• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHASA DAN PIKIR(AN) MANUSIA Agus Sri Danardana

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 36-40)

warna: mabiru (hitam dan warna gelap lain), melangit (putih dan warna cerah lain), meramar (kelompok warna merah), dan malatuy (kuning, hijau muda, dan coklat muda). Padahal, sebagai ke- nyataan (realitas), jenis warna di dunia ini sama.

Begitu pun tentang salju. Pada umumnya, masyarakat dunia memiliki kata yang sama untuk menggambarkan salju: yang baru saja turun dari langit, yang sudah mengeras, atau yang sudah meleleh, semua tetap dinamakan salju. Berbeda halnya dengan orang Eskimo. Mereka memberi label yang berbeda pada setiap objek salju tersebut. Contoh yang lain, orang Hunaco (Filipina) memiliki banyak nama untuk berbagai jenis padi (rice); orang Arab memiliki beberapa nama untuk unta (camels). Terminologi/ istilah yang beragam tersebut menyebabkan penutur bahasa Eskimo, Hunaco, dan Arab mempersepsikannya secara berbeda dengan penutur bahasa yang hanya memiliki satu kata untuk salju, padi, dan unta.

Perbedaan bahasa sering mengakibatkan perbedaan pan- dangan tentang dunia. Dalam banyak kasus, perbedaan itu juga sering memunculkan “olok-olok” bahasa. Masalah kata sapaan, kala (tenses), dan salam (greeting) dalam bahasa Indonesia, misal- nya, dituduh sebagai salah satu penyebab melemahnya mentali- tas bangsa.

Oleh banyak orang, kata hubungan kekerabatan yang di- gunakan untuk menyapa (seperti Bapak, Ibu, dan Saudara) di- curigai telah menyuburkan sifat familiar dan nepotis(me) bangsa Indonesia. Pun bahasa Indonesia yang memang tidak mengenal penanda kala (tenses), seperti bahasa Inggris, dianggap telah mengakibatkan penuturnya tidak disiplin dalam masalah waktu. Sementara itu, salam: Apa kabar? juga dianggap tidak mencermin- kan semangat kerja pemakainya. Hal itu, katanya, berbeda dengan perilaku bangsa yang menggunakan salam: How do you do! Me- nurut mereka, kata do memiliki sugesti untuk berbuat sesuatu, sedangkan apa kabar memiliki sugesti untuk “memburu” berita. Sebagai akibatnya, bangsa yang menggunakan How do you do!

terbiasa bekerja dan bekerja, sedangkan bangsa yang mengguna- kan Apa kabar? terbiasa ngobrol. Betulkah demikian? Wallahualam bissawab.

Yang pasti, Koentjaraningrat (1974) telah melakukan klasi- fikasi atas sikap budaya (yang dapat dikaitakan dengan sikap bahasa) bangsa Indonesia. Menurutnya, ada tiga sikap budaya yang positif (harus ditumbuhkan) dan enam sikap budaya yang negatif (harus ditinggalkan). Tiga sikap budaya positif itu adalah (1) bangga pada produk Indonsia, (2) setia pada prinsip hidup bangsa Indonesia, dan (3) sadar akan norma moral, hukum, dan (ke)disiplin(an). Ketiga sikap budaya positif itu harus ditumbuh- kan karena akan membawa serta pada kebanggaan terhadap baha- sa Indonesia dan bahasa etnis Nusantara; pada kesetiaan terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional; serta pada kesadaran akan norma bahasa yang adab.

Sementara itu, enam sikap budaya negatif yang harus di- tinggalkan adalah (1) sikap budaya tuna-harga-diri terhadap bangsa asing, yang akan menulari sikap terhadap bahasa Indo- nesia sebagai bahasa yang belum bermartabat; (2) sikap budaya meremehkan mutu, yang akan menumbuhkan sikap kepuasan terhadap bahasa yang asal jadi; (3) sikap budaya suka berlaku latah, yang akan menumbuhkan sikap bahasa untuk membenar- kan salah kaprah dalam pemakaian bahasa; (4) sikap budaya suka menerabas (jalan pintas), yang akan menumbuhkan anggapan bahwa kemahiran berbahasa dapat dicapai tanpa bertekun; (5) sikap budaya menjauhi disiplin, yang akan menumbuhkan pen- dirian bahwa kaidah bahasa tidak perlu dipatuhi karena bahasa itu untuk manusia, bukan sebaliknya manusia untuk bahasa; serta (6) sikap budaya enggan bertanggung jawab, yang akan menum- buhkan pikiran bahwa urusan bahasa bukan tanggung jawab masyarakat, melainkan tanggung jawab ahli bahasa.

Nah, senyatanyalah bahwa bahasa memiliki peran besar sebagai penentu kebudayaan. Setiap bahasa telah “mendirikan” satu dunia tersendiri bagi masyarakat penuturnya. Bahasa tidak

hanya berperan sebagai alat dalam mekanisme berlangsungnya komunikasi, tetapi juga sebagai pedoman dalam pemahaman ke- nyataan sosial. Itulah sebabnya, seseorang akan berbicara (meng- ungkapkan pendapatnya) dengan cara/bahasa yang berbeda karena berpikir dengan cara yang berbeda pula.

Tiga hari lagi, tepatnya 9 Juli 2014, bangsa ini akan menentu- kan pasangan yang akan terpilih sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia: Prabowo-Hatta atau Jokowi-Kalla. Kampanye dan debat (oleh dan antarkandidat) pun telah tergelar. Mudah- mudahan bangsa Indonesia akan menjadikan Gurindam 12, Pasal 5, Ayat 1—jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat kepada budi dan bahasa—sebagai salah satu penentu pilihan di TPS nanti. “Bahasa menunjukkan bangsa,” begitu pula bunyi pepatah. Salam.

Kami Putra dan Putri Indonesia Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia. Ya, para pembaca pasti ingat kalimat tadi me- rupakan petikan ikrar terakhir dari tekad yang disuarakan oleh putra dan putri Indonesia melalui sebuah sumpah yang dikenal dengan “Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober 1928. Peristiwa ter- sebut adalah sebuah peristiwa monumental yang membangkit- kan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia meraih kemer- dekaan.

Sudah 87 tahun putra dan putri Indonesia membulatkan tekad dan bersumpah untuk menjunjung bahasa Indonesia se- bagai bahasa persatuan. “Junjung” memiliki pengertian 1 ‘mem- bawa di atas kepala’; 2 ‘menurut’, ‘menaati’; ‘menghormati’ (Ka- mus Besar Bahasa Indonesia). Berdasarkan pengertian tadi, “menjunjung bahasa persatuan” dapat dimaknakan ‘menghormati bahasa persatuan, bahasa Indonesia, dengan cara menempatkan di atas bahasa lain’. Dengan perkataan lain, sejak 87 tahun yang lalu pendahulu bangsa ini sudah memiliki tekad untuk memarta- batkan bahasa Indonesia sebagai jatidiri bangsa.

Langkah nyata pemertabatan bahasa Indonesia yang dilaku- kan pemerintah sebenarnya mulai tampak ketika diterbitkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 (UU No. 24/2009) tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Tidak hanya itu, pemerintah juga mem- berlakukan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No 12/2013 (Permen Nakertrans No. 12/2013) mengenai syarat memiliki kemampuan berbahasa Indonesia untuktenaga kerja asing (TKA). Kedua aturan tersebut sebenarnya merupakan lang-

HILANG JATIDIRI DEMI INVESTASI

Baca selengkapnya

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 36-40)