• Tidak ada hasil yang ditemukan

DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL Fadlillah Malin Sutan

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 120-125)

Namun, tentu akan menimbulkan pertanyaan mengapa perlu ada advokasi sastra, ada apa dengan sastra sehingga ia perlu di- advokasi? Apakah sastra termasuk sesuatu yang lemah, miskin, terbelakang, dan tertindas atau menjadi korban sebuah kebijakan dan ketidakadilan, karena advokasi adalah suatu cara non-ke- kerasan untuk melawan penguasa yang menindas. Secara umum, inilah yang dilakukan oleh kawan-kawan dari organisasi non- pemerintah untuk melawan pemerintah atau penguasa yang memberikan kebijakan publik yang tidak adil. Sedangkan tujuan advokasi adalah untuk mengubah kebijakan publik yang me- nidas. Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan di sini, apakah sastra sekarang ditindas oleh pemerintah (penguasa) dengan kebijakan publik yang tidak adil?

Bila terjadi penindasan terhadap dunia sastra oleh peme- rintah atau penguasa, ada empat aspek yang ditindas: pertama, karya; kedua, pengarang; ketiga, kritikus; keempat, pencinta atau pembaca karya sastra. Bentuk penindasan terhadap karya biasa- nya terjadi pelarangan atau pembakaran karya sastra. Selain itu adalah dipenjarakan atau dijatuhihukuman mati terhadap peng- arang. Selain pengarang, kritikus pun ikut tertindas, seperti di- penjarakan atau dihukum mati. Sementara pembaca bisa dilarang membaca, dipenjarakan, atau dijatuhi hukuman mati bila mem- baca, menyimpan, menyebarkan, serta melindungi pengarang atau karya sastra.

Barangkali mungkin dalam buku sejarah sastra akan dapat ditemukan daftar karya-karya yang terlarang, bahkan mungkin pernah dibakar, daftar nama pengarang yang yang tidak boleh menulis, daftar pengarang yang dipenjara, sejarah kritikus yang diadili dan dijatuhi hukuman, serta sejarah rakyat yang ditang- kap karena membaca, memiliki, atau menyebarkan buku-buku sastra yang terlarang. Sesungguhnya ini melanggar hak asasi manusia untuk bebas berpendapat, bebas berapresiasi, meng- kritisi, dan membaca karya sastra.

Penindasan terjadi dalam bentuk konflik vertikal, tetapi penindasan juga dapat terjadi dalam bentuk konflik horizontal.

Misalnya, terjadi konflik antara beberapa komunitas sastra, ter- jadi kecemburuan sosial, dan ketidakadilan sosial antarkomuni- tas. Barangkali kerena ada komunitas yang menguasai alat pro- duksi, sementara yang tidak menguasai alat produksi merasa tidak diperlakukan dengan adil. Di samping itu juga terjadi kon- flik mazhab, aliran, atau ideologi. Konflik horizontal terjadi juga antara kelompok sastrawan dengan kelompok kritikus dan ke- lompok sastrawan dengan masyarakat pembaca. Masing-masing memaksakan kehendaknya satu sama lain sehingga terjadi kekerasan, karena masing-masing merasa punya hak terhadap orang lain dan mendiktenya. Ketika konflik horizontal ini sudah sampai kepada saling fitnah, penghinaan, carut-marut, dan ke- kerasan, sesungguhnya kondisi ini dapat dikatakan tidak sehat lagi. Semakin tidak sehat pemaksaan kehendak ini saat mulai mempergunakan dimensi vertikal (penguasa/pemerintah).

Konflik memang pakaian dalam kehidupan, kehadirannya adalah sesuatu yang tidak terelakkan, hanya dibutuhkan adalah bagaimana sikap yang bijak untuk menghadapinya, yakni sikap tidak memaksaan kehendak satu sama lain. Dengan demikian, advo- kasi baru dibutuhkan bila konflik sudah masuk kepada wilayah saling memaksakan kehendak; dengan memfitnah, penghinaan, carut- marut, kekerasan, atau penindasan, penganiayaan, pembakaran, pembunuhan karakter, penjara dll.

Sulitnya, advokasi dilakukan adalah ketika sekelompok sastrawan memaksakan suatu aturan moral kepada selapisan rakyat, sedangkan selapisan rakyat tersebut menolaknya. Dalam hal ini, apakah kita akan mengadvokasi selapisan rakyat atau sekelompok sastrawan, karena sastrawan bisa jadi rezim juga, sedangkan rakyat pun bisa pula rezim bentuk lain. Padahal dalam setiap advokasi yang dilakukan oleh organisasi non-pemerintah adalah rakyat justru dijadikan subjek untuk diadvokasi.

Adapun masyarakat sastra sekarang sudah menjadi masya- rakat sastra multikultural, karena ketika karya sastra sudah berada di khalayak ramai, maka karya sastra ditentukan nasibnya

oleh khalayak ramai yang multikultur. Sementara, khalayak ramai adalah khalayak multikultural dan bahkan sudah merupa- kan khalayak yang terdidik dan berilmu pengetahuan. Dalam khalayak ramai yang multikultur ini tidak memungkinkan lagi untuk monokultur yang hegemoni. Dengan demikian, kultur yang diperlukan adalah kultur demokrasi. Namun, hal ini sangat ditentang oleh sebagian golongan yang menganut kultur otokrasi atau mono-kultur. Hanya sangat disayangkan bila menuduh kultur demokrat dan masyarakat multikultur yang menawarkan kesantunan sebagai kekeliruan akademis dan membunuh karya sastra.

