• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDEOLOGI PUITIKA POSTMODERNISME Ahmad Supena

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 160-165)

kritik pada pengetahuan universal dan fondasionalisme. Lyotard percaya bahwa kita tidak dapat lagi bicara tentang gagasan pe- nalaran yang menotalisasi karena penalaran itu tidak ada, yang ada adalah pelbagai macam penalaran (Sarup, 2008: 205).

Postmodernisme dibahas dan ditulis di mana-mana di masyarakat Barat kontemporer. Dalam bidang musik dikenal nama-nama seperti Cage, Stockhausen, Briers, Holloway, Tredici, dan Laurie Anderson. Dalam bidang seni rupa dikenal nama-nama Rauschenberg, Baselitz, Mach, Schnabel, Kiefer, juga Warhol, dan Bacon. Dalam bidang fiksi dikenal nama-nama se- perti Vonnegut, Barth, Barthelme, Pynchon, Burrough, Ballard, dan Doctorow. Dalam bidang film dikenal nama-nama Lynch, Greenaway, Jarman. Dalam bidang drama dikenal nama Artaud. Dalam bidang fotografi dikenal nama-nama Sherman, Levine, dan Prince. Dalam bidang arsitektur dikenal nama-nama Jencks, Venturi, dan Bolin. Dalam bidang teori dan kritik sastra dikenal Spanos, Hassan, Sontag, McHale, Hutcheon, Lodge, dan Fiedler. Dalam bidang filsafat dikenal nama-nama Lyotard, Derrida, Baudrillard, Vattimo, dan Rortry. Dalam bidang antropologi dikenal nama-nama seperti Clifford, Tyler, dan Marcus. Dalam bidang sosiologi ada nama Denzim. Serta dalam bidang geografi dikenal nama Soja.

Brian McHale (1987) merupakan salah satu teoritis yang me- ngemukakan pemikirannya mengenai postmodernisme khusus- nya dalam fiksi. Ia memahami post-modernisme bukan sebagai post-modern (setelah modern), melainkan sebagai post-modernism (setelah gerakan modern/modern movement). Awalan post dipandangnya lebih sebagai konsekuensi logis dan historis, bukan posteriority (akhir/keterputusan). Karena itu, postmodernisme merupakan kelanjutan dari modernism dan bukan terjadi setelah modernisme.

Gagasan pergeseran dari dominan epistemologis dalam fiksi modern menuju dominan ontologism dalam fiksi postmodern, seperti dikemukakan oleh Brian McHale dalam Postmodernist

Fiction. “Dominan” merupakan konsep yang dipinjam McHale dari Roman Jakobson, yang didefinisikan sebagai “komponen yang menjadi fokus dalam sebuah karya seni, yang mengatur, mendeterminasi, dan mentransformasi komponen lainnya”. Ber- bagai dominan dapat diamati bergantung pada level, lingkungan, maupun fokus analisis. Dengan kata lain, dominan yang berbeda- beda dapat muncul bergantung dari sudut pandang mana suatu teks akan ditinjau.

McHale juga mengemukakan gagasannya mengenai limit- modernist (modernis-batas). Pergeseran dari epistemologis menuju ontologism tidak berarti bahwa teks postmodernis tidak menimbulkan isu-isu epistemologis. Epistemologis tetap dijadi- kan latar belakang sebagai ganti latar depan ontologis. Teks ber- ada pada titik temuan taramodernis dan postmodernis, dengan pertanyaan yang bergeser dari epistemologis ke ontologism ini- lah yang disebut “modernis-batas”. Gagasan mengenai modernis- batas ini berguna untuk menjelaskan fakta bahwa teks tersebut menunjukkan perhatian ontologism maupun epistemologis: meskipun ketidakpastian ontologism dikedepankan dalam kebanyakan teks tersebut, tetapi sering ada upaya epistemologis untuk menjelaskan ketidakpastian itu.

McHale menyebutkan bahwa dominan pada fiksi-fiksi modern bersifat epistemologis. Artinya, fiksi modernis meng- gunakan strategi yang mengemukakan persoalan-persoalan, “Bagaimana aku menginterpretasi dunia ini? Apakah aku di dalam dunia ini?” Teks modernis mengedepankan tema-tema epistemologis seperti aksesibilitas pengetahuan dan masalah ke- ”takterpaham”-kan. Dalam fiksi postmodernis, dominan tersebut bergeser menjadi ontologis, yaitu dari masalah-masalah cara mengetahui menjadi cara keberadaan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah “Dunia macam apakah ini? Apa yang harus dilakukan di dalamnya? Bagian manakah dari diriku yang ter- hubung dengannya?”. Pertanyaan lain yang menyertai persoalan ontologis ini misalnya, “Apakah yang dimaksud dengan ‘dunia’

itu? Ada dunia macam apa saja, bagaimana dunia-dunia itu terbentuk, dan di manakah perbedaannya? Bagaimana jika dunia-dunia yang beraneka itu dikonfrontasikan, dan batasan setiap dunia dihancurkan?”

