• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENULIS SASTRA DAN KUIS BERHADIAH

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 141-145)

bisa mengubah dunia. Menurutnya, sastra bisa menjadi jiwa dari sebuah peradaban. Tentulah kata-kata Grass tersebut mendong- krak posisi sastra hingga menjadi sangat prestisius. Tapi, pada sisi lain, fakta menunjukkan pula bahwa karya sastra tidak mudah diterbitkan. Sebagai contoh, adikarya James Joyce, Ulysses, yang berkali-kali ditolak penerbit hingga ditemukan oleh Sylvia Beach, yang mau menerbitkannya dalam bentuk sederhana sebanyak beberapa ratus eksemplar saja. Pun, karya Multatuli, Max Havelaar, yang sulit sekali menemui pembaca karena penerbit enggan mencetaknya.

Sebenarnya masih berderet-deret lagi ironi yang harus dialami penulis sastra dan karyanya. Bayangkan saja, setelah sebuah karya berhasil dicetak dan didistribusikan, tanggapan yang diberikan pasar lebih sering menjauhi harapan. Penulis pun kelimpungan karena tidak memperoleh pemasukan. Tak heran, dalam kongko-kongko di kalangan penulis masih sering ter- dengar kabar tentang sastrawan A yang sedang sakit keras tapi tidak punya dana untuk berobat, atau sastrawan B yang harus berpindah-pindah rumah kontrakan karena harga sewa yang naik tiap tahun, atau sastrawan C yang kesulitan membayar pendidik- an anaknya.

Dalam lanskap kapitalisme, keuntungan yang sebesar-besar- nya memang merupakan tujuan akhir dari sebuah proses pem- buatan dan penjualan suatu komoditi. Jika pun karya sastra bisa disebut sebagai barang komoditi, ia akan bertengger di nomor urut terbawah dalam daftar komoditi yang bisa menghasilkan laba. Sebuah novel, kumpulan cerpen, atau puisi yang mampu membuat dirinya laku separuh saja dari jumlah cetakan pertama, dalam rentang waktu satu tahun, sudah bisa dikatakan sebagai jagoan. Dengan demikian, tidaklah salah jika penerbit menomor- sekiankan karya sastra karena tujuan mereka sudah jelas; mencari keuntungan. Ukuran para kritikus atas suatu karya sastra, semisal dianggap mampu mengubah dunia, berestetika tinggi, berkarak- ter yahud, dan lain sebagainya tidak akan pernah menjadi per- timbangan penting para penerbit.

Ikut Kuis

Lantas, kalau situasinya seperti itu, haruskah seorang pe- nulis berhenti memproduksi karya sastra? Jika hal tersebut di- tanyakan kepada saya, jawabannya adalah tidak. Bagi saya, sastra tetap harus ditulis dalam kondisi dan situasi apapun karena merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban saya kepada masyarakat. Hanya lewat sastra, saya mampu mewakili zaman (saya) untuk berbicara tentang apa yang tengah terjadi. Ruang dan kesempatan yang belum menguntungkan bukanlah peng- halang untuk terus menulis karya sastra.

Dalam kondisi seperti ini, penulis tidak bisa begitu saja me- nyalahkan penerbit. Sebagai suatu bentuk usaha, mereka sudah pasti selalu memprioritaskan buku-buku yang mampu memberi keuntungan. Pun, tidak bisa pula mencaci pembaca dengan ber- kata bahwa mereka hanyalah sekelompok pembaca malas karena enggan menyentuh karya sastra. Untuk menyiasatinya, penulis sastra dituntut lebih kreatif lagi dalam membuat terobosan atau menciptakan celah agar bisa terus berkaya, sekaligus membiayai hidup. Imajinasi tidak hanya dibutuhkan saat menulis, melainkan juga saat kepepet: ketika menghadapi kenyataan bahwa profesi yang digeluti ternyata tidak mampu menghidupi.

Seno Gumira Ajidarma, misalnya, selain dikenal sebagai pe- nulis sastra juga sebagai wartawan dan dosen. Linda Cristanty pun menempuh jalur serupa, menjadi penulis sekaligus warta- wan. Sementara Kris Budiman, setelah novelnya yang berjudul Lumbini terbit, lebih menggiati profesi sebagai fotografer candi, sembari menjadi kurator lukisan dan pengkaji sastra. Ragam profesi tersebut merupakan contoh terobosan yang dilakukan oleh sejumlah penulis sastra demi bertahan hidup, terutama ketika penjualan karya mereka tidak menggembirakan.

