• Tidak ada hasil yang ditemukan

“TIDAK” SPIRIT DAN IDENTITAS TO KAIL

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 94-100)

dari bahasanya masing-masing dalam tubuh kesubsukuan kami. Mereka lahir sebagai nama-nama dan di situlah (letak) pembeda yang sekaligus mengusung nilai identitas yang begitu kuat. Dari identitas nama-nama kesubsukuan kami yang berbeda ter- sebutlah yang menjadikan kami sama. Dengan demikian, kami yang terbagi atas nama subsuku itu (Ledo,Tara, Rai, dsb), secara konsep dalam bahasa Indonesia, seluruhnya memiliki arti kata ‘tidak’.

Jika budaya adalah bagian dari hasil cipta rasa dan karsa manusia (Koentjaraningrat), “tidak” adalah kata yang menem- pati bagian dari hal tersebut. Kata ”tidak” mampu menjelma wu- jud dan estetika, dari keduanya muncul dalam karsa. ”Tidak” adalah bahasa kami, sebuah kata dari sekian kata yang hadir. Namun, kata ”tidak” memiliki substansial tersendiri dari sekian kata lainnya. Dari kata ”tidak”-lah kami—orang Kaili, menanam- kan cikal untuk menumbuhkan ekspresi ungkap dan perilaku yang lain, pengejawantahan bahasa yang adalah satu dari unsur dari budaya itu untuk berproses bersama kesatuan pada unsur- unsur lain. Tentu saja sebagai bahasa,  kata “tidak” mampu lahir sebagai hakikat dari arti kata ”tidak” itu. Pun sebagai perannya, ia menempati ruang abstrak sebagai penanda atas fungsinya ketika tumbuh dan berkembang di kehidupan sehari-hari tempat merekaLedo, Rai, Da’a, dsb.—dilahirkan dan diwariskan, menjadi tonggak dasar bagi nilai dan pranata kami. Mungkin menjadi asing di pikiran masyarakat lain yang sulit untuk ber- kata ”tidak”, entah karena kesungkanan atau memang berat me- nanggung konsekuensi kata ”tidak” itu. Akan tetapi, bagi kami justru kata ”tidak”-lah yang lebih mudah untuk disampaikan karena justru ”iya” adalah sebuah tahap yang memerlukan pe- renungan agar kepala ini terusap, lalu pelan mengangguk.

“Tidak”, sebuah antonim dari ”iya”, dikenal dari tradisi tutur kami. Ia mengajak pada sebuah perjalanan mitos di tanah segeng- gam ‘tana sanggamu’, muasal dari penciptaan manusia yang juga termaknai sebagai sumber kekuatan dari muasal cipta, rasa, dan

karsa itu. Ia melahirkan nilai, pranata, dan pola hidup sehari-hari, terangkum secara luas sebagai adat. Tana sanggamu sebagaimana dalam mitos tersebut, terentangkan ane rakabasaka ‘tertabur selu- ruh tanah’, maka terciptalah “dunia”. Salah satu tahapan ane raka- basaka ‘tanah yang terentang’ tersebut muncul wilayah (ruang) pombare bahasa ‘tanah tempat dibaginya’ seluruh bahasa ”tidak” tersebut. Ia terbagi menjadi nama-nama subsuku; Ledo, Rai, Tara, Da’a, dsb. Tana sanggamu diikuti ane rakabasaka dan dari yang tertabur menjadi dunia, satu di antaranya pombare bahasa ‘muasal’ tempat kata ”tidak” sekaligus menjelaskan makna eksistensi kata ”tidak”. Ia adalah bagian dari taburan tana sanggamu, pun fungsinya sebagai sinar penciptaan dunia. Sebagai pamong se- kaligus pijakan bagi suku bangsa kami dalam menemukan tata- nan nilai, ia mampu menjadi sinar untuk seluruh tata kehidup- an.

