• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELIGIOSITAS ROSMIATY SHAARI DAN D KEMALAWAT

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 192-200)

atau permohonan agar mendapat perlindungan dan pertolongan, doa keselamatan atau jampi-jampi penolak bala. Ekspresi itulah yang dalam bahasa teologis disebut mysterium tremendum et fascinans, yaitu adanya misteri atau rahasia yang menakjubkan— menakutkan—mempesona—dan seketika menariknya sekaligus pada kesadaran transendensi. Tuhan atau Sang Penguasa jagat raya lalu menjadi objek yang diharapkan bersedia turun tangan mengatasi semuanya, melakukan pertolongan atau menjauhkan segala mara bencana.

Dalam suasana seperti itu, bahasa terbaik manusia, yang indah dan mempesona, yang mengandung bujuk-rayu atau yang menyimpan daya magis, akan menjadi pilihan. Puisi dianggap paling mewakili ekspresi itu. Maka, bahasa puisi kerap meman- faatkan kekuatan diksi (gaya bahasa), menciptakan kesamaan bunyi atau rima, memainkan perulangan (repetisi), dan belakang- an membangun metafora atau personifikasi dan majas lain untuk menghidupkan asosiasi pembaca atau pendengar. Dari sanalah puisi, seperti yang diyakini oleh kaum romantik, dianggap menyampaikan suara kebenaran yang lahir dari kedalaman hati, dari qalbu, dari sifat-sifat Tuhan. Hati sebagai sumber yang meng- gerakkan suara kebenaran dan kejujuran. Konon, manusia hidup lantaran roh bertahta dalam hati. Roh itu pula yang menggerak- kan hati. Adapun nurani (Arab: nuroniy) bermakna bersifat ke- cahayaan. Jadi, hati nurani sesungguhnya metafora untuk me- nunjukkan, bahwa di sana ada cahaya, dan cahaya itu represen- tasi Tuhan.

Oleh karena itu, pernyataan kaum romantik, bahwa “Tuhan bertahta jauh dalam batin-jiwaku yang megah,” tidak lain, merupakan bentuk hiperbolisme untuk menegaskan bahwa suara hati nurani adalah suara Tuhan, dan puisi sebagai ekspresi kata hati adalah suara kejujuran yang menyampaikan kebenaran, maka di dalam- nya memancar suara Tuhan. Itulah keyakinan kaum romantik yang menempatkan kata atau suara hati sebagai representasi Tuhan. Maka pernyataan kaum romantik: “Aku laksana Tuhan

dalam pikiranku yang terdalam,” atau “Tuhan bertahta jauh dalam batin-jiwaku yang megah” dimaksudkan sebagai aku sang pencipta kebenaran menurut pikiranku, sebab suaraku adalah kejujuransebagai representasi suara Tuhan.

***

Begitulah, membaca puisi-puisi Rosmiaty Shaari, Melaka, sebagaimana yang terhimpun dalam antologi Daun nan Bercinta (Kuala Lumpur: Institut Terjemahan dan Buku Malaysia [ITBM] dan Pena, 2016, xli + 90 halaman) dan puisi-puisi D. Kemalawati, Bayang Ibu (Banda Aceh: Lapena, 2016, xix + 78 halaman), dalam sejumlah besar puisinya seperti memancarkan suara qalbu, suara kebenaran! Jika demikian, apakah kedua penyair itu meluahkan suara qalbu, suara kebenarannya sebagaimana yang dilakukan Jalaluddin Rumi atau para penyair sufi? Jika tidak, bagaimana pula kedua penyair dari dua tradisi yang berbeda—Melayu— Melaka dan Aceh—memperlihatkan adanya kesamaan ketika keduanya berbicara tentang sesuatu yang berkaitan dengan Tuhan? Bagaimana pula kedua penyair itu, dengan caranya masing-masing, mengungkapkan ketakjuban dan keterpesonaan- nya ketika sebuah peristiwa diyakini sebagai bagian dari perkara imanensi. Oleh karena itu, di dalamnya ada persoalan transen- densi. Jika begitu, di mana letak persamaan dan perbedaannya? Membaca puisi-puisi Rosmiaty Shaari dan D. Kemalawati, dan coba membandingkannya, saya seperti dihadapkan pada dua dunia yang berbeda, meski di sana-sini, dapat pula dijumpai adanya sejumlah kesamaan. Adanya kesamaan itulah yang mem- bawa kita pada satu kesimpulan, bahwa perkara religiusitas da- pat mempertemukan kedua penyair itu pada satu sikap, yaitu cara ‘memandang’ Tuhan. Atau, menempatkan Tuhan sebagai objek yang entah berada di mana, tetapi keduanya merasa perlu untuk selalu menyapa dan mengingat-Nya, di manapun dan dalam situasi apapun. Atau lagi, keduanya merasa perlu terus memelihara kesadarannya sebagai wujud rasa syukur atas nik- mat yang diterimanya. Lalu, puisi menjadi pilihan.

