• Tidak ada hasil yang ditemukan

JATIDIRI KITA DULU, SEKARANG, DAN NANT

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 49-53)

khususnya yang terkait dengan ilmu-ilmu keagamaan hingga menjadi aksara resmi di berbagai kesultanan yang berdiri di Nusantara. Akibatnya, aksara-aksara di Nusantara tradisional yang sebelumnya ada, kemudian penggunanya makin ber- kurang, tergantikan secara perlahan oleh sistem penulisan Jawi yang resmi pada saat itu. Namun, hal itu juga tidak berlangsung lama, seiring dengan kedatangan bangsa-bangsa barat seperti Portugis, Spanyol, dan Belanda yang membawa juga sistem penulisan Latin atau Rumi pada abad ke-17. Nusantara meng- alami perubahan aksara berkali-kali hingga pada ujungnya meng- arah pada aksara Latin. Aksara Latin ini juga mengalami evolusi beberapa kali, yakni dari masa pra-Ophuysen (hingga 1900), Ophuysen (1900—1947), Suwandi (1947—1972), dan EYD (1972— kini). Perubahan demi perubahan ini juga turut mempengaruhi penggunaan aksara di Nusantara.

Saya sendiri belajar aksara Carakan di sekolah hingga se- kolah menengah. Itupun tidak dapat mencapai nilai sempurna. Memang, pendidikan lokal mengajarkan bahasa daerah dan aksaranya, tetapi pada akhirnya terlupakan karena faktor per- kembangan zaman yang tidak lagi menganggap penulisan aksara setempat sebagai sarana sangkil dan mangkus untuk bertalimarga (komunikasi). Aksara Latin dirasa lebih mudah diterapkan serta relevan dengan arus globalisasi, setidaknya tingkat nasional saat ini.

Berapa banyak generasi muda yang menguasai aksara di Nusantara? Saya sendiri tidak pasti, pernah saya iseng menulis aksara Jawa (yang saya sendiri baru belajar lagi) dalam secarik kertas dan saya tunjukkan pada teman saya yang juga penutur bahasa Jawa, dia malah memicingkan mata pertanda tidak paham sama sekali dengan huruf itu. Dia berkata kalau dulu dia pernah belajar Carakan, tetapi sudah lama lupa caranya. Saya hanya berkata dalam hati, mengapa kita sibuk belajar aksara orang lain, tetapi melupakan aksara yang dulu menjadi bagian dari kebudayaan kita. Memang, banyak kota yang sudah mulai kem-

bali memperkenalkan aksara tradisional Nusantara dalam be- berapa aspek, seperti yang saya lihat di Solo, Yogyakarta, Cirebon, Bogor, Bandung, sebagian Malang, Bali, Lampung, dan Sulawesi Selatan (saya mengkhususkan pada aksara di Nusantara abugida turunan Brahmi meskipun aksara Jawi juga menjadi bagian dari aksara di Nusantara itu dalam konteks yang berbeda). Namun, kalau saya lihat semuanya masih sebatas pada nama jalan dan papan nama instansi terutama pemerintahan (kalau di Solo yang pernah saya lihat bahkan sampai di nama-nama hotel, sekolah, dan beberapa instansi swasta).

Memang, aksara di Nusantara mengalami pergeseran dan pengurangan pengguna, tetapi setidaknya masih ada sinar terang agar aksara-aksara khas kita ini tidak mengalami kepunahan dengan cepat. Banyak aplikasi di internet yang memperkenalkan penulisan dalam berbagai aksara, khususnya dalam aksara Cara- kan (itu yang sudah saya lihat dan tampak terutama di media sosial), juga banyak grup di media sosial yang berusaha meles- tarikan dan mengembangkan kembali aksara-aksara di Nusan- tara ini. Hal itulah yang memotivasi saya kembali mendalami aksara di Nusantara, khususnya aksara Carakan/Hanacaraka yang sejatinya menjadi alat talimarga kasat mata penutur bahasa Jawa. Zaman semakin canggih dengan berbagai macam gawai (gadget) yang menjadi bagian keseharian masyarakat. Dengan teknologi ini saya yakin aksara-aksara di Nusantara akan kembali mengalami kebangkitannya sebagai sarana talimarga tersurat alternatif yang di samping melestarikan budaya, juga menjadi sesuatu yang berbeda karena keindahan serta nilai seni yang ter- kandung dalam aksara tersebut. Pembelajaran aksara di Nusan- tara dalam tataran daerah seharusnya kembali dikembangkan dengan cara-cara yang lebih menarik sebagaimana orang-orang kita mempelajari huruf Hanzi atau Kana untuk mendalami bahasa Mandarin dan Jepang. Mulai pembelajaran interaktif seperti flashcards, slideshow, atau dengan lagu jika diterapkan di tingkat sekolah dasar.

Pergeseran dan punahnya satu aksara memang suatu ke- niscayaan seiring dengan berkembangnya zaman. Namun, jika kita bersama punya kemauan besar untuk melestarikannya, tentunya sistem aksara itu akan bertahan. Kendati dalam skala kecil (komunitas, misalnya), ibarat pemeo mengajarkan bahwa walau satu ayat pastilah ada buah yang dipetik. Pelestarian aksara di Nusantara ini juga perlu tekad kuat dari pemerintah tempat aksara itu tumbuh, di samping sekadar memampangnya di papan nama jalan.

Aksara di Nusantara juga jatidiri kita, baik secara lokal maupun nasional. Mari bersama turut melestarikannya.

****

Madras mengingatkan kita pada sebuah wilayah di India selatan yang mayoritas penduduknya berkulit hitam. Wilayah Madras ini dihuni oleh masyarakat dari etnik Tamil yang ter- masuk bangsa Dravida. Di beberapa tempat, masyarakat yang berasal dari etnis Tamil Madras ini dulunya kerap disapa dengan sebutan keling. Istilah keling merujuk pada kerajaan Kalingga yang kemudian mengalami keausan bahasa. Belakangan, istilah “keling” lebih merujuk pada istilah rasialis untuk etnis Tamil. Bahkan, karena dinilai rasialis, Kampung Keling di Medan di- ubah namanya menjadi Kampung Madras. Sebuah perayaan, pesta rakyat pun dibuat untuk merayakan perubahan nama Kampung Keling, yang identik dengan mereka, menjadi Kampung Madras. Sebuah artikel di media massa ibukota pernah menuliskan bahwa bahasa tidak saja sebagai alat komunikasi, tetapi juga mampu menusuk perasaan dan membuat sekelompok masyarakat me- rasa tersingkir oleh kesinisan yang terkandung di dalamnya. Lalu, apakah kaitannya dengan perubahan nama Kampung Keling men- jadi Kampung Madras? Menurut beberapa sumber, istilah keling belakangan ini lebih sering diasosiasikan dengan sifat-sifat buruk yang dilekatkan pada masyarakatnya. Kamus Besar Bahasa Indo- nesia mencatat istilah Keling diartikan sebagai ’orang berkulit hitam yang berasal dari India sebelah selatan’.

Istilah keling bertukar menjadi istilah yang berkonotasi negatif sejak pertengahan 1970-an. Perlahan istilah keling mulai diasosiasikan dengan hal-hal yang kurang menyenangkan. Kulit hitam legam lebih ditonjolkan dibandingkan kelebihan yang dimiliki kelompok masyarakat ini. Gaya hidup yang suka ber- mabuk-mabukan dan premanisme mulai diidentikkan dengan

BAHASA DAN NASIONALISME

Dalam dokumen KERLING Antologi Kritik Esai Bahasa dan (Halaman 49-53)