• Tidak ada hasil yang ditemukan

HILANG JATIDIRI DEMI INVESTASI Dindin Samsudin

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 40-45)

kah strategis yang dilakukan pemerintah dalam memartabatkan bahasa Indonesia.

Sayangnya, semangat pemartabatan bahasa Indonesia tadi justru musnah ketika Presiden Jokowi meminta agar syarat memiliki kemampuan berbahasa Indonesia untuk pekerja asing dihapus dengan dalih peningkatan iklim investasi di Indonesia. Langkah Presiden Jokowi tadi jelas merupakan sebuah blunder dari gerakan revolusi mental yang dicanangkannya. Sejalan dengan gerakan revolusi mental, idealnya Jokowi mencanangkan gerakan revolusi mental bidang kebahasaan untuk memartabat- kan bahasa Indonesia. Hal tersebut perlu dilakukan karena tidak dapat dimungkiri bahwa hingga 87 tahun ini kedudukan bahasa Indonesia tidak semakin kuat, malah semakin memprihatinkan. Banyaknya pemakaian istilah, papan nama, dan papan petunjuk di ruang publik dengan mengutamakan bahasa asing adalah bukti nyata.

Belum ada penelitian dan data akurat yang mengungkapkan bahwa syarat memiliki kemampuan berbahasa Indonesia bagi TKA yang akan bekerja di Indonesia adalah penghambat inves- tasi di Indonesia. Selain itu, investasi di Indonesia pun belum tentu terdongkrak dengan penghapusan syarat kemampuan ber- bahasa Indonesia untuk pekerja asing. Hal yang pasti justru bangsa ini sudah kehilangan jatidiri. Persyaratan memiliki ke- mampuan berbahasa Indonesia untuk pekerja asing yang datang ke Indonesia adalah upaya menunjukkan jatidiri bangsa Indo- nesia karena bahasa adalah jatidiri bangsa. Ketika bangsa kita yang akan bekerja di negara asing dituntut untuk menguasai ba- hasa mereka, mengapa kita tidak percaya diri untuk melakukan hal yang sama ketika orang asing akan bekerja di negara kita? Kita harus tunjukkan pada dunia bahwa kita adalah bangsa yang besar, punya harga diri, dan punya jatidiri.

Di sisi lain, langkah Jokowi ini justru dapat memicu per- masalahan lain. Peniadaan keharusan penguasaan bahasa Indo- nesia bagi pekerja asing dapat mempermudah masuknya TKA

ke Indonesia. Dampaknya akan mempersempit peluang tenaga kerja lokal untuk mendapatkan pekerjaan sehingga semakin ber- tambahnya pengangguran. Secara praktis, kita yang berhubung- an secara langsung dengan TKA—yang berprofesi sebagai dokter atau perawat, misalnya—akan kesulitan melakukan komunikasi yang benar sehingga dapat saja mendapat pelayanan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan dan berpeluang besar menimbul- kan malapraktik. Belum lagi dengan profesi TKA lain seperti guru, dosen, dan pengacara tentu akan menimbulkan masalah yang sama. Rasanya, apabila masyarakat kita yang menyesuaikan diri dengan harus menguasai bahasa dari TKA yang bersangkut- an tentu akan semakin kehilangan harga dirilah kita.

Sebagai bangsa yang besar, kita tentu berharap bahasa Indo- nesia dapat menjadi bahasa resmi internasional. Awal Desember 2015, ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 dimulai, kemungkinan besar warga ASEAN akan berduyun-duyun be- kerja, belajar, dan bekerja sama di Indonesia. Permen Nakertrans No. 12/2013 sebenarnya merupakan modal besar untuk menuju harapan yang membanggakan tadi. Namun, bagaimana bisa bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional jika Presiden RI sendiri menghapuskan syarat penguasaan bahasa Indonesia bagi para TKA yang akan bekerja di Indonesia?

Penghapusan persyaratan kemampuan bahasa Indonesia bagi TKA oleh Presiden Jokowi jelas merupakan langkah mundur bagi Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang banyak dipelajari oleh warga ASEAN, Eropa, Australia, dan Amerika Serikat. Dalam Seminar Internasional Politik Bahasa di Univer- sitas Muhammadiyah Malang, terungkap bahwa bahasa nasional kita sudah dipelajari oleh 96 negara di dunia. Kepala Badan Pe- ngembangan dan Pembinaan Bahasa pun dalam suatu kesempat- an pernah mengemukakan bahwa hingga kini sudah ada 45 tem- pat pembelajaran bahasa Indonesia di luar negeri. Berdasarkan data tersebut, rasanya sangat ironis ketika bangsa lain sudah mulai “menghargai” bahasa Indonesia, justru bahasa Indonesia

tak dihargai oleh bangsanya sendiri. Padahal, jika melihat data tadi, rasanya bahasa Indonesia sangat memungkinkan untuk menjadi bahasa resmi internasional ke-7 setelah bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Mandarin, bahasa Spanyol, bahasa Rusia, dan bahasa Perancis.