Dalam kajian sastra bandingan (comparative literature) me- mang dimungkinkan membandingkan satu karya sastra dengan karya sastra lain, atau juga dengan karya seni lain. Dan selalu, di sana, dalam kajian sastra bandingan itu, kita akan berjumpa dengan persamaan ketika karya sastra itu mengungkapkan problem karakteristik manusia: cinta, rindu, dendam, dosa, dan seterusnya yang semuanya berlaku secara universal. Pada sisi yang lain, kita juga akan berjumpa dengan perbedaan ketika persoalan kemanusiaan itu menyentuh warna lokal yang me- nyangkut tradisi masyarakat dan budaya setempat. Selalu ada sesuatu yang khas, yang unik dalam setiap kebudayaan masya- rakat, yang tidak selalu terdapat pada kebudayaan masyarakat lain. Di situlah, kajian sastra bandingan diperlukan sebagai salah satu upaya memahami kebudayaan masyarakat lain. Dengan begitu, karya sastra sebenarnya dapat digunakan sebagai pintu masuk memahami kebudayaan sebuah bangsa.

Dalam usaha membandingkan sejumlah puisi kedua penyair Rosmiaty Shaari dan D. Kemalawati itu, tentu saja tidak semua puisi yang terhimpun dalam antologi itu perlu dikaji seluruhnya. Cukuplah beberapa puisi yang representatif memperlihatkan adanya persamaan tematik. Meskipun demikian, gambaran umum tentang kedua antologi puisi itu, perlu kiranya terlebih dahulu dipaparkan serba sedikit.

***

Antologi puisi Daun nan Bercinta (Kuala Lumpur: Institut Terjemahan dan Buku Malaysia [ITBM] dan Pena, 2016, xli + 90 halaman) karya Rosmiaty Shaari, berisi 75 puisi yang secara tematik menunjukkan rasa syukurnya kepada Allah Swt. Kata Pengantar Arbak Othman (xi—xliii) yang luas dan panjang lebar itu, jelas hendak menegaskan posisi penyair dalam perkara hubungan aku— Tuhan, dan puisi-puisinya seperti merepresentasikan hubungan vertikal, makhluk manusia dan Sang Pencipta.

Dikatakan Arbak Othman, “Semua ini menggambarkan dengan jelas konsep hubungan manusia dengan Tuhan yang melalui ruang

diri, menjadi objek rohaniah yang akur dengan Perintah Ilahi: bermuhasabah diri, taat kepada ketetapan, berharap kepada yang memiliki Kuasa Agung, bersikap tawaduk dan lemah lembut kepada Pencipta Yang Maha Esa.” (hlm. xliii). Meskipun kita (: pembaca) boleh tidak bersetuju atas pernyataan itu, setidak-tidaknya, Kata Peng- antar tersebut dapat digunakan sebagai bahan awal untuk me- lengkapi pemahaman kita atas puisi-puisi Rosmiaty Shaari secara umum.

Dalam perkara tafsir atas puisi, pengalaman dan pemahaman kita sering kali membawa kita punya pandangan dan makna lain. Oleh karena itu, tidak terlalu bermasalah apabila penafsiran dan pemaknaan kita atas sebuah puisi tidak sejalan dengan pan- dangan pembaca lain. Bagaimanapun juga, sebuah teks puisi tidaklah terkungkung pada makna tekstual. Selalu ia dapat dikaitkan dengan konteks sosio-budaya yang melahirkannya atau yang menjadi harapan ideologis penyairnya. Lalu, berdasar- kan kebebasan menafsir, kita diberi peluang untuk coba menukik lebih dalam untuk mengungkapkan kekayaan terpendam yang tersimpan pada teks puisi yang bersangkutan. Bukankah tafsir pembaca itu juga sangat ditentukan oleh pengalaman masing- masing pembaca dalam memahami dan memaknai sebuah teks? Sementara itu, antologi puisi D Kemalawati, Bayang Ibu (Banda Aceh: Lapena, 2016, xix + 78 halaman) berisi 61 puisi dengan sebuah pengantar yang berupa cerpen berjudul “Bayang Ibu (Di Depan Bayang Masa Lalu).” Tentu penyair punya maksud lain atas pemuatan cerpen itu. Tidak serta-merta penyair menem- patkan cerpen sebagai semacam pengantar antologi puisinya, tanpa tujuan. Niscaya ada pesan tertentu yang hendak disam- paikannya.