Dalam masyarakat multikultur akan selalu “ada kehendak untuk berkuasa” terhadap makna sastra. Di lain pihak, karya sastra sepertinya ditentukan oleh kekuasaan terhadap makna. Ketika makna karya sastra dikuasai oleh pemerintah (ini adalah kekuasaan vertikal-otoriter), karya sastra yang tidak sesuai dengan makna pemerintah akan dipinggirkan atau ditindas, barangkali sebagaimana zaman Balai Pustaka. Adakalanya makna dikuasai oleh partai (politik sebagai panglima-otoriter) atau makna dikuasai oleh pengarang seperti zaman Pujangga Baru. Sebagai contoh, pada zaman Chairil Anwar sampai kritik Rawamangun atau Ganzheit dikuasai oleh H. B. Jassin serta para kritikus aka- demis dan kritikus kreatif. Sementara, pada masa kini, sepertinya, “kuasa makna” terhadap karya sastra tidak lagi berada di tangan pemerintah, partai, pengarang, maupun kritikus, tetapi di tangan masyarakat kesusastraan multikultur (ini oleh sebagian pihak dikatakan sebagai kekeliruan akademis dan dilegitimasi sebagai pembunuh sastra).

Akan tetapi, pemerintah, partai (sekarang mungkin jaringan komunitas), sebagian pengarang, dan sebagian kritikus seperti- nya tetap tidak rela kekuasaan terhadap makna karya sastra lepas dari tangan mereka (monosemi atau otoriterian) kepada masya- rakat yang demokrat, egaliter, majemuk, dan multikultural (poli- semi atau ambigu). Maka, yang terjadi adalah perebutan dengan

pemaksaan kekuasaan terhadap makna sastra. Jelas saja terjadi tabrakan terhadap “kehendak untuk berkuasa” (cf; Nietzche) terhadap makna.

Ketunggalan makna (monosemi barangkali juga kehendak untuk “kemanunggalan”, “persatuan dan kesatuan”, dan “per- satean”) adalah kekuasaan makna (otoritarian) yang menafikan makna orang lain dan tidak ada penghargaan terhadap makna yang lain, “the other”. Sementara itu, kemajemukan (ambigu, taksa, dan keberagaman) merupakan kekuasaan makna (demokrat) yang menghargai makna orang lain (multikultural), makna multitafsir, dan perbedaan. Masing-masing mempunyai tempat, pengarang punya makna sendiri (disilakan) dan masyarakat punya makna sendiri (disilakan), tetapi tidak saling memaksakan kehendak satu sama lain dan mengatakan maknanyalah yang berkuasa dan paling benar. Akan tetapi, masyarakat sastra juga bisa berbalik menjadi otortarian bila terjadi makna dominan yang menghege- moni.

Paparan seperti ini oleh sebagian pihak dikatakan (dengan logikanya sendiri) zalim, kekeliruan akademis, membunuh sastra, dan lain sebagainya. Jika pembaca bersikeras menilai seperti itu, silakan. Di bumi, sastra dengan segala kurenanya, apa pun, ber- hak hidup, sebab, sastra kalian untuk kalian serta masyarakat kalian, sastra kami untuk kami serta masyarakat kami; bebas, dengan dialektika konfliknya. Tidak ada jalan lain hanya dengan saling menghormati, sebab sastra ditulis berbeda-beda supaya untuk saling mengenal. Namun, yang penting tidaklah saling memaksakan kehendak.

****

Sejarah sastra Indonesia wajib digugat. Para ahli sastra kadung merumuskan sejarah sastra Indonesia yang keliru. Jika hal ini tidak diluruskan, berarti kita mengamini pengingkaran terhadap sejarah. Pengingkaran terhadap sejarah sastra, berarti penging- karan terhadap kebudayaan Indonesia.

Penyair Ajip Rosidi pernah melontarkan pertanyaan, Kapan- kah Kesusastraan Indonesia Lahir? (1964). Itu dilanjutkannya lagi dalam Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia (1967). Lalu, dia menjawab sendiri pertanyaan tersebut. Awal membaca bukunya, saya ter- tarik. Apalagi membukanya dari deklarasi Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Selanjutnya saya kecewa, karena tidak jauh beda dengan pendapat ahli-ahli sastra lainnya.

Buku Pengantar Sejarah Sastra Indonesia (2007) dan Pengkajian Kritik Sastra Indonesia (2009) Yudiono K.S. juga sempat menaruh harapan untuk membongkar sejarah sastra kita. Apalagi, dia me- masukkan data peta sastra Indonesia teranyar, yaitu Temu Sastra Indonesia 1 tahun 2008 di Jambi. Dia juga memasalahkan adanya ketidakberesan pada sejarah sastra Indonesia. Sayangnya, ia tidak tegas menolak konsep sejarah sastra Indonesia yang ada. Terhadap keterbatasan kemampuan Yudiono K.S. itu saya sangat memakluminya, sebab, mungkin dia diburu waktu untuk menerbitkan bukunya tersebut. Kita tunggu saja edisi revisi atau buku lain darinya untuk meluruskan sejarah sastra Indonesia ini.

Ya, lantaran terjadinya benang kusut sejarah sastra Indonesia, banyak orang sesuka hatinya memasukkan sesuatu dalam peta

MENGGUGAT SEJARAH

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 120-125)