Menjadi editor, penulis skenario, pembicara dalam pelatihan menulis, hingga membuka usaha juga merupakan profesi-profesi sampingan yang seringkali dipilih, selain pekerjaan pokok se- bagai penulis sastra. Toh, dengan beragam profesi tersebut, karya

mereka tetap oke-oke saja—walaupun ada pula yang dibuat lupa menulis oleh kesibukan pekerjaan sampingannya.

Saya sendiri memilih rajin mengikuti kuis berhadiah, kuis teka-teki silang, undian produk, atau lomba resep masakan seba- gai salah satu terobosan. Semisal, sebuah produk minuman meng- adakan kuis seputar produknya, maka saya akan mengikutinya. Walaupun hanya mendapatkan berkotak-kotak kopi, misalnya— bukan uang—jika memenangkan kuis itu, setidaknya saya bisa sedikit menghemat atau mengalihkan uang “beli kopi” untuk kepentingan lain. Contoh lain, saya juga mengikuti lomba me- nulis resep berhadiah panci. Bukankah lumayan mendapat panci gratis tanpa membeli?

Saya memilih terobosan tersebut karena tidak terlalu me- makan waktu, meskipun terkesan “untung-untungan”—serupa pula dengan kesempatan sebuah media memuat kiriman cerpen saya. Dengan begitu, sebagian besar waktu saya pun bisa di- gunakan untuk membaca, melakukan riset, dan menulis karya sastra. Saat-saat mengembirakan bagi saya bukanlah pada waktu menerima laporan penjualan dari penerbit—yang umumnya berisi sederet angka dengan nol yang pelit—tetapi ketika tahu telah beruntung memenangkan sebuah kuis atau undian. Bukan- kah menarik menjadi penulis sastra yang rajin ikut kuis?

Semoga terobosan saya bisa menjadi inspirasi bagi penulis lain. Sekarang, sembari menunggu karya saya meledak di pasar- an, saya akan menjawab sebuah kuis berhadiah telepon saku tercanggih. Lumayan kalau beruntung mendapatkannya, saya bisa menjualnya kembali dan uangnya untuk menambah dana belanja bulanan.

****

Tulisan ini pernah dimuat di Harian Kompas, Jateng, DIY, 25 Oktober 2010.

Iklim dan geliat sastra di beberapa daerah menunjukkan kondisi yang kondusif dan di beberapa daerah menunjukan arah sebaliknya. Padang, Yogyakarta, Makasar, Jakarta, Bandung, dan kota lainnya menunjukan bagaimana kehidupan bersastra itu tumbuh. Generasi demi generasi bermunculan sekali pun terjadi berbagai perubahan kondisi sosial. Sementara, di tempat lain ada yang tumbuh tetapi setelah itu hilang. Apa yang berbeda?

Gampang saja untuk menandakan iklim dan geliat bersastra di suatu daerah itu sangat kondusif. Pertama, banyaknya bahan bacaan yang tersebar, baik di perpustakaan, perguruan tinggi, toko buku, dan tempat-tempat bacaan lainnya yang menandakan minat baca di daerah itu tinggi. Kedua, sering berlangsung acara- acara diskusi sastra baik yang diadakan oleh perguruan tinggi, instansi pemerintah, toko buku, atau lembaga sastra lainnya. Ketiga, munculnya karya-karya penulis yang tersebar di berba- gai media massa atau dalam bentuk penerbitan buku. Keempat, munculnya komunitas-komunitas sastra dengan berbagai agenda kegiatan seperti sayembara, pelatihan menulis, dan pertunjukan teater.

Keberlangsungan keempat hal tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari berbagai faktor, satu di antaranya adalah ke- beradaan agen-agen sastra (penyair, sastrawan, pelaku/pekerja sastra) yang menumbuhkembangkan iklim tersebut. Sejauh mana agen-agen tersebut melakukan praktik dengan modal ter- tentu dalam ranah sastranya? Praktik tidak terjadi begitu saja. Ada struktur tertentu yang terbentuk, kadang dengan ketidak-

IKLIM DAN GELIAT SASTRA DI JAMBI

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 141-145)