“Tidak” terus pecah menjadi tawa sekaligus tangis, ekspresi dasar yang menempatkan ruang-ruang keterasingan manusia yang kami kenal sejalan dengan fungsi bahasa dalam tataran sosial, yakni berhubungan antara satu dengan yang lainnya serta berdialog sesama manusia dan alam. Namun, di antara dialog inilah, ”tidak” selalu memiliki wilayah fungsi spiritual ketika keterasingan akan kebutuhan menemukan “Zat Dari Segala” terus bergulir di setiap nafas dan detak jantung. ”Tidak” mampu menembus relung bahwa segalanya yang ada di bumi ini ada- lah ”tidak”— ”tidak” (bukan) kepunyaan dan kepemilikan— (sekaligus) ”iya”, jika sudah sampai pada nilai eksistensi ter- tinggi. Jadi ”tidak” adalah kami (manusia). “Iya” bukanlah kami, ia ada dalam tataran yang menghendaki kami atas seluruh kehendak atas penciptaan yang ada.

“Tidak” adalah anugerah yang terilhamkan kepada kami, memberi identitas diri tatkala segala bentuk ucap dan laku yang sejalan dengan berkembangnya budaya seharusnya berupaya meraih nilai-nilai berkesusaian. Di sinilah mata, mulut, telinga, seluruh pengindraan, dan alat gerak mesti berkata ”tidak”, kecuali

ia menyatu pada ke-”iya”-an sebagai sumber pemilik tempat eksistensi “tidak” lebih dahulu hadir. Pakanoto mata mangantoaka (membaca keadaan dengan penglihatan mata kepala, mana yang baik dan tidak untuk perbaikan kehidupan masyarakat), pakanasa talinga mongepe (segala sesuatu didengar oleh telinga, harus di- cermati jelas secara nyata agar tidak menimbulkan fitnah dan konflik), dan pakabelo sumba mojarita (jangan berkata yang me- nyinggung perasaan orang lain, menghina, menghujat, dan men- fitnah)  dalam makalah “Keutamaan Tadulako” (Hapri Ika Poigi), diungkapkan bahwa jika ”tidak” untuk kebaikan yang berefek buruk berarti tidak. Akan tetapi, ketika ”tidak” sudah terlepas dari nilai genggaman tana sagamo, berarti batas ke-”tidak”-an manusia akan melampaui ke-”iya”-an. Di sinilah keniscayaan bah- wa sinar yang menyebar ke seluruh dunia meredup dan kembali gelap.

“Tidak” adalah proses, ia berjalan dalam perenungan yang tidak bisa ditekan dari unsur manapun kecuali diri dan hakikat menemukan ke-”iya”-an, tetapi sejalan dengan arus globalisasi yang terus tumbuh, mau tidak mau, kata ”tidak” harus ber- adaptasi dengan zaman. Ketika dulu kemajemukan dan akultu- rasi budaya memiliki ruang tempat perpindahan manusia adalah batasan konsepnya—pergerakan manusia sama dengan pergerak- an budaya, tentu akulturasi yang demikian tersebut menjadi lebih mudah terukur untuk memberi waktu dalam menentukan ”iya” atau tetap bertahan pada ke-”tidak”-an. Akan tetapi, saat ini gerak manusia (dalam globalisasi) bukan lagi menjadi patokan sebuah pergerakan (berpindahnya) suatu budaya. Hanya hitungan detik, menit, jam, maupun hari, meskipun tanpa pergerakan (perpindah- an) manusia, perpindahan budaya tetap berjalan dan semuanya mampu masuk, terserap dengan cepat, dan saling mempengaruhi (menguasai). Belum berkesempatan kami beradaptasi dengan hal yang baru masuk, elemen-elemen yang lain dengan segala infor- masi dan hegemoninya sudah muncul membombadir seakan-akan iya adalah mereka. Gagap, ”tidak” untuk menemukan ”iya”,

sejenak bias dan limbung menjadi simpang-siur. Belum lagi ketika ”tidak” tak terpahamkan, menjadikan ”tidak” itu seakan- akan adalah kata yang mewakili sebuah bentuk ketidakkom- promian yang mutlak. Padahal ”tidak” menurut kami adalah: (a) “tidak”, jika itu tidak seimbang, (b) “tidak”, kalau tidak bermanfaat untuk kemasylahatan, (c) “tidak”, jika itu merusak, (d) “tidak”, kalau tidak ingat, dan (e) “tidak”, kalau tidak ada nilai.