Ingat, bahasa Indonesia sudah diperjuangkan dengan susah payah oleh para pendahulu kita sebagai media perjuangan untuk mempersatukan bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdeka- an. Kebijakan pemerintah yang menghilangkan syarat penguasa- an bahasa Indonesia bagi TKA dalam rangka mempermudah masuknya para investor sudah melupakan perjuangan anak bang- sa di masa lalu. Selain itu, kebijakan tersebut sudah bertentangan dengan UU No. 24/2009. Dalam Pasal 33 tertulis (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi di lingkung- an kerja pemerintah dan swasta. (2) Pegawai di lingkungan kerja lembaga pemerintah dan swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum mampu berbahasa Indonesia wajib mengikuti atau diikutsertakan dalam pembelajaran untuk meraih kemampu- an berbahasa Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus meng- kaji ulang penerapan Permenaker No. 16/2015 sebagai pengganti Permen Nakertrans No. 12/2013 karena selain sudah melupakan jasa perjuangan anak bangsa, juga jelas-jelas sudah melanggar undang-undang.

Kita tahu, Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah. Jika pengelolaan terhadap sumber daya alam (SDA) dilakukan secara benar, sesungguhnya Indonesia tidak perlu ter- lalu bergantung kepada investor asing yang kerap malah menge- ruk SDA Indonesia. Jika negara-negara ASEAN dan lainnya, pun para investor, benar-benar tertarik berinvestasi di Indonesia, penulis yakin apa pun persyaratannya pasti akan mereka penuhi. Jadi, penghapusan syarat mampu berbahasa Indonesia bagi TKA bukan solusi yang cerdas untuk mendongkrak investasi.

Sekali lagi, bahasa Indonesia adalah jatidiri bangsa Indo- nesia. Sudah seyogianya semua elemen bangsa mendukung ba-

hasa Indonesia berdaulat di negaranya sendiri dan tidak mem- biarkan bangsa ini terus diinjak-injak bangsa lain. Selain pengam- bilan langkah-langkah pembinaan, langkah-langkah pengem- bangan dan pelindungan bahasa serta pengembangan strategi dan diplomasi kebahasaan memang sangat penting dilakukan untuk memajukan bahasa Indonesia dan untuk membangkitkan kembali semangat Sumpah Pemuda 1928. Keputusan Presiden Jokowi jelas sudah meruntuhkan muruah atau martabat bangsa dan negara karena sudah mengorbankan jatidiri demi investasi. Kita tentu tidak ingin kehilangan jatidiri hanya demi investasi.

****

Tulisan ini pernah dimuat dalam “Opini”, Harian Galamedia, Bandung, 4 November 2015.

Tak Mampu Merasa

Bangsa Indonesia, tidak hanya sekadar merasa tak mampu, tetapi juga tak mampu merasa. Perhatikanlah tindakan kekerasan dan perlakuan kasar dalan perilaku bangsa ini. Baik dari kalangan rakyat jelata, juga para pejabat yang mestinya memberi teladan yang baik dan lebih-lebih tindakan para penegak hukum yang lebih menakutkan daripada yang ditakuti.

Memang banyak hal yang bisa berkelindan dengan perangai tercela ini. Akan tetapi, hanya sedikit barangkali orang yang me- nyadari bahwa hal ini sebenarnya berpangkal pada bahasa yang kacau dan membingungkan. Bahasa adalah pendukung budaya. Bahasalah yang menyampaikan pesan, arti, makna, dan nilai budaya. Maka, bahasa yang kacau dan membingungkan, akan menghasilkan pikiran yang kusut, sebagaimana minyak pelumas (bahasa) menentukan kelancaran jalannya mesin (pikiran). Pikiran yang tidak jernih inilah yang mendorong tampilnya perilaku budaya yang buruk tadi.

Perhatikanlah nasib bahasa Indonesia. Tiap hari, tiap jam, bahkan tiap menit, bahasa ini menampung bahasa asing (Inggris) tanpa perhitungan. Apakah kata-kata bahasa asing itu, memang sangat diperlukan, dalam arti mempertajam pikiran, memper- halus rasa, serta memandu budi pekerti. Lihatlah beberapa con- toh: illegal logging, klarifikasi, provokator, dead lock, drop out, komitmen, kontribusi, kondusif, manuver, opsi, back up, konfir- masi. Deretan kata ini dengan mudah dapat diganti dengan: balak liar, penjelasan, perusuh, kandas, putus sekolah, kesungguhan, membantu, aman, mengancam, pilihan, mendukung, dihubungi (beri tahu) yang semuanya dengan mudah dapat dipahami oleh khalayak.

SAMPAH BAHASA

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 40-45)