata “berani”. Sementara itu, orang mandul, jika terlalu menegaskan keadaannya dan terlalu menonjolkan diri, berisiko disebut tidak normal: ia akan menerima status itu dan harus menerima sanksi sosial.

Seiring perubahan zaman, terutama ketika kebebasan dan globalisasi melanda masyarakat Barat pada abad ke-19, pan- dangan terhadap seksualitas kembali menunjukkan perubahan. Perubahan yang dalam kasus Indonesia masih terasa lambat. Artinya, sebagai orang Timur, seksualitas masih harus berbentur- an dengan berbagai norma yang selama ini telah menjadi domain yang sangat penting dan berkuasa dalam budaya Timur sehingga seksualitas memang masih tetap menempati posisinya di ruang privat yang hanya boleh disentuh oleh orang-orang yang balig. Namun demikian, globalisasi yang membawa arus perubah- an terhadap cara pandang terhadap masyarakat dan membawa pula ekses-ekses negatif (dalam pandangan budaya Timur) me- merlukan jalan keluar yang lebih baik sehingga sebagai bangsa dapat menempatkan diri pada bangsa yang beradab sekaligus berkeadilan. Globalisasi (meskipun bukan satu-satunya yang menjadi sebab) telah mengantarkan persoalan seksualitas ke ruang yang lebih luas. Di dunia Barat, seksualitas telah kembali ke sejarah awalnya sebagai sesuatu yang tidak lagi ditabukan untuk dibica- rakan atau dipertontonkan. Dalam hal ini batas-batas antara ruang privat dan ruang publik menjadi samar sebagaimana dikatakan oleh Berlant (dalam During, 1993).

Bagaimana sebenarnya memosisikan seksualitas di ruang publik? Ada baiknya pula kita mengetahui terlebih dahulu me- ngenai ruang publik. Menurut Habermas (1989), ruang adalah

suatu wilayah yang muncul pada ruang spesifik dalam “masya- rakat borjuis”. Ia adalah ruang yang memerantarai masyarakat sipil dengan negara, sebuah tempat ketika publik mengorganisasi dirinya sendiri dan tempat ketika “opini publik” dibangun. Lebih lanjut dikatakannya bahwa dalam ruang ini individu mampu mengembangkan dirinya sendiri dan terlibat dalam debat ten- tang arah dan tujuan masyarakat. Habermas kemudian men- dokumentasikan apa yang dia lihat sebagai kemunduran ruang publik akibat perkembangan kapitalisme yang mengarah kepada monopoli dan penguatan negara. Namun, dia mencoba meletak- kan pembaruan ini dengan istilah “situasi bertutur ideal”, yaitu ketika klaim kebenaran yang saling bersaing terikat kepada debat dan argumen rasional. Jadi, ruang publik dikonsepsikan sebagai ruang bagi debat yang didasarkan pada kesetaraan konversasional.

Namun, sebagaimana dikatakan Fraser (dalam Barker, 2009), dalam praktiknya kondisi semacam itu tidak pernah ada. Justru, ketimpangan sosial menegaskan bahwa warga negara tidak mendapatkan akses setara terhadap ruang publik. Kelompok- kelompok subordinat tidak memiliki kesamaan dalam berparti- sipasi dan mereka tidak memiliki ruang untuk mengartikulasikan bahasa, kebutuhan, dan keinginan mereka. Menurut Fraser, konsep modern Habermas tentang ruang publik memerlukan penggerak yang fungsinya untuk mengelompokkan perbedaan status, menyelenggarakan diskusi dalam rangka mempertanya- kan kebaikan bersama (mengesampingkan kepentingan bersama) dan menciptakan satu ruang publik saja (karena memang ini adalah milik bersama). Karena ketimpangan sosial tidak bisa dikesampingkan, banyak isu pribadi menjadi isu publik (misalnya kekerasan dalam rumah tangga), dan ada kebaikan-kebaikan umum tertentu yang saling bersaing, maka dia menyatakan bah- wa konsepsi pascamodern tentang ruang publik harus meneri- ma keinginan publik yang beragam dan ruang publik yang beragam pula sambil pada saat yang sama berusaha mereduksi

ketimpangan sosial. Dia berpendapat bahwa feminisme merepre- sentasikan “ruang publik tandingan” bagi debat dan aktivitas politik.

Isu-isu seksualitas memang telah pula menjadi isu publik yang terkadang memang masih sangat sensitif. Lebih jauh per- soalan ini tidak melulu pada seksualitas sebagai tindakan tetapi juga hubungannya dengan kajian gender. Konsep performativitas yang dikemukakan Buttler menyentuh pula hubungan seksualitas dengan ruang publik. Bagaimana sebuah performativitas gender direspons oleh masyarakat luas yang masih belum menerima konsep-konsep tentang tubuh dan kekaburan definisi mengenai seks dan gender. Masyarakat di ruang publik akhirnya dihadap- kan pada kompleksitas seksualitas beragam yang sering berben- turan dengan dogma-dogma dan norma-norma masyarakat yang menjadi kuasa utama dalam urusan moral dan adab bermasya- rakat. Persoalan yang kemudian timbul adalah bagaimana men- jadikan tema seksualitas dapat diterima secara jernih oleh masya- rakat dan tidak menimbulkan isu-isu negatif yang lebih mengarah pada kemunafikan-kemunafikan yang disimpan diam-diam dan pada akhirnya justru menjadi serba salah sendiri.