Ledo, Tara, Rai, Da’a, dsb., secara bahasa masih dan akan tetap berarti tidak, tetapi “tidak”-nya saat ini beralih menjadi jeritan. Jeritan itu, meski tetap menggema di pedalaman, di lem- bah, maupun di pesisir suku bangsa kami, tertatih beradaptasi ketika digunakan untuk mengekspresikan tradisi dan kearifan lokal yang berbenturan dengan segala bentuk tatanan, yang katanya, adalah otonom, tetapi lambat laun menggerus lahan kehidupan yang merusak alam kami, mengeringkan mata air kami, menghabiskan mata pencaharian kami, dan memberi peluang nyata pada mereka untuk memberi iming-iming pada anak cucu kami atas nama moderenitas sehingga kami kehilangan generasi yang lebih memilih ruang sepakat secara instan ketimbang menjadi penerus seperti kami yang selalu berupaya menyentuh ke-”tidak”- an kami yang bukan apa-apa, kecuali ”iya” adalah milik-Nya.

“Tidaaaaaaaaaaak...!” Ledo, Rai, Da’a, Tara, dsb. akan terus memiliki arti secara bahasa yang adalah tidak. Kesemuanya me- rupakan kesinambungan unsur satu dengan yang lainnya me- wujud dalam budaya yang akan terus bertumbuh. Berbudaya, merujuk pada berbahasa akan berkaitan dengan pemilihan jenis kata, dan ”tidak” sudah menjadi identitas jelas, memberi spirit, dan harus terus dipilih sebagaimana fungsinya berkomunikasi dengan sosial masyarakat yang lain sesuai dengan perjalanan waktu dan kondisi. Hal ini diperkuat dengan cara pengungkapan yang menggambarkan nilai-nilai. Di sinilah ”tidak” mesti kembali sebagai perannya untuk terus menjadi penyeimbang berlang- sungnya dialog antara diri kami, alam, dan Tuhan. Akankah waktu dan elemen-elemen yang ada dalam kancah globalisasi

mampu memberikan ruang untuk eksitensi dari ke-”tidak”-an tersebut? ”Tidak” untuk tidak, dan ”tidak” hanya kepada-Nyalah seluruh ke-”tidak”-an menjadi niscaya.

****

Suatu pagi terperangah saya karena sebuah pesan WA. Ter- pampang dalam pesan itu baliho besar berisi foto gubernur dan wakil gubernur dengan disertai tulisan ucapan selamat datang. Yang mencengangkan, ucapan itu disampaikan hanya dalam dua bahasa: Inggris dan China. Bahkan, ucapan yang dalam bahasa China dituliskan hanya dalam huruf China. Aneh, ini di Indo- nesia, tapi tanpa bahasa Indonesia.

Masih setengah kesal, agak siangnya, kelas kepenulisan sengaja saya isi dengan praktik. Selama 2 jam peserta saya bebaskan untuk melakukan pengamatan. Karena pelaksanaan di hotel, saya minta peserta menjadikan hotel sebagai objek. Apa yang akan diamati, sepenuhnya saya bebaskan. Namun, dua peserta saya minta mengamati penggunaan bahasa.

Hasil yang dilaporkan ternyata beragam. Yang tak mengejut- kan justru yang disampaikan oleh dua pengamat penggunaan bahasa. Hasil yang mereka sampaikan setali tiga uang dengan pengamatan yang sebelum-sebelumnya. Intinya, perilaku berbaha- sa di negara ini ironis. Sebagai bangsa yang “dikaruniai” bahasa nasional sendiri, kita justru kurang bisa mensyukuri. Ruang- ruang yang seharusnya diidentiki dengan nilai-nilai nasionalisme dikaburkan dengan kepentingan yang tidak jelas.

Kapan Tak Berbahasa Asing?

Berdasarkan pengamatan dua peserta diklat, dilaporkan adanya ratusan penggunaan kata atau istilah di lingkungan hotel. Berdasarkan tujuan penggunaan, sekitar 73% untuk promosi, 19% pemberian petunjuk, dan 8% untuk penamaan. Berdasarkan

MENGAPA BERBAHASA INDONESIA?

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 94-100)