Dan benar! Cerpen itu laksana pintu masuk yang menyimpan trauma sejarah. Kemalawati tak menyinggung keagungan masa lalu kesultanan Aceh yang reputasional. Tak juga menyentuh heroisme secara luas perlawanan masyarakat Aceh pada kolo- nialisme Belanda, meski di sana ada puisi “Tentang Teuku Umar”

dan puisi yang membandingkan ketokohan “Kartini dan Cut Nya Dien.” Secara keseluruhan Kemalawati coba mewartakan tragedi yang menimpa masyarakat di sekeliling sebagai bagian dari pengalaman individualnya. Namun, belum usai dengan tra- gedi itu, yang dikatakannya: “Betapa celakanya kampung ini, keluh anak-anak muda yang mengeram bara” tiba-tiba alam memperingat- kan dengan cara yang lain. Tsunami mahadahsyat menyisakan mayat-mayat dan duka lara tak terperi!

Begitulah, dunia Aceh adalah kisah masa lalu yang agung dan reputasional, yang heroik dan penuh perlawanan, yang me- ngeram bara dan kecurigaan, dan yang masyarakatnya dengan segala kesabarannya, mengumpulkan kembali puing-puing kehidupan setelah diterjang tsunami!

Antologi puisi D. Kemalawati, Bayang Ibu, sesungguhnya menyimpan peristiwa-peristiwa besar itu. Segalanya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Aceh, dan Kemalawati menyadari tanggung jawab kepenyairannya. Maka, puisi-puisinya menampilkan tema-tema yang beragam: dunia Aceh yang penuh gejolak. Meskipun demikian, dalam kon- teks membandingkan puisi-puisi Rosmiaty Shaari dengan puisi- puisi D. Kemalawati, saya terpaksa lebih memusatkan perhatian pada teks puisi yang secara tematis memperlihatkan adanya sejumlah kesamaan. Maka, tak terhindarkan, saya memilih be- berapa puisi Kemalawati yang senafas dengan puisi-puisi Rosmiaty Shaari: tema-tema religius.

Sedikitnya ada sekitar 10-an puisi Kemalawati yang tampak- nya sengaja mengangkat tema religius. Dengan demikian, usaha membandingkan puisi-puisi Rosmiaty Shaary dan puisi-puisi D. Kemalawati, secara metodologis, tak terkesan dipaksakan.

Mari kita mulai!

***

Kecenderungan yang sangat menonjol dari sejumlah besar puisi-puisi Rosmiaty Shaari adalah hasratnya untuk “menyapa” Tuhan, bersyukur atas nikmat yang dilimpahkan-Nya, dan coba

selalu mengingat, bahwa alam jagat raya dengan segala isinya yang mewarnai kehidupan manusia, tidak lain adalah sarana untuk memuja-Nya. Atau, segala tanda-tanda alam itu, dihayati- nya sebagai hasrat untuk membersihkan diri dari segala dosa. Dalam konteks itu, hubungan manusia dan Tuhan berada secara vertikal sebagai hamba dan Sang Penguasa jagat raya. Ada ke- berjarakan antara aku dan Tuhan, antara subjek—aku yang di- sadarinya berada dalam kuasa objek-Tuhan.

Kita tidak menemukan representasi hubungan aku—Tuhan dalam puisi-puisi Rosmiaty Shaari sebagai aku yang rindu jumpa Dia, Sang Khalik. Atau “aku” yang tiada berdaya atas kuasa- Nya lalu berhasrat lebur dalam pesona-Nya. Dikatakan Rumi, “Ada saat kupunya seribu hasrat. Namun, dalam satu hasratku mengenal-Mu, luruh tanpa sisa semua selainnya.” Jadi, ketika datang hasrat akan pertemuan dengan Tuhan, seketika hasrat itu seperti “menelan” semua hasrat yang lain.1

Bagi Rosmiaty, keberadaan aku duniawi memberi penyadar- an sebagai aku individu, sebagai makhluk-Nya. Dengan demikian, keberjarakan aku-individu dan Tuhan, tidak berada dalam posisi aku rindu Sang Kekasih, sebagaimana dikatakan Amir Hamzah: “Satu kekasihku/Aku manusia/Rindu rasa/Rindu rupa// (“Padamu Jua”). Atau, aku-individu yang tak berdaya dalam pesona-Nya. Jadilah sang aku tidak berada dalam: mangsa aku dalam cakarmu. Juga tidak berada dalam posisi “Tuhan, kita begitu dekat/sebagai apidengan panas/aku panas dalam apimu// (Abdul Hadi W.M.).