Seksualitas memang dipahami juga sebagai ajaran dan topik yang dibahas di setiap agama, yang selama ini menjadi penjaga moral umat, dan bahkan ada aturan-aturan terhadapnya. Benturan antara agama dan sekularisme maupun hedonisme yang hidup bersama-sama di suatu masyarakat sebagai aturan moral yang saling mencari pengaruh menjadikan seksualitas seperti bola yang bergulir ke sana-ke mari. Ruang publik menjadi arena pertempur- an yang demikian ramai dengan berbagai isu dan saling hujat. Seksualitas sebagai naluri alami manusia harus memosisikan dirinya menurut kuasa yang dominan di ranah tersebut. Seperti juga ketika golongan victorian mendudukkan seksualitas di wilayah privat.

Dalam pandangan Foucault, kuasa yang bermain di masya- rakat, terlebih jika dihubungkan dengan berbagai aparatus yang

disebutkan Bourdieu, akan tetap menjadi pengendali terhadap berbagai gejala perubahan budaya yang ada di masyarakat. Ke- inginan sebagian kalangan yang memosisikan seksualitas sebagai sesuatu yang lumrah dan penuh kebebasan seperti di abad ke- 17 akan tetap berbenturan dengan kekuatan tak terlihat yang selama ini menjadi penggerak dan pendorong individu-individu di masyarakat untuk menghakimi sesuatu itu benar atau salah berdasarkan nilai-nilai yang telah tertanam dengan kuat pula. Meskipun sedang terjadi kemerosotan terhadap norma atau nilai- nilai masyarakat tersebut, kekuatan norma masih tetap ada peng- aruhnya sepanjang penjaga-penjaga norma masih ada. Hal ini berbeda dengan apa yang dialami masyarakat di abad ke-17 yang lebih bebas mempertontonkan kebebasan seksual.

Kini, aparatus-aparatus yang berkuasa di masyarakat masih terlalu kuat untuk diruntuhkan dan dengan demikian, seksualitas masih harus mengikuti arah yang ditunjukkan oleh aparatus- aparatus tersebut. Dalam arti bahwa pengusung kebebasan seksualitas di ruang publik masih harus berjuang untuk men- dobrak aparatus-aparatus tersebut.

Jadi, meskipun kini seksualitas sudah mulai merambah ke ruang publik, ia masih tetap harus berhadapan dengan berbagai pandangan dan pendapat di ruang tersebut. Berbagai aturan, larangan, penghakiman, dan bahkan hukuman akan membatasi ruang geraknya.

Judul tulisan ini, bagi banyak orang, mungkin akan meng- giring ingatannya pada nama tokoh tertentu. Orang yang senang ngegosip akan ingat Julia Perez, artis fenomenal yang selalu blak- blakan dalam bertutur kata itu. Lain halnya penggila bola, mung- kin yang diingatnya Miguel Perez Cuesta, atau lebih dikenal dengan nama Michu (pemain gelandang Swansea, Inggris) atau Diego Perez (pemain gelandang Bologna, Italia). Begitu pun bagi yang lain, judul tulisan ini dapat saja mengingatkannya pada Shimon Peres (Presiden Israel), Otto Perez Molina (Presiden Guatemala), atau Alan Garcia Perez (Presiden Peru).

Tulisan ini tidak membicarakan tokoh-tokoh itu. Yang akan dibicarakan dalam tulisan ini adalah ihwal kata perez dan teman- temannya (seperti gengges, kepo, rempong, sekong, sindang, lambreta, dan sapose). Kata-kata jenis itu menarik untuk dibicarakan karena ajaib, dominasinya telah merambah hingga ranah media massa eletronik.

Entah dari mana asal muasal kata-kata ajaib itu. Yang pasti, beberapa kata ajaib itu dipakai sebagai judul program tayangan beberapa stasiun televisi: “Kepo Quiz”(Trans7), “Gengges” (Trans), dan “Chit Chat Cuzz”(Trans TV). Konon, program-program itu juga menempati posisi (rating) atas. Hal ini bisa dibuktikan dengan melihat animo peminat yang mengantre untuk menjadi peserta program. Ajaib bukan? Padahal, dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran (termaktub pada Bab IV, Pasal 37 tentang Ba- hasa Siaran) disebutkan bahwa bahasa pengantar utama dalam penyelenggaraan program siaran adalah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pada kenyataannya, di samping menggunakan

PEREZ, OH PEREZ

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 74-79)