Strategi adalah prosedur-prosedur yang diterima oleh pem- bicara dan penerima dalam ucapan performatif. Strategi ber- fungsi untuk mengorganisasikan pengaktualisasian repertoar. Strategi-strategi mengerjakan hal yang demikian itu dalam cara- cara yang beragam, sementara itu, repertoar yang diaktualisasi- kan dengan strategi di atas muncul dari latar belakang (background) tertentu hingga mengedepankan (foreground) elemen terpilih. Dengan demikian, proses seleksi secara tak terhindarkan men- ciptakan hubungan latar belakang-pengedepanan (background- foreground), dengan elemen terpilih muncul pada pengedepanan dan konteks aslinya pada latar belakang. Tanpa hubungan yang demikian, elemen terpilih akan muncul tanpa arti. Pada umum- nya, ada empat perpektif yang dapat memunculkan pola reper- toar, yakni perspektif narator (pengarang), tokoh, alur, dan pem- baca. Meskipun demikian, teks-teks naratif tidak harus selalu melibatkan keempat perpektif itu.

Sifat ontologis yang dikedepankan adalah sifat ontologis yang dikemukakan dalam teori-teori ontologi sastra, yaitu puitika renaisans, teori romantika Jerman, teori Roman Ingarden, dan teori-teori “dunia mungkin” disertai dengan uraian dan relevansinya dengan upaya pendeskripsian repertoar strategi- strategi pengedepanan postmodernisme, ada pula berbagai ma- cam pola repertoar strategi-strategi pengedepanan postmodernisme yang didasarkan pada empat teori ontologi di atas. pola-pola repertoar itu dikelompokkan ke dalam empat kategori besar, yaitu (1) dunia-dunia, (2) konstruksi, (3) kata-kata, dan (4) pen- dasaran.

Dalam kategori “dunia-dunia” diuraikan berbagai macam pola repertoar strategi pengedepanan sifat ontologis yang ber- wujud berbagai macam zona, berbagai macam pola persinggung-

an antara dunia fiksi postmodernisme dengan dunia fiksi ilmiah, persinggungan antara dunia fiksi postmodernisme dengan dunia fiksi fantastik, dan persinggungan antara dunia fiksi post- modernisme dengan fakta sejarah. Dalam kategori “konstruksi” diuraikan berbagai macam pola strategi pengedepanan sifat ontologis dalam wujud dunia-dunia di bawah penghapusan dan dunia-dunia kotak Cina. Dalam kategori “kata-kata” diuraikan bebagai macam pola repertoar strategi-strategi pengedepanan sifat ontologism dalam dunia-dunia kiasan, dunia-dunia digaya- kan, dan dunia-dunia wacana. Dalam kategori “pendasaran” diuraikan repertoar strategi-strategi pengedepanan sifat onto- logism dalam dunia-dunia di atas kertas dan dunia-dunia peng- arang.

Dari uraian di atas, pembacaan akan mengarahkan pada perpektif repertoar strategi-strategi pengedepanan ontologism puitika postmodernisme.

Apalagikah yang bisa jadi pedoman atau setidaknya untuk dikenang jika kata-kata tak mampu lagi mengusung makna? Mengambang, bias, rumit, dan semakin tidak jelas pula arah tujuannya. Demikianlah kiranya puisi yang kini tak sanggup mengerucut pada untaian maknanya yang kuat sesuai dengan apa yang sesungguhnya dibutuhkan kehidupan.

Sia-sia akhirnya yang terus melanda. Hidup ini menjadi kian kering dan kasar, tersebab kata-kata telah menjadi hal biasa saja bagi manusia. Pergerakan ungkapan dan komunikasi menumbuh- kan sesuatu yang bebal. Seseorang, begitu saja, sudah semakin terbiasa dengan kenyataan demikian, kemudian seorang lagi, dan seterusnya. Jika seseorang dimasuki dengan perumpamaan dan nasihat, kata-kata itu seakan melayang saja entah kemana. Perilaku sesudahnya tetap saja menjadi sedia kala.

Zaman berubah, modernisasi dipilih, dan kemudian diiklan- kan negara dengan tergesa, tradisi ditinggalkan begitu saja dengan lapang dada. Demikian pula dengan kemerdekaan, semua ber- ubah menjadi sesuatu yang amat individual. Jarak dan keber- samaan makin meruncing, hubungan antarkeluarga saja bagai orang lain. Apalagi dampak ekonomi dan jabatan yang berupa atribut-atribut itu semakin pula menggila dengan kepongahan- nya.

Semua ikut-mengikuti, tak ada yang berani menampik, karena yang demikian itu akan mempersempit gerak kehidupan. Yah, mengalirlah perjalanan waktu dengan jiwa manusia yang kering tanpa rasa bahasa, tanpa memikir sebab dan akibat yang nantinya

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 160-165)