Meskipun demikian, sebagai makhluk ciptaan-Nya, manusia tidak dapat melepaskan diri dari pancaran kasih Tuhan. Sebagai manusia yang menyadari segala kelemahan dan kedaifannya, ia berharap juga dapat merengkuh sifat-sifat-Nya atau yang dikatakan Kemalawati: menjadi kekasih-Mu. Perhatikan puisi Rosmiaty Shaari dan D. Kemalawati berikut ini.

ROSMIATY SHAARI

CATATAN PENGHULU HARI

setiap kali menguak pintu hari adalah kebajikan yang kita impi

namun setiap kali kita menutup pintu hari jejak yang ditinggal

sering menangisi

setelah kaki yang melangkah pergi sarat lumpur daki duniawi ... ya ... Rabb

bersihkanlah hati kami agar kami sentiasa dapat membersih lumpur di kaki kami aamiiin....

12 Julai 2012

D KEMALAWATI

TUNTUN AKU YA RABB

Entah sampai hitungan ke berapa kaki ini masih melangkah

di atas taburan bunga atau serpihan kaca Duhai Rabb,

aku mencium wangi-Mu dalam sunyi jalan menuju harap cemasku

akankah kau rangkul tubuhku bila bertemu

Duhai Rabb

izinkan aku menjadi kekasih-Mu tuntun langkahku hingga berhenti dalam pangkuan-Mu

Banda Aceh, 2 April 2014 Tampak dalam kedua puisi itu, kedua penyair merasa diri sebagai makhluk-Nya yang tak ingin salah langkah. Mereka (masih) berkutat dalam hubungan vertikal: aku sebagai hamba- Nya. Maka, Rosmiaty selalu berharap, setiap langkahnya adalah kebenaran sebagaimana yang menjadi ketentuan-Nya. Begitulah, kehidupan keseharian manusia, sebagaimana yang menjadi

harapan aku lirik, seyogianya selalu diikuti dengan refleksi diri, introspeksi, yang dikatakan Kemalawati sebagai: … melangkah/ di atas taburan bunga/atau serpihan kaca/. Lalu, siapakah yang dapat menentukan kebenaran itu, selain Tuhan? Pertanyaan itulah yang membawa aku lirik dalam puisi Rosmiaty kerap disertai dengan kesadaran melakukan introspeksi: bersihkanlah hati kami/agar kami sentiasa dapat/ membersihkan lumpur di kaki kami//.

Namun, bagi Kemalawati, persoalannya tidak berhenti sam- pai di sana. Ada tujuan yang yang lebih subtansial, yaitu: izinkan aku menjadi kekasih-Mu/tuntun langkahku hingga berhenti/ dalam pangkuan-Mu//. Sebenarnya, dalam banyak puisi yang menem- patkan Tuhan sebagai Sang Kekasih, atau aku—engkau sebagai pecinta dan sang kekasih, keberjarakan itu lesap dalam hasrat untuk menyatu. Atau, seperti dikatakan Rumi, … menelan hasrat yang lain. Maka, peliharalah cinta pada Sang Kekasih itu. Sebab, seperti dikatakan Rumi lagi: “Pecinta dan kekasih, tidaklah baru bertemu di akhir perjalanan. Mereka selalu bersama sepanjang perjalanan” (Haidar Bagir, 2015: 215).

Begitulah, spirit kedua puisi itu adalah menempatkan Tuhan sebagai sumber segala kebersihan. Maka, yang perlu dilakukan adalah setiap saat membersihkan segala lumpur yang melekat. Bagaimana mungkin “lumpur’ dapat menjadi bagian dari sumber segala kebersihan? Dengan begitu, izinkan aku menjadi kekasih- Mu/ adalah hasrat aku lirik untuk menjadi pecinta. Nah, tampak di sini, baik Rosmiaty, maupun Kemalawati, sesungguhnya mem- punyai perasaan yang sama dalam memandang Tuhan, yaitu menempatkan diri sebagai “dari mana dan akan ke mana tujuan hidup manusia.” Lebih tegas lagi: dari Tuhan kembali ke Tuhan. Dalam puisi “Jihad Badani” kembali kesadaran diri aku lirik datang ketika realitas kehidupan tidaklah berlangsung baik-baik saja. Manusia kerap dihadapkan pada pilihan-pilihan yang saling bertentangan: kebaikan atau keburukan, kebenaran atau kepalsu- an, kekejaman atau kasih sayang, cinta atau benci, dan seterus- nya. Atas berbagai pilihan itulah manusia berada dalam medan

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